Mara mengerjapkan mata saat tidurnya terganggu oleh dering ponsel. Tangannya pun meraba sekitar mencari benda persegi itu sampai akhirnya berhasil berada di tangan.
“Ha- halo? Ada apa? Siapa?” ucap Mara dengan suara parau. Ia belum mengumpulkan kesadaran sepenuhnya.
“Halo, Mar? Kau di mana?”
Mara berusaha membuka mata sepenuhnya mendengar suara Orin dari seberang sana.
“Oh, Rin, aku di rumah. Ada apa?”
“What? Apa maksudmu di rumah?”
Ibu jari dan telunjuk Mara bekerja sama memijit pelipisnya, dan belum sempat menjawab, suara Orin kembali terdengar membuatnya menjauhkan ponselnya dari telinga.
“Bagaimana bisa kau ada di rumah? Apa yang sudah bos lakukan padamu? Apa dia melakukan yang tidak-tidak? Apa dia melukaimu? Atau, menusukmu seperti kemarin?!”
Dengan rasa malas Mara bangun menegakkan punggungnya. Ia menguap lebar kemudian mencoba memberi Orin penjelasan.
“Aku dipecat. Jadi aku pulang.”
“Apa?! Bagaimana bisa kau dipecat?! Apa yang sudah kau lakukan?! Atau, apa dia sengaja membuangmu setelah dia bosan?!”
Mara menghela nafas berat kemudian mematikan panggilan. Teriakan Orin membuat telinganya sakit dan ia sedang malas memberi wanita itu penjelasan. Pasti dibutuhkan waktu yang panjang.
“Hah ….” Mara menghela nafas panjang, kedua tangannya berada di balik punggung bertumpu ranjang menopang berat tubuhnya saat ia mendongak menatap langit kamar. Tiba-tiba ia teringat Regan, kira-kira, apakah setelah ini Regan benar-benar melepaskannya?
Drt …
Perhatian Mara kembali pada ponselnya yang kembali berdering. Berpikir itu adalah panggilan dari Orin, ia mengabaikannya.
Ting!
Bunyi notifikasi terdengar setelah nada dering tanda panggilan berakhir. Mara melihat layar ponselnya dan dahinya pun berkerut tajam.
“Apa ini?” gumam Mara melihat notifikasi bahwa ia baru saja menerima uang transfer sebesar 200 juta. Ia pun mengecek VA miliknya dan benar saja, saldonya bertambah 200 juta.
Mara bangkit berdiri dengan tangan gemetar dan wajah pucat. Apa seseorang tengah mempermainkannya? Salah transfer atau ini hanya mimpi belaka?
Mara menutup layar dan mengatur nafas berharap ini hanya mimpi. Alih-alih senang, ia justru merasa takut dan khawatir. Ia takut ini modus penipuan baru yang akan merugikannya nanti.
“Hu … hah … tenang, Mar. Tenang dulu, di saat seperti ini kau harus tenang,” ujar Mara pada diri sendiri. Meski begitu, tetap masih tak bisa membuatnya tenang. Ia bahkan hampir berteriak.
Di sisi lain di tempat Regan, dengan memainkan ponsel di tangan, seringai tipisnya tercipta. Entah apa yang baru saja ia lakukan tapi, sepertinya sesuatu yang membuatnya merasa senang. Namun, kesenangan itu tak berlanjut lama. Saat hari menjelang sore dan gelap, kesenangan yang dirasakannya tadi siang berubah menjadi kekesalan. Ia terus menerus menekuk wajah dan menunjukkan wajah muram seperti berniat menghabisi seseorang.
“Akhirnya kau datang juga, Re.”
Regan disambut hangat Sera yang membuka pintu. Saat ini ia telah berada di kediaman orang tuanya. Seperti perintah ayah Regan kemarin, malam ini ia pulang.
Regan hanya diam tanpa menunjukkan ekspresi berarti dan berjalan melewati Sera.
Tiba-tiba langkah Regan terhenti saat seorang pria berdiri di hadapannya, menatapnya dengan senyuman hingga matanya menyipit.
“Selamat datang. Akhirnya adikku ini pulang,” ucap pria itu yang tak lain adalah Liam, kakak Regan. Berbeda dengan Regan yang berwajah dingin, Liam terlihat lebih hangat dan mudah melukiskan senyuman.
Regan tetap diam kemudian berjalan melewati Liam. Melihat itu, Liam berbalik menatap punggung Regan yang berjalan menuju ruang tengah.
“Kapan dia akan berubah?” gumam Liam disertai senyum masam. Ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Regan. Tiba-tiba saja adiknya itu berubah beberapa bulan sebelum ia menikahi Sera. Padahal sebelumnya hubungannya dan Regan begitu dekat tapi, entah karena apa tiba-tiba Regan menjadi pendiam dan dingin padanya, seperti terdapat jurang pemisah antara mereka dan ia tidak tahu apa yang menyebabkannya. Ia sudah berusaha mencari tahu tapi tak menemukan jawaban apapun. Semakin ia berusaha mendekati Regan, semakin adiknya itu mengambil jarak. Hingga saat ia menikah, Regan memilih pergi dari rumah dengan alasan ingin hidup mandiri.
Liam tersentak saat sebuah tangan menggenggam tangannya. Ia menoleh dan mendapati senyuman Sera yang hangat.
“Aku yakin sebentar lagi,” ucap Sera menyambungi gumaman Liam sebelumnya.
Liam menghela napas dan tersenyum pasrah. “Kau yakin?”
Sera mengangguk. “Tentu saja,” jawabnya teringat pertemuannya dengan Mara tadi pagi. “Ya sudah, kita susul dia sekarang. Sebentar lagi Mayang juga datang.”
Liam mengangguk setuju kemudian berjalan bersama sang istri menuju ruang tengah, menyusul Regan yang pasti telah berhadapan dengan ayahnya.
Benar saja, di ruang tengah Regan telah duduk berhadapan dengan sang ayah, Anjas. Pria yang memiliki paras serupa Regan dan Liam dengan kerutan halus di wajah itu menatap Regan dengan pandangan sulit diartikan.
“Bagaimana dengan perusahaanmu?” tanya Anjas dengan suaranya yang padat dan jelas. Pria berusia hampir kepala 6 itu masih tampak sehat dan bugar meski rambutnya sedikit dihiasi uban.
“Tidak ada masalah,” jawab Regan singkat. “Di mana ibu?” tanyanya. Jika ini pertemuan penting seperti yang Sera katakan tadi pagi, harusnya ia melihat ibunya sekarang.
Sebenarnya hubungan Regan dan ayahnya tidak terlalu buruk. Yang membuat hubungannya dengan sang ayah dingin adalah, sebab pria itu memaksanya segera menikah. Seperti kakaknya, ayahnya juga termakan isu di luar sana tanpa tahu sebab utama dirinya mengambil jarak dari wanita. Mungkin ayahnya terlalu cemas, berpikir ia akan mempermalukan keluarga nantinya.
“Seperti biasa,” jawab Anjas. Dan hanya dengan jawaban itu, Regan sudah paham dan memilih diam.
“Kukira kau akan mengajak pacarmu, Re.”
Suara Sera membuat Regan dan Anjas menoleh. Wanita itu duduk bersama Liam di sofa sebelah sofa yang Anjas duduki.
Pandangan Anjas sepenuhnya tertuju pada Sera. Namun, pria itu hanya diam menunggu Sera melanjutkan ucapan.
“Tadi pagi aku melihat Regan bersama wanita. Mereka seperti baru melakukan sesuatu dalam lift,” ujar Sera seperti tak punya dosa. Ia bahkan tertawa saat mengatakannya dan dengan sengaja memberi Regan lirik menggoda.
“Benarkah itu, Re, kenapa tidak membawanya ke sini?” sahut Liam berpura-pura baru mengetahuinya padahal, Sera sudah memberitahunya tadi pagi. Ia adalah orang pertama yang Sera hubungi.
Regan menggeram kesal. Tak bisakah Sera diam? Ia sama sekali tak berniat melibatkan Mara dalam kehidupan pribadinya.
“Meski Regan membawa kekasihnya, pertemuan ini tetap akan terjadi,” sahut Anjas menengahi pembicaraan.
“Apa? Ayah yakin?” timpal Liam dengan alis berkerut. Sudah kabar bagus Regan memiliki pacar, mematahkan isu tentangnya bahwa ia belok. Ia khawatir jika Regan dipaksa dijodohkan dengan wanita yang tidak ia inginkan, akan menimbulkan masalah di kemudian hari.
“Lalu kau ingin membatalkan perjanjian pertemuan ini begitu saja? Jangan mempermalukan ayah.”
Di saat itu suara bel terdengar. Sera segera bangun dari duduknya dan berjalan menuju pintu depan untuk membuka pintu. Kini, tinggallah 3 lelaki di ruang tengah rumah besar itu yang mana ketiganya hanya diam berkutat pada pikiran masing-masing.
Liam menatap Regan dengan rasa penasaran mengenai wanita yang Sera katakan tadi pagi. Ia menaruh banyak harap, berharap wanita itu bisa mengubah adiknya seperti dulu.
Sama halnya Liam, Anjas pun mengarah pandangan pada Regan. Ia juga penasaran seperti apa sosok wanita yang sebelumnya Sera bicarakan. Ia tak peduli jika wanita itu bukan dari keluarga terpandang berpikir wanita itu telah berhasil menyembuhkan Regan. Dan untuk wanita yang akan dijodohkan dengan Regan malam ini, ia tidak ambil pusing. Jika Regan menolak, anak bungsunya itu pasti punya caranya sendiri. Terkesan jahat memang, padahal dirinya lah yang mengatur pertemuan ini.
Jika begitu, kenapa memaksa Regan datang seakan ini mengenai hidup dan mati? Karena, ayah dari wanita itu yang memaksa, menawarkan putrinya agar menjadi menantunya.
Anjas memejamkan mata sejenak teringat alasan pertemuan malam ini. Andai saja Regan mengenalkan kekasihnya sejak kemarin, ia bisa menggunakannya sebagai alasan menolak ajakan jadi besan oleh salah satu koleganya itu.
Sementara itu di tempat lain, Mara masih tampak gusar memikirkan uang yang masuk ke rekeningnya.
Mara yang berjalan mondar-mandir dalam kamar memikirkan uang dalam rekeningnya tiba-tiba menghentikan langkah dan menoleh pada ponselnya di atas nakas. Mengambil ponselnya itu, alisnya berkerut melihat hanya nomor yang tertera pada layar.