Alis Mara berkerut mendapati dua orang pria yang berdiri di hadapannya. Dan saat salah satu dari keduanya menjelaskan siapa serta maksud kedatangan mereka, Mara hanya bisa menganga hingga tak sanggup berkata-kata.
“Selamat pagi. Kami dari pihak bank ingin menanyakan apakah benar anda nona Tamara Denara? Apakah anda menerima uang transfer sebesar dua ratus juta kemarin? Sekira pukul satu siang.”
Bibir Mara bergetar, ini benar-benar sebuah kejutan. Ia berusaha bersikap tenang dan berpikir masalah ini akan selesai dengan mudah lagipula ia tidak menggunakan uang itu sepeserpun.
“I- iya, benar. Jadi ….”
“Jadi kedatangan kami ke sini meminta anda mengembalikan uang itu.”
Di sisi lain, sebuah mobil berhenti di tepi jalan di seberang rumah kontrakan Mara. Dan siapa lagi pemilik mobil tersebut jika bukan Regan.
Regan membuka kaca mobilnya dan melihat dua orang telah berhadapan dengan Mara. Beberapa saat kemudian dua orang itu pun pergi. Melihat itu, Regan segera menghubungi Mara.
Di tempat Mara sendiri dirinya baru saja duduk di kursi ruang tamu dengan tak hentinya bernafas lega. Ia bersyukur masalah uang itu selesai tanpa merugikan dirinya.
Tiba-tiba perhatian Mara jatuh pada ponsel di tangan. Dahinya pun sedikit berkerut melihat nomor yang tertera pada layar. Ia belum sempat mengganti nomor teleponnya tapi sudah memblokir nomor Ranu. Jadi, tak mungkin yang menghubunginya kali ini adalah Ranu, kan? batinnya.
Mara memutuskan menggeser layar mengangkat panggilan. Ia pun melebarkan mata mendengar suara yang mulai ia hafal dan berniat ia lupakan.
“Kukira mereka akan membawamu ke polisi.”
“Kau? Apa maksudmu?”
“Kenapa tidak menggunakannya untuk belanja? Kau terlalu takut, atau belum sempat?”
Mara berpikir cukup lama, berpikir apa yang sebenarnya Regan bicarakan sampai ia akhirnya menyadari sesuatu.
“Jadi, semua ini ulahmu? Apa tujuanmu sebenarnya, hah?!” Mara mulai kesal dan marah, ia sampai berdiri dari duduknya dan menghentak satu kakinya penuh kekesalan.
“Kau masih beruntung aku tidak menghilangkan uang itu dari rekeningmu. Kali ini aku masih memberimu kesempatan sekaligus uji coba. Tapi, bisa saja kejadian ini terjadi lagi besok dan kupastikan, kau tak akan bisa mengembalikan uang itu. Dan kau tahu apa yang akan terjadi, bukan?”
Mara meremas ponselnya kuat-kuat. Gemeletuk giginya pun terdengar.
“Sudah kukatakan, kelinci tidak akan bisa mengalahkan singa. Ini peringatan karena kau sudah membodohiku kemarin. Tapi, jangan berpikir ini adalah akhir, tunggu balasan sesungguhnya hingga kau berurusan dengan polisi.”
Setelah mengatakan kalimat panjang itu panggilan terputus. Regan mengakhiri panggilan dan Mara hanya bisa berteriak.
Kembali ke tempat Regan, dirinya terus saja mengukirkan seringai kepuasan. Ia merasa sangat puas telah mempermainkan Mara. Sebenarnya ia sudah berniat menjebak Mara, mengirimnya uang kemudian menguras dari rekeningnya dengan bantuan seorang hacker. Saat Mara tak bisa mengembalikan uang itu, tentu saja ia akan berurusan dengan polisi. Kejam memang, tapi tidak lebih kejam daripada mencatut nama Mara untuk meminjam pinjol dan membuatnya terus dikejar penagih utang.
Drt … drt ….
Seringai Regan kembali terukir saat menatap layar ponselnya di mana Mara menghubunginya. Alih-alih menjawab, ia meletakkan ponselnya ke dashboard, menutup kaca mobilnya kemudian pergi dari sana.
Di tempat Mara dirinya tak berhenti merasa cemas sekaligus marah. Ia berjalan mondar-mandir dengan ponsel menempel di telinga berharap Regan segera mengangkat panggilan darinya. Akan tetapi, hingga beberapa kali Regan tak juga menjawab.
“Agh! Apa sebenarnya maumu?!” teriak Mara pada ponselnya seakan memaki Regan. Rasanya ia ingin menangis.
Mara duduk dengan kasar ke kursi dan mulai mengusap air matanya dengan kasar. Ia tak mengerti kenapa Regan seperti tak ingin melepaskannya, seperti ingin melihatnya benar-benar sengsara. Sekarang, apa yang harus ia lakukan? Apakah ia menyerah saja? Merasa putus asa, pada akhirnya Mara membulatkan tekad, mengibarkan bendera putih sebagai tanda menyerah daripada terus berurusan dengan Regan dan mungkin bisa berakhir di penjara seperti keinginan pria itu.
****
Matahari yang terik membuat Mara enggan keluar rumah. Akan tetapi, ia tetap harus pergi untuk menyelesaikan misi sekaligus mengambil mobilnya yang masih berada di tempat parkir kantor.
Mara meremas gagang pintu setelah menutup pintu dan berniat menguncinya. Ia sudah memilih, sudah mengambil keputusan bahwa ia akan benar-benar mengaku kalah bukan berpura-pura seperti kemarin. Padahal baru beberapa hari dan rasanya ia sudah sangat lelah, ia ingin hidup dengan tenang.
“Tidak apa kau kalah. Suatu saat kau akan dapat ganjaran setimpal. Mungkin setelah ini kau akan bertemu pangeran dan menjadikanmu ratu,” ucap Mara untuk menyemangati diri sendiri. Setelahnya ia pun pergi meninggalkan rumah menuju perusahaan.
Setengah jam kemudian, Mara telah tiba di perusahaan. Sebelum memasuki gedung dan bertemu Regan, ia memilih melihat Cimo dan suatu keajaiban, Cimo bisa menyala.
“Ya Tuhan, Cim. Apa kau sengaja mempermainkan aku kemarin?” gerutu Mara seraya memukul setir seperti memukul anak nakal yang telah berbuat ulah. “Kalau saja kemarin kau tidak mogok, semua pasti tak akan jadi seperti ini.”
Mara masih terus memarahi Cimo dan entah kenapa tiba-tiba mesinnya mati.
“Eh, apa yang terjadi?” Mara berusaha menstater mobilnya kembali. Akan tetapi, tidak menyala seperti kemarin. “Eh, Cimo! Ada apa denganmu?!” teriak Mara frustasi.
Beberapa saat kemudian, Mara memasuki gedung dan langsung menuju ruangan Regan setelah ia lelah menghadapi Cimo yang kembali mogok.
“Awas saja aku akan menjualmu,” gumam Mara yang ditujukannya pada Cimo. Ia sudah lelah menghadapi Regan, dan semakin lelah saat harus memikirkan mobil butut kesayangannya.
Tap!
Langkah Mara akhirnya terhenti saat telah berdiri di depan pintu tujuannya. Ia menarik nafas panjang dan mengembuskannya perlahan lewat mulut. Andai saja Regan mau mengangkat panggilannya, ia tidak akan berada di sana sekarang. Ia akan melakukan negosiasi via telepon saja.
Tangan Mara terangkat mengetuk pintu kemudian membuka pintu dengan hati-hati. Dan saat pintu terbuka, ia terkejut karena tak mendapati Regan di ruangannya.
“Eh? Di mana? Diana bilang dia di ruangan,” batin Mara. Diana adalah resepsionis dan mengizinkannya menemui Regan, mengatakan Regan di ruangan. Tapi, di mana pria itu sekarang?
Tiba-tiba ponsel Mara berdering. Ia pun segera menggeser layar mengangkat panggilan.
“Halo?”
“Mencariku?”
Mara melirik ponsel yang menempel di telinga. “Di mana anda?”
“Untuk apa aku memberitahumu?”
Tangan Mara mulai terkepal. Ia merasa Regan sengaja mempermainkannya.
“Baiklah, dengar. Aku minta maaf. Aku minta maaf atas semua yang terjadi meski aku tidak tahu apa yang sudah kulakukan sampai-sampai membuat anda menyiksaku. Dengan segenap hati kumohon, kumohon dengan sangat, tolong berhenti mempermainkan aku, aku … mengaku kalah.”
Hening. Setelah kalimat panjang terucap dari mulut Mara, tak ada balasan dari Regan hingga beberapa saat. Namun, saat Mara hendak kembali membuka suara, suara Regan lebih dulu terdengar.
“Apa pantas meminta maaf hanya lewat telepon? Jika kau bersungguh-sungguh, aku akan mempertimbangkannya.”
“A- apa? Siapa suruh anda tidak di ruangan? Padahal Diana bilang–”
“Kau bahkan bisa membodohiku saat kita berhadapan, apalagi jika hanya lewat telepon? Bisa saja setelah kau akan menari seperti orang gila.”
“Ya! Ya baiklah! Aku akan menemui anda sekarang! Apa anda puas? Katakan, di mana anda sekarang!”
Mara berteriak dan terengah saat mengatakannya. Ia marah, kesal, dan benci. Tapi, teringat ancaman Regan tadi pagi ia tak bisa berkutik.
“Lihat, kau bahkan berani berteriak padaku.”
Duk! Duk!
Mara membenturkan kepalanya ke pintu. Rasa frustasinya menghadapi Regan telah sampai ke ubun-ubun.
Tiba-tiba panggilan terputus. Namun, tak lama berselang Mara menerima pesan yang tak lain dari Regan. Regan mengirim pesan berisi share lok tempatnya berada sekarang.
Mara membuka pesan guna melihat lokasi Regan. Dahinya pun dibuat berkerut saat lokasi itu menunjukkan sebuah tempat.
“Hotel?”