Mara berdiri dengan kepala tertunduk. Rasa hati ia ingin berlari tapi, kakinya seakan tak mampu. Saat ini ia telah berada di ruangan Regan, berdiri di tengah ruangan sementara Regan berdiri setengah bersandar meja kerjanya tanpa melepas perhatian dari Mara sedikitpun.
Regan menegakkan tubuhnya dan mengambil langkah di mana kedua tangannya yang sebelumnya bersedekap, kini tersembunyi dalam saku celana. Dan saat telah berdiri di hadapan Mara, sorot matanya menjadi lebih dingin dari sebelumnya.
“Hukuman apa yang pantas untuk wanita kurang ajar sepertimu?”
Beban ratusan ton seakan menimpa tengkuk Mara mendengar suara Regan. Keberanian yang sebelumnya terkumpul hingga berani menampar bahkan meludahi Regan, kini lenyap.
Sebelumnya Mara berniat kabur mengabaikan perintah Regan yang menyuruhnya ke ruangannya. Akan tetapi, Cimo seperti berpihak pada Regan dengan tidak mau menyala. Dan saat ia sudah frustasi dan berniat pulang naik taksi, satpam mencegahnya melewati gerbang dan tentu saja itu terjadi atas perintah Regan.
Kedua tangan Mara yang menyatu di depan pahanya saling meremas. Ia sedang berpikir mencari cara agar bisa terbebas dari situasi ini juga dari Regan. Apakah ia harus mengalah?
Tangan Mara uang berkeringat kian saling meremas saat ia mengambil satu keputusan.
“Maaf,” ucap Mara dengan suara amat pelan. Regan bahkan hampir tak mendengarnya.
“Maafkan saya,” ucap Mara kembali seraya menegakkan kepala. Kini raut wajah penuh keputusasaan pun terlihat jelas. Namun, ekspresi Regan tak berubah seakan tak peduli sama sekali.
“Bisakah anda melepaskan saya? Bisakah anda memberiku sedikit keringanan? Saya akan membayar yang anda anggap hutang, tapi bisakah anda menguranginya? Saya akan mencicilnya. Saya janji akan melunasinya tapi, tolong, lepaskan saya.”
Mara memilih menyerah daripada terus merasa ketakutan. Jika melawan Regan semakin membuat pria itu mengincarnya, ia akan mengalah, siapa tahu Regan akan luluh dan melepaskannya.
Regan hanya diam, entah apa yang ia pikirkan sampai tiba-tiba tangannya terulur membelai pipi Mara.
“Apa menurutmu aku akan melakukannya? Berani menamparku bahkan meludahiku, hutangmu bertambah jadi lima ratus juta.”
Mara melotot mendengar nominal uang sebanyak itu. Apa ia tak salah dengar? Ia kira caranya akan berhasil, mengiba dan mengalah pada Regan agar pria itu mengasihaninya. Akan tetapi, pria itu justru semakin mencekiknya.
Perlahan mata Mara mulai basah, bibirnya tampak bergetar, alisnya pun berkerut dengan hidung kembang kempis dan tampak merah. Hingga perlahan suara isakan terdengar, Mara menangis, menangis sejadi-jadinya membuat Regan yang melihatnya mengernyitkan alis.
“Apa salahku, Tuhan! Kenapa Kau memberiku cobaan seberat ini? Tidak cukupkah cobaan yang Kau berikan kemarin?” Mara meracau dengan tangan mengusap air matanya kasar. Ia merasa lelah dengan semuanya, merasa frustasi dengan nasibnya. Niatnya pindah ke luar kota untuk menghilangkan kenangan buruk dari Ranu, Viola dan Salsa, tapi di tempat barunya ia justru harus berhadapan dengan manusia seperti Regan.
Regan menutupi telinganya yang terasa berdenging mendengar tangisan serta racauan Mara. “Sudah, diam!” bentaknya yang mulai merasa muak. Namun, bentakannya itu justru membuat tangisan Mara makin keras dan makin mendrama. Mara juga mulai mengucap sumpah serapah untuk Regan.
“Diam! Kubilang diam!” teriak Regan. Niatnya memanggil Mara untuk kembali mempermainkannya, untuk sejenak melupakan pembicaraannya dengan Sera sebelumnya. Akan tetapi, ia mendapat hasil yang berbeda dari tebakannya. Mara justru membuatnya naik pitam.
Merasa tak sabar lagi, Regan menarik tangan Mara, menyeretnya keluar dari ruangan. Didorongnya Mara dengan kasar seperti mendorong karung beras.
“Dasar wanita sinting! Enyah dari sini!”
Jbles!
Pintu ruangan Regan tertutup dengan keras sementara Mara tersungkur di lantai.
Mara berusaha bangun dan berdiri di mana tangisnya masih tersisa. Namun, perlahan tangisannya mereda, ia pun mengusap air matanya dengan elegan menggunakan jari telunjuknya.
“Hah … akhirnya dia memecatku,” gumam Mara. Siapa sangka tangisannya hanya sebuah sandiwara. Ia berhasil keluar dari ruangan Regan tanpa ada luka, Regan bahkan mengusirnya yang ia pikir artinya ia telah dipecat.
“Kenapa aku tidak melakukan cara ini sejak kemarin?” batin Mara yang merasa puas dan merasa telah berhasil mengelabui Regan.
Mara membenahi pakaiannya kemudian mengambil langkah pergi dari sana. Namun, sebelum itu ia bicara pada pintu seakan bicara langsung pada sang atasan.
“Sampai jumpa bos sinting.”
Sementara itu dalam ruangan, raut wajah Regan masih menunjukkan kemarahan serta kekesalan. Bahkan saat ponselnya berdering, ia membanting ponselnya itu meluapkan kekesalannya tak peduli ia harus membeli ponsel yang baru.
“Dari planet mana dia berasal? Dia benar-benar tak waras,” geram Regan dalam hatinya.
***
Brugh!
Mara menjatuhkan tubuhnya ke kasur saat baru tiba di rumahnya. Setelah drama yang terjadi di ruangan Regan, ia segera pulang naik taksi meninggalkan Cimo yang masih mogok.
“Hah … baru setengah hari, tapi rasanya sudah lelah sekali,” desah Mara yang membenamkan wajahnya pada bantal. Ia masih berada dalam posisi itu selama beberapa saat kemudian membalikkan tubuhnya menjadi menatap langit kamar.
“Padahal hanya pura-pura menangis tapi mataku rasanya berat,” gumam Mara dengan mengucek mata. Setelahnya, Mara menatap langit kamarnya dalam diam memikirkan apa yang akan dilakukannya setelah ini. Ia tengah berpikir pekerjaan apa yang kiranya tidak membutuhkan surat-surat penting seperti ijazah, surat pengalaman kerja dan yang lain. Selain itu ia tidak begitu memikirkannya apa lagi hutang yang Regan klaim. Ia yakin jika dibawa ke pengadilan, Regan justru akan dipermalukan.
Perlahan mata Mara mulai terasa berat hingga tak dirasa ia pun mulai memejamkan mata.
Di sisi lain, Regan tengah menatap layar notebook di hadapan yang mana menunjukkan rekaman cctv di depan ruangannya. Entah kenapa ia penasaran apa yang Mara lakukan setelah ia mengusirnya seperti sampah.
Seketika mata Regan melebar melihat apa yang Mara lakukan. Meski tak mendengar apa yang Mara ucapkan, melihat gerak tubuhnya saja ia tahu ia telah dibodohi.
“Dasar wanita sialan,” geram Regan seraya mengepalkan tangan seakan meremas Mara hingga lumat.
Regan menutup notebooknya kemudian bangkit berdiri dari kursi putarnya. Mengambil langkah, tujuannya adalah memberi Mara pelajaran. Jika saja menghajar wanita dihalalkan bagi seorang pria, ia sudah menghajar Mara sampai babak belur.
Akan tetapi, tiba-tiba langkah Regan terhenti saat tangannya telah menggenggam gagang pintu. Ia, mendapat satu ide yang lebih bagus daripada harus melakukan kekerasan.
Perlahan seringai tipis yang berakhir menjadi seringai bengis terukir di bibir Regan. Melepas genggam tangan pada gagang pintu, ia berbalik kembali duduk pada kursi putarnya. Ia, akan memberi Mara pelajaran hingga wanita itu bertekuk lutut padanya seperti seekor peliharaan.