9. Berkenalan dan jujur lagi

1403 Kata
"Randra, kamu hari ini pulang dari sekolah datang ke kantor," Iqbal membuka pembicaraan dimeja makan. Keluarga Basri sedang sarapan pagi, seperti biasa, Iqbal akan ke kantor, Randra juga akan ke sekolahnya, ada Misya, sang adik yang masih SMP kelas 2 yang akan ke sekolahnya juga, lalu ada Laras Anggita, sang ibu yang akan ke butiknya. Randra berhenti menguyah rotinya dan menoleh ke arah sang ayah. "Bukannya tadi malam sudah?" Randra bertanya. "Tadi malam kan baru pertemuan personal dengan om Juna, nanti siang kamu akan adakan pertemuan resmi, belajar dari sekarang supaya bisa mengurusi bisnis kakek dan papa," Iqbal menjelaskan. Randra hanya diam, ia melanjutkan lagi mengunyah rotinya. "Kamu akan memegang kerjasama ini, papa akan lihat hasilnya nanti," lanjut Iqbal. Randra berhenti mengunyah rotinya lagi. "Kalau hasilnya bagus dan sesuai dengan target, kamu akan papa kirim ke Paris, atau kemana saja ke universitas yang kamu inginkan," lanjut Iqbal. Randra menoleh ke arah ayahnya dan terdiam memandangi wajah sang ayah. Iqbal tersenyum tipis ke arah sang anak. "Masalah kakek yang ingin mengirimmu ke Amerika, akan papa bicarakan dengan kakekmu," lanjut Iqbal. Randra tertarik dengan tawaran sang ayah. Kakeknya Dimas Aji Basri sangat menginginkan Randra belajar ke Amerika, Randra merupakan bakal calon pimpinan Basri Group, Basri Group menaungi beberapa bidang perkerjaan sekaligus, karena dia merupakan anak lelaki tertua dari keturunam Basri, meskipun ayahnya adalah anak ke tiga, saudara ayahnya yang lain merupakan perempuan semuanya, mereka juga punya anak lelaki yang unurnya di atas Randra, seperti Aliandro Wijaya, sang kakak sepupunya dari bibi pertamanya yang berumur 22 tahun, ia telah menyelesaikan studinya di Singapura, dan sekarang akan masuk kerja di salah satu anak perusahaan kakeknya, lalu ada Arga Ramadhan Astrian, berumur 21 tahun, merupakan anak pertama dari bibi keduanya, sekarang sedang kuliah di ITB, setahun lagi ia akan lulus. Randra memang di istimewakan, segala fasilitas utama untuknya, ia juga cucu kesayangan kakeknya sejak ia lahir hampir 18 tahun lalu. "Papa tahu apa yang kamu inginkan," ucap Iqbal. "Jangan marah atau kesal pada kakekmu Ran, menjadi anak laki-laki satu-satunya keluarga Basri memang begitu, papa juga sepertimu dulu, di istimewakan," lanjut Iqbal. Randra memangguk singkat. "Keluarga Basri kekurangan anak lelaki, seperti yang kamu tahu, kakek juga anak tunggal, tak ada saudaranya, papa sendiri anak laki-laki satunya dari lima bersaudara, dan kamu anak laki-lakinya dari papa," lanjut Iqbal. Iqbal melirik ke arah sang isteri. "Yah, kalau saja mama kamu mau hamil lagi," "Uhuk uhuk!" Laras tersedak. "Papa apa-apaan sih bilang mama mau hamil lagi," Laras bersuara agak kesal. Misya menahan tawa, Randra sendiri tersenyum tipis. Iqbal tersenyum geli. "Kan dulu mama bilang mau hamil lagi, kenapa sekarang tidak mau?" Iqbal bertanya. Laras mendelik kesal ke arah sang suami. "Itu kan dulu papa, sekarang mama udah tua, lagian umur empat puluh dua kan rentan kalau melahirkan," ucap Laras agak dongkol. Iqbal dan kedua anaknya menahan tawa. "Jangan ketawa!" Laras berseru ke tiga orang keluarganya. Misya dan Iqbal cepat-cepat memakan roti mereka, sedangkan Randra meminum coklat hangatnya. "Yah kalau Randra mau nikah habis sekolah tidak apa-apa juga sih kalau isterinya hamil dan punya anak," celutuk Laras asal. "Byuuurr...," "Ahk panas!" "Hahahahahaha," Randra menyemburkan coklat hangatnya mengenai sang ayah, sedangkan Laras tertawa setan. ♡♡♡ "Belum ditemukan keberadaan dompet anda, Tuan," terdengar suara dari seberang telepon. "Aku tidak butuh uang yang ada di sana, hanya barang-barang pentingku saja," sahut Aran dingin ke arah sang penelpon. "Cari sampai ketemu Tom, jika tidak ada kabar sampai tiga hari kedepan, kau akan masuk mesin cetak senjata kakekku," lanjut Aran dingin. Klik Dia memutuskan panggilan secara sepihak. "Sudah empat hari tapi masih tak ada perkembangan, ciihh," kesal Aran di dalam mobil. Ia dalam perjalanan ke sekolahnya, pagi-pagi begini datang kabar dari asistennya kalau dompetnya yang hilang belum ditemukan, entah bagaimana cara sampai dompet itu hilang. Lampu merah, tanda kendaraan berhenti dan memberi pejalan kaki untuk menyebrang. "Ran Ran Ran...Ran Ran Ran...braam braam... braam braam Ran Ran Ran...Ran Ran Ran broom broom, broom broom," terdengar seorang gadis sedang bersenandung ngaur sedang menyebrangi jalan. Aran menoleh ke arah gadis itu, berambut merah bata, ciri-cirinya sama seperti gadis kemarin pagi ia lihat sedang bercakap-cakap panik dengan sang teman. "Golongan kiri," gumam Aran. Moti, si gadis yang sedang bersenandung ngaur sambil menyebrang tersebut menoleh ke arah mobil sport silver yang sedang memperlihatkan sang pengemudi. Crriiitt Moti me-rem langkahnya mendadak, ia mengerjab-ngerjabkan matanya berulang-ulang. Merasa belum yakin, ia mengucek-ngucek kedua matanya ke arah dimana Aran berada. Sekarang Moti yakin bahwa orang yang sedang ia lihat beberapa meter darinya kini adalah orang yang mirip gambar di kartu yang ia temukan di dalam dompet itu. Moti tak mempercayai penglihatannya ini, ia menjatuhkan rahang bawahnya tak sadar. Aran membalas tatapan gadis berambut merah bata itu sinis, ia menaikan sebelah alisnya. Ia berasumsi bahwa, gadis itu sedang menikmati ketampanannya seperti gadis-gadis lain yang disekitarnya. Di situ juga terdengar bisik-bisik dari gadis-gadis dan ibu-ibu yang mengarah padanya. "Tampannya," "Astaga, itu manusia?" "Subhanallah," "Seperti model di majalah eh," "Apa aku salah lihat?" Dan masih banyak lagi bisik-bisik kagum pada dirinya. Twing! "Pemirsa, seorang putri dari polisi berpangkat perwira tinggi bernama Brigadir Jenderal Mohammad Mochtar Baqi, melakukan sebuah kejahatan dengan upaya menyembunyikan dompet beserta kartu identitas dari seorang pemuda yang bernama Aran Möch dengan tujuan merangkai kebohongan agar dirinya mendapat keuntungan, sekarang telah diputuskan hakim bahwa Moti Akila Baqi dinyatakan bersalah, bersalah, bersalah.... Atas nama Tuhan Yang Maha Esa, maka hakim memutuskan saudari Moti Akila Baqi terbukti bersalah, bersalah, bersalah... Momok! Momok! Momok! Bunda! Ayah! Kak Agil! Gilan! Gea! Aaaaa...tidak!" Twing! "Aaaa...ya ampun pemilik dompet!" Moti berteriak histeris lalu lari terbirit-b***t dari situ. Aran tersentak kaget mendengar teriakan dari sang gadis itu. "Pemilik dompet?" sahut Aran. Lalu matanya terbuka lebar. "Dompetku!" ♡♡♡ "Astaga! Astaga!" Moti berlari sambil mengoceh panik. "Ada seorang most wanted datang ke SMA Socien, kereeen banget," "Masa? Siapa?" "Sang mantan wakil ketua geng Storm Rider, Aran Möch," Moti mengingat percakapan kemarin di kantin sebelum ia tersedak dan jatuh pingsan. "Aku harus selamat! Harus selamat!" Moti mengoceh lagi. Cciiitttt Bum "Berhenti!" Moti berbalik, matanya melebar. Disana, pemuda yang tadi ia temui memarkirkan mobilnya sembarangan dan berlari ke arahnya sambil berteriak. "Oh tidak!" panik Moti. Ia kembali berteriak panik dan berlari tak karuan. "Bunda! Momok janji, besok-besok Momok dengerin omongan bunda kalau nggak dulu masuk ke sekolah!" Moti meratapi nasibnya. Ia mengingat-ingat omongan bundanya tadi pagi. "Loh, Momok jangan dulu ke sekolah, kan Momok masih sakit," Nulani bersuara lembut ke arah sang anak. "Tapi bunda, hari ini Momok ada praktek di kebun bunga," balas Moti. "Nanti bunda ke sekolah kamu lalu kasih surat sakitmu, hari ini di rumah, nggak boleh bantah omongan orang tua, nanti dosa," tutup Nulani. Twing! "Aaa...Momok kualat!" seru Moti. "Berhenti aku bilang!" terdengar suara teriakan menggelegar dari arah belakangnya. Moti terus berlari entah kemana, ia sudah ngos-ngosan tapi masih memaksakan diri. "Ck! Meyusahkan saja!" Aran berdecak. Ia menambah laju larinya lalu melompat ke arah sang target. Hap "Aaaa--hmmpp!!" Moti memberontak kuat. "Astaga! Aku tertangkap!" batin Moti panik. "Sstt!" Aran berdesis. Moti berusaha berteriak. Aran menyeret tubuh kecil Moti ke salah satu lorong sempit dan membungkam mulut gadis itu kasar. Brak "Aahmmmppp!!" "Diam!" ♡♡♡ "M-maaf...M-momok nggak se-sengaja nemuin d-di jalan," ucap Moti ketakutan. Ia beringsut mundur di atas tanah di lorong sempit itu. Setelah melalui berbagai aksi bekap-membekap sampai terseret-seret di atas tanah, lalu berguling-guling di atas tanah lorong sempit itu. Rambut merah bata Moti berantakan, kamejanya acak-acakan, dan sekarang ia duduk beringsut sambil menunduk di atas tanah dan sedang diberi tatapan tajam dari sang pemilik dompet yang ia temukan. "Lalu--," ucapan Aran terputus. "Momok berani sumpah, Momok nggak sengaja nemuin dompet mas deutsch di trotoar jalan ke mall waktu ituuu," Moti berbicara cepat. Aran menaikan alisnya. "Momok nggak ngambil apapun dari situ!" Aran menahan senyum gelinya. "Sumpah! Momok mau ngembalikin dompetnya tapi Momok nggak tahu gimana baca tulisan itu, pake titik-titik dua lagi, terus nggak ada yang Momok ngerti!" Aran menahan tawanya mendengar penuturan gadis itu. "Ke-kemarin Momok takut mau ngembalikin dompetnya mas...soalnya, soalnya...," Moti tergugup. Aran menaikan sebelah alisnya minta penjelasan lanjut, Moti yang dari tadi mendongak takut-takut lalu menunduk lalu mendongak lagi, ia takut melanjutkan kata-katanya. "Soalnya?" Aran bertanya. "Soalnya...soalnya...soalnya kemarin Momok dengar kalau mas itu wakil ketua geng S-sttorrmm Riderr...jadi Momok takuuuuutt...," Moti panik. "Kan mereka jahat-jahat upss-hmp!" Moti langsung membekap mulutnya. Suasana hening setelah itu. "Hahahahahahaha!" Aran tak sanggup menahan tawanya lagi. ♡♡♡ "Dimana rumahmu?" Aran bertanya. Moti melirik ke arah pemuda itu. "Momok mau kesekolah," sahut Moti. Aran menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mau pergi dengan tampangmu itu?" tanya Aran. Moti mencari kaca spion lalu melihat tampangnya yang baru saja selesai melakukan acara acak-acakan sambil guling-guling. "Haaa...," Moti kaget sambil menahan napas. "Kalau ke sekolah nanti dimarahi guru lalu di usir, kalau pulang ke rumah nanti dimarahin bunda," Moti mulai panik. Aran menarik napas lalu menghembuskannya kasar. "Kalau begitu pulang saja," sahut Aran datar. Moti menoleh ke arah Aran dan mencebik kesal. Mereka saling melirik. Moti dengan perasaan kesal karena penampilannya yang acak-acakan sedangkan Aran dengan perasaan menahan geli. Penampilan Aran juga acak-acakan, ada serbuk-serbuk tanah yang menempel di pakaian sekolahnya. "Moti Akila..., namamu cukup jarang didengar," sahut Aran. "Kata bunda, biar nggak ada yang punya nama sama Momok," balas Moti pelan. Aran menaikan sebelah alisnya. "Momok?!" ulang Aran. Moti mengangguk. "He'em Momok," sahut Moti Aran memperhatikan baik-baik diri Moti. Satu hal yang ia tangkap dari bagian diri Moti yang membuatnya tertarik. "Rambutmu merah seperti kera," Plak "Aakhhh!" ♡♡♡
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN