“Halo?”
Mara menjawab panggilan dengan ragu. Ia khawatir panggilan itu ada hubungannya dengan uang yang diterimanya tadi siang.
“Halo, Mar, ini aku.”
Mara mematung sejenak. Ia masih hafal betul suara siapa yang ia dengar. Itu, adalah suara Ranu.
Bagaimana Ranu bisa tahu nomornya? Tak ingin mendengar apapun dari pria b******k itu, Mara memilih mengakhiri panggilan.
Mara meletakkan kembali ponselnya ke atas nakas dan menatapnya horor nan jijik seakan menatap Ranu. Ia sudah menghindari semua yang berhubungan dengan pria itu, sebisa mungkin membuat pria itu tak dapat menghubunginya lagi, menemuinya lagi tapi, bagaimana bisa pria itu menghubunginya?
“Aku harus ganti nomor baru.”
Kembali ke tempat Regan, Sera kembali bersama seorang wanita bernama Mayang, wanita yang katanya akan dijodohkan dengan Regan.
“Selamat malam, Om,” sapa Mayang pada Anjas disertai senyuman manis.
“Kau sendiri? Mana ayahmu?”
“Maaf, Om, ayah datang sedikit terlambat. Ada sedikit masalah saat kami akan berangkat ke sini jadi ayah menyuruhku berangkat lebih dulu,” jawab Mayang kemudian menyerahkan oleh-oleh yang ia bawa dari rumah. Sebuah paper bag yang entah apa isinya. “Dan ini untuk Om.”
“Harusnya tidak perlu repot tapi, terima kasih.” Anjas menerima oleh-oleh itu kemudian mempersilakan Mayang duduk.
“Kalau begitu, aku akan siapkan makan malam. Mayang, tunggu di sini, ya,” ujar Sera pada wanita berusia 25 tahun itu.
Dengan malu-malu Mayang hanya mengangguk. Ia yang telah duduk di sofa di sebelah Regan, sesekali mencuri pandang ke arahnya.
“Aku akan membantu Sera,” ucap Liam tiba-tiba kemudian berdiri dari duduknya dan mengikuti sang istri.
“Dia tidak pernah menyentuh dapur, bukan begitu?” celetuk Sera setelah meninggalkan ruang tengah.
Liam yang berjalan di sampingnya hanya terkekeh. Ia tahu Sera hanya memancing Mayang, apakah wanita itu akan membantunya atau memilih duduk seperti seorang putri raja.
“Aku khawatir calon istri Regan akan kabur saat berhadapan dengan kakak ipar sepertimu,” canda Liam. Meski bicara begitu, tapi ia senang dengan yang Sera lakukan, sebab itu demi kebaikan Regan jua. Ia tak ingin Regan menikahi wanita yang salah meski ingin Regan cepat menikah.
Sera hanya mengedikkan bahu. Ia sudah menganggap Regan seperti adik kandungnya sendiri, ia pun ingin yang terbaik untuk Regan. Kemarin ia sampai berbuat nekat pun sudah menyiapkan wanita baik-baik. Tapi, sayang, Regan meninggalkan wanita itu begitu saja.
Kembali ke ruang tengah, Mayang mengulurkan tangannya mengajak Regan berkenalan.
“Namaku Mayang. Senang bertemu denganmu,” ucap Mayang dengan suaranya yang halus.
Regan hanya diam bahkan melirik Mayang pun tidak. Ia baru menerima jabat tangan Mayang saat mendengar deheman kasar ayahnya.
Senyum Mayang yang sebelumnya terpatri di wajah, perlahan memudar. Ia merasa kecewa, merasa Regan tak peduli padanya. Padahal, ia sudah antusias dengan pertemuan kali ini.
“Oh, ya, Om, di mana Tante?” tanya Mayang berbasa-basi setelah Regan melepas jabat tangan mereka. Jabat tangan yang rasanya hanya sedetik.
“Masih di klinik. Oh, ya, kalian mengobrol lah, Om akan menaruh oleh-oleh darimu dulu,” ujar Anjas seraya bangkit dari duduknya. Ia sengaja membiarkan dua manusia beda gender itu berkenalan secara alami sebagai seorang pria dan wanita meski melihat jelas bahwa Regan enggan.
“Ah, iya, Om,” timpal Mayang.
Regan melirik Mayang sekilas. Ia tak mengerti kenapa ayahnya berniat menjodohkannya dengan wanita seperti ini. Di matanya Mayang seperti wanita kebanyakan di luar sana. Meski sikapnya normal bahkan terlihat ramah tapi, ia merasa itu hanya topeng yang Mayang gunakan.
Mayang terlihat malu-malu saat akan memulai pembicaraan dengan Regan setelah Anjas pergi. Menyelipkan anak rambut ke telinga, ia pun memberanikan diri membuka suara.
“Umh, maaf, tapi … sepertinya kau tidak menyukai pertemuan ini ya?”
“Akhirnya kau sadar.”
Jleb!
Bola api seolah terlempar menembus jantung Mayang. Ia tak mengira respon Regan akan sedingin itu.
“A … maafkan aku. Sebenarnya aku tidak tahu dan menolak pertemuan ini tapi, demi ayah aku melakukannya,” ujar Mayang dengan menunjukkan raut wajah sedikit murung seakan-akan ia terpaksa.
Regan melirik Mayang seolah tak peduli. Entah kenapa ia sama sekali tak berniat sedikitpun pada Mayang.
“Oh, ya, apa kau punya pacar?” Seolah tak kapok mengajak Regan bicara, Mayang kembali membuka suara mencari perhatian.
“Tidak.”
“A … begitu kah? Jadi … kau menerima perjodohan ini? Ayah sempat mengatakan padaku tentang itu dan aku–”
“Tidak,” potong Regan sebelum Mayang selesai bicara.
Tiba-tiba Regan berdiri dan berniat pergi. Ia merasa tak bisa bertahan lebih lama lagi. Melihat itu, Mayang berusaha mencegahnya.
“Tunggu, kau mau ke mana?”
“Pergi. Kau yang membuat janji dengan ayah, mengobrol saja dengan ayahku,” jawab Regan tanpa berhenti melangkah.
Tangan Mayang terkepal di sisi tubuhnya, ia mulai habis kesabaran. Ia yang sejak memasuki rumah Regan telah memasang wajah bak malaikat, kini tak dapat berpura-pura lagi, tak dapat menahan emosinya lagi.
“Tunggu, apa maksudmu pergi?”
“Tidak ada yang ingin kubicarakan.” Setelah mengatakan itu Regan kembali mengambil langkah, melewati Mayang yang wajahnya mulai merah.
Mayang kembali mencegat Regan dan tiba-tiba saja mengangkat tangannya berniat memberi Regan tamparan. Ia merasa harga dirinya telah diinjak-injak. Persetan dengan perintah ayahnya yang menyuruhnya merayu Regan sedemikian rupa, membuat Regan bertekuk lutut padanya. Ia adalah tamu, adalah ratu, tapi sikap yang Regan tunjukkan seakan dirinya sama sekali tak dihargai. Ia juga baru pertama bertemu pria semacam Regan, pria yang baginya amat sangat keterlaluan.
Tap!
Belum sempat tangan Mayang mengenai pipi Regan, ia lebih dulu menangkapnya, menggenggam pergelangan tangan Mayang cukup kuat dan di detik berikutnya suara tamparan terdengar. Namun, bukan berasal dari tangan Mayang yang mengenai pipi Regan, melainkan sebaliknya.
Wajah Mayang begitu pucat, begitu terkejut dengan apa yang Regan lakukan. Dan lebih terkejut saat Regan melepas tangannya dengan kasar.
“Adukan pada ayahmu,” kata Regan kemudian melanjutkan langkahnya yang tertunda menuju kamar. Regan harap dengan perlakuan kasarnya itu Mayang akan mengadu pada ayahnya dan mengakhiri perjodohan konyol ini.
Mayang masih shock dengan perlakuan yang didapatnya hingga hanya bisa menatap punggung Regan yang meninggalkannya.
Regan melangkah menuju kamarnya di lantai 2. Sesampainya di atas, pandangannya mengarah lurus pada pintu kamar yang menyambutnya. Ingatan kenangan pahitnya pun muncul dalam kepala. Ini lah alasannya memilih pindah dari rumah, memilih hidup sendiri untuk melupakan bayang-bayang itu. Bayang-bayang saat tanpa sengaja ia melihat sang kakak menggauli wanita yang dicintainyai. Tidak ada yang salah, ia pun tak berhak marah sebab, Liam dan Sera memang saling mencintai.
Regan mengalihkan pandangan mengenyahkan ingatan bayangan itu dalam kepala. Ia pun melangkah menuju kamarnya yang berada di sebelah kamar Liam.
Regan memasuki kamar yang entah sudah berapa lama ia tinggalkan. Menjatuhkan tubuhnya pada kasur, tanpa sadar ia mulai memejamkan mata. Entah kenapa ia merasa sangat mengantuk dan berpikir untuk beristirahat sejenak sebelum bangun dan pulang ke kediamannya.
***
Silau cahaya mengganggu tidur Regan yang pulas. Niat hati ingin istirahat sejenak, Regan justru tertidur hingga pagi dan terbangun saat silau mentari menyinari kulit, menembus jendela yang gordennya disibak ke samping.
“Sudah saatnya bangun, pemalas.”
Regan membuka mata mendengar suara yang ia hafal yakni, suara Liam.
Liam berdiri di sisi ranjang tanpa berhenti memperhatikan Regan. Rasanya baru kemarin, tapi sekarang Regan sudah menjadi pria dewasa, pria matang yang harusnya siap menyusulnya ke pelaminan.
Regan berusaha meraih kesadaran kemudian bangun menegakkan punggungnya. Arah pandangnya pun mengarah pada jam dinding di dekat lemari.
Liam berdiri di depan ranjang di depan Regan dengan tangan bersedekap.
“Sepertinya tidurmu sangat nyaman. Merindukan kamar ini?”
Regan hanya diam, tangannya memijat tengkuknya kemudian ia pun bangkit berdiri.
“Aku pulang,” kata Regan singkat kemudian mengambil langkah.
Liam hanya diam saat Regan berjalan melewatinya. Namun, sebelum Regan pergi melewati pintu, ia berbalik dan mengatakan, “Selamat, kau berhasil membuat Mayang menyerah. Boleh kutahu apa yang kau lakukan padanya?”
Semalam Mayang pulang begitu saja bahkan di saat ayahnya baru tiba. Wanita itu pun mengatakan tak akan sudi menikahi pria kasar seperti Regan.
Liam berjalan hingga berdiri tepat di belakang Regan yang berdiri dalam diam di depan pintu kamar yang masih tertutup.
“Kira-kira, kekasaran apa yang adikku lakukan hingga membuat wanita begitu takut padanya?” ucap Liam kembali untuk mengulur waktu. Ia ingin mencegah Regan pergi.
“Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Re? Apakah dirimu yang sekarang ada hubungannya denganku? Katakan apa yang sudah kulakukan dan apa yang harus kulakukan agar kau kembali seperti dulu.”
Regan terdiam sejenak kemudian setengah menoleh pada kakaknya.
“Jangan terlalu percaya diri. Dan berhentilah terlalu khawatir.” Hanya itu yang Regan ucapkan kemudian ia melangkah pergi meninggalkan kamar.
Liam hanya diam menatap pintu yang perlahan tertutup. Seperti biasa, jawaban yang Regan berikan sama sekali tak membuatnya merasa puas.
Regan menuruni setiap anak tangga dan saat sampai di lantai bawah, ia telah disambut Sera.
“Selamat pagi, Re. Sana sarapan, aku sudah buat makanan kesukaanmu, lho.”
Regan hanya diam dan berjalan menuju pintu utama mengabaikan Sera.
“Re, mau ke mana? Jangan pergi dulu, ayah menyuruhmu menemuinya,” ujar Sera melihat Regan hendak meninggalkan rumah.
Regan tetap diam dan terus melangkah. Hingga ia telah berada di depan mobilnya, ayahnya keluar dari rumah dan memanggil.
“Regan!” panggil Anjas. Namun, seperti menulikan pendengaran, Regan memasuki mobilnya dan tak lama mobilnya pun bergerak.
“Regan! Dasar anak sialan!” teriak Anjas yang mulai habis kesabaran. Ia hanya ingin membicarakan mengenai kejadian tadi malam.
“Regan sudah pergi?” Seorang wanita paruh baya menyusul Anjas yang misuh-misuh di teras. Wanita yang masih terlihat cantik di usia kepala 5 itu adalah Salwa, ibu Regan.
“Lihat itu anakmu, dia benar-benar membuatku sakit kepala,” ujar Anjas disertai geraman menahan kemarahan.
“Hah … dia juga anakmu, Pa,” timpal Salwa kemudian memilih masuk kembali ke dalam rumah. Ia seperti tak ambil pusing dengan sikap Regan. Entah karena terbiasa dan memaklumi sikap anak bungsunya itu, atau ia memahami anak bungsunya itu.
Sementara itu, Regan mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang menuju rumahnya. Akan tetapi, tiba-tiba ia membelokkan setir mengambil arah lain saat tiba-tiba saja teringat Mara.
Tak lama kemudian di tempat Mara, ia baru saja selesai bersih-bersih. Membersihkan kamar, dan semua ruangan dalam rumah kontrakan sederhananya.
“Huh … akhirnya selesai juga.” Mara menyeka keringat seraya menatap hasil kerjanya. Lantai rumahnya sudah bersih dan berkilau sekarang. Ia bahkan bisa berkaca di lantainya.
“Hah … kalau begitu, saatnya mandi,” gumam Mara seraya melakukan peregangan kemudian membawa alat pelnya ke belakang.
Setelahnya Mara kembali ke kamarnya dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Hampir 15 menit kemudian, Mara baru keluar dari kamar mandi. Sekarang tubuhnya telah segar dan wangi, tinggal memakai baju kemudian bersantai sambil mencari lowongan pekerjaan. Mengenai uang yang masuk ke rekeningnya, ia melupakan masalah itu sejenak, yang penting ia tidak menggunakan uang itu sepeserpun.
Tok! Tok!
Baru hendak mengambil baju dari lemari, terdengar suara ketukan pintu dari luar.
“Siapa?” batin Mara.
Ketukan pintu kembali terdengar dan terdengar lebih kasar seakan meminta Mara segera membuka pintu.
Mara pun bergegas memakai baju kemudian berjalan cepat untuk membuka pintu. Saking gugupnya ia sampai hampir jatuh terpeleset karena lantai masih basah.
“Iya! Tunggu sebentar!” teriak Mara saat pintu terus saja diketuk tak sabaran. Tanpa berpikir siapa tamunya, Mara pun membuka pintu dan begitu terkejut melihat siapa tamu yang berdiri di hadapan.