11. Rahasia Febrian

1688 Kata
"Ibu, ada tamunya Mas Agil di depan," Nira, sang pembantu rumah tangga itu memberitahukan sang nyonya rumah. Nulani mengerutkan keningnya. "Oh, suruh mereka masuk bi, ini kan sebentar lagi mau makan malam, sekalian ajak mereka saja," suruh Nulani. "Baik bu," Nira mengangguk, wanita setengah abad itu buru-buru ke ruang tamu. "Mas-mas sama neng-neng ini ayo mari ikut saya ke dalam, ibu suruh, nanti baru di panggilin mas Agilnya," ajak Nira. Febrian, Alan, Dwi, Ussy, dan Mali mengikuti mbok Nira. "Assalamualaikum," salam seorang gadis sambil memasuki rumah itu. "Wa alaikumsalam, eh neng Cika, ayo masuk," balas Nira. "Mbok Nir, Agil mana?" Cika bertanya. "Masih di kamarnya neng, ayo mari ke ruang makan," jawab Nira. Cika mengangguk. "Kalian udah datang semua nih?" tanya Cika ke arah teman-temannya. Kelima orang itu mengangguk. "Kayak nggak lihat kita aja, Cik," cibir Mali. "Hehehehe," cengir Cika. "Eh, Naran mana?" tanya Cika. Kelima orang itu saling memandang. "Naran nggak datang, dia katanya ada urusan keluarga," jawab Ussy. Cika manggut-manggut. "Halah alesan, dia nggak datang, takut karena kemarin ngatain Momok kera--mpph!" Cika dengan sigap membekap mulut Mali. "Sstt, jangan bilang Momok kera lagi, nanti tante Nulan marah loh," bisik Cika. Mali membulatkan matanya lalu mengangguk berulang-ulang. "Assalamualaikum om, tante, eh ada Gea juga," sapa Ussy. "Oh ini dia ayah, teman-teman Agil, eh Cika, ayo sini duduk-duduk, ini mau makan malam, Cika bantuin tante dong ambilin lauknya," pinta Nulani. "Ok tante," sahut Cika. "Kita juga yah tante bantu ambilin apa aja boleh kok," Mali menawarkan. Nulani tersenyum lebar. "Ah, boleh-boleh, ayo ambilin sayurnya," pinta Nulani. Mali tersenyum lebar lalu mengangguk. "Gea, tolong panggilin kak Agil, Momok sama Gilan!" pinta Nulani pada sang anak bungsu. "Ok, bun." sahut Gea, lalu ia bergegas ke lantai dua. "Aaaaaaa bundaaaa!" terdengar suara teriakan Moti menggelegar seisi kamarnya. "Ya Allah, suara apa itu?" Nulani kaget. Mochtar menoleh ke arah tangga lantai dua. "Itu suara Momok, tante," sahut Cika dari dapur sambil membawa telur balado. "Awas kamu yah Momok!" terdengar suara Agil berseru dari lantai dua. Brak Bruk Gubrak "Bundaaa!" Moti berteriak. "Ya ampun, itu ada apaan sih?" Nulani bertanya cemas. "Aa...bunda, itu kak Agil sama kak Momok berantem!" Gea berseru panik. Ia lari turun dari lantai dua. Mochtar dan Nulani melangkah keluar dari arah dapur. "Kak Momok jangan bawa-bawa Gilan dong!" seru Gilan kesal dari lantai dua. Buk Buk Buk Terdengar suara langkah kaki, Gilan turun dari atas tergesa-gesa. Buk Buk Buk Momok berlari dari lantai dua turun ke lantai satu. "Momok, jangan lari-lari, nak!" seru Nulani panik. "Momok! Sini kamu!" Agil berseru. Buk Buk Buk Hap Tubuh Moti tertangkap Agil. Bugh "Isshh," Moti menendang Agil. Mereka berdua berguling-guling di ruang keluarga. Moti merayap ke arah dimana bundanya berada. Sedangkan Agil menggapai kaki Moti. Hap "Dapat!" Agil berseru. Bugh Moti menendang. Agil menarik sang adik agar mendekat. Sreett "Kak Agil jangan tarik kakinya Momok!" Moti kesal. Bugh "Aduh!" Agil mengaduh sakit. Moti menendang wajah kakaknya. Agil tanpa hitungan ditundukan kepalanya pada paha Momok. Cuk "Aaaaaaaa!!" Bruk Brak Sreet Bugh "Awh!" "Momok! Agil! Stop!" ♡♡♡ "Ck, ck, ck, kalian benar-benar nakal," Nulani membuka suara. Agil dan Moti duduk terdiam sambil membuang pandangan. Setelah Cika dan Febrian memisahkan kedua saudara yang tadi sedang guling-guling sambil gigit-gigitan itu, akhirnya Moti dan Agil terpisahkan juga. Paha kanan Moti membiru, bekas gigitan Agil tercetak jelas di paha bawahnya, sedangkan wajah Agil tambah lagi satu hiasan lebam di pipi kirinya. Moti menyikut wajah kakaknya dengan lutut kiri karena Agil menggigit layaknya hewan kanibal yang sedang menggigit mangsanya. "Kak Agil, Bun, pas aku abis sholat maghrib kak Agil langsung main angkat-angkat kaya Momok karung beras," sahut Moti beralasan. "Apa! Aku?! Momok sendiri yang tadi mulai duluan kok, bun." Sela Agil. "Kamu kalau nggak buat masalah tadi, yah aku nggak mungkin balas," lanjut ia lagi. "Masalah apa juga sih kak? Sendiri yang punya masalah Momok disalahin, emang wajar kok Momok nggak ke sekolah, kan Momok lagi sakit," kilah Moti tak mau kalah. "Halah alasan, tadi bunda nelpon katanya kamu kabur lalu ke sekolah, pas disekolah aku cariin nggak ada, nih lihat, penuh perjuangan cari kamu sampai aku babak belur gini," sela Agil lagi tak mau kalah. "DIAM!" Mochtar bersuara. Ruang makan itu seketika sunyi. Teman-teman Agil dan Cika membungkam mulut mereka, ada yang menahan tawa karena kelakuan kocak dua bersaudara itu. "Ini meja makan, tempat untuk makan, kalau mau berantem silahkan diluar!" ucap Mochtar tegas. Cika mati-matian menahan tawanya agar tak keluar, hatinya masih terasa geli akan kelakuan sepupu kocaknya itu. "Ayo makan!" ajak Mochtar. Semua orang mengikuti intruksi sang kepala keluarga itu. "Ck, ck, ck." decak Nulani sambil melirik kedua anaknya. "Teman-teman sedang ada disini kalian malah berantem, malu dong." lanjut Nulani. ♡♡♡ "Kita nggak nyangka ternyata tingkah kamu beda banget kalau lagi sama Momok," Mali membuka suara. Mereka sedang berada di ruang belajar, di ruang yang berukuran cukup luas itu ada perpustakaan mini yang memang Mochtar siapkan untuk anak-anaknya. "Iya Gil, sumpah tadi tuh kalian kayak kucing dan tikus, eh tadi juga pas kamu gigit pahanya Momok, kayak singa lagi gigit kera tahu," Mali ceplos. "Hahaaha," "Sssttt," Cika memberikan isyarat untuk diam. "Momok itu lain dari pada yang lain guys, dia itu dulunya suka main gantung-gantungan di pohon depan noh, ck ck ck, makanya aku sama Agil suka ngejek dia kera apalagi didukung rambutnya yang merah itu, jadinya Wow deh," jika berucap. "Hehehehe," "Lucu juga, jadi pengen punya adik kayak Momok," celetuk Febrian tanpa sadar. Agil melirik tajam ke arah Febrian. "Jangan sampai deh kamu punya adik kaya dia, heran aku...nanti kamu sendiri yang rugi," celetuk Agil. Febrian tersenyum geli. "Buat kamu rugi, tapi buat aku nggak, dia gadis manis," ucap Febrian tanpa sadar. Cika dan yang lainnya menoleh ke arah sang wakil ketua geng mereka. Agil memincingkan matanya tajam ke arah sang teman. Dwi menoleh dan memperhatikan gelagat Febrian. "Kau...jangan bilang...," Agil memincing tajam. Febrian tersadar apa saja yang baru ia bicarakan, ia tiba-tiba salah tingkah. "Ehm...em...," Febrian gelagapan. "Febrian...jangan bilang kau suka adikku Momok," ucap Agil tajam. Febrian salah tingkah. "A-apa...jangan sembarangan yah...s-sudah ada M-meli kok," ucap Febrian salah tingkah. Cika menyipitkan matanya. "Aku tidak percaya, kau barusan bilang kalau Momok buat Agil itu rugi tapi buat kamu nggak, dan tadi kamu bilang Momok itu gadis yang manis...kamu...Febrian jelasin--," "Stop! Stop! Cika jangan bahas materi lain yang keluar dari diskusi kita hari ini yah!" seru Febrian cepat. ♡♡♡ Febrian sedang berdiri di atas balkon lantai dua, di situ ada ruang santai dan juga ruang nonton yang saling terhubung. Ia menarik napas dan menghembuskannya berulang-ulang. "Hm," Dwi memberikan jus jerus pada sang teman. Febrian menggapai gelas jus itu. "Thanks," ucap Febrian. Dwi memgangguk singkat. Febrian meminum jus itu. Brrtt brrtt Mereka memandangi pemandangan luar yang terhubung dengan kebun bunga milik ibu Agil. "Gea bantuan kak Momok petik bunga kembang malam itu dong!" terdengar suara Momok dari lantai satu, ia keluar menuju kebun bunga milik ibunya. Hari sudah malam, baru saja ia sholat isya, dan Moti akan memetik beberapa bunga yang ada di kebun ibunya untuk melakukan praktek personal. "Ok kak," sahut Gea. Momok menenteng ember kecil berisi peralatan memotong bunga. "Kak, potong yang mana?" Gea bertanya. Momok sedang melihat-lihat bunga mawar putih yang baru saja kembang. "Itu, yang kembang malam," jawab Moti tanpa menoleh ke arah sang adik. "Berapa tangkai kak?" tanya Gea. "Sepuluh," jawab Moti. Gea mengambil gunting lalu ia mulai memotong tangkai-tangkai bunga yang di yakininya adalah bunga kembang malam. Gut, satu tangkai. Gut, dua tangkai. Gut, tiga tangkai. Gut,... Gut, sepuluh tangkai. "Kak Momok, ini udah selesai motongnya," "Oh, Gea bawa kemari bunganya, guntingnya juga, nanti kamu taruh bunga mawar ini di dalam baskom warna biru itu yah," pinta Moti. "Ok," sahut Gea. Mata Febrian tak lepas dari interaksi Moti sedari tadi, dimana Moti berjalan dan bergerak, disitu juga mata Febrian menatap. Dwi tahu ada yang disembunyikan oleh temannya ini, terlihat jelas bagaimana cara Febrian memperhatikan Moti. "Kak ini bunganya," Gea menaruh ember yang berisi sepuluh tangkai yang katanya menurut Gea adalah bunga kembang malam. Moti berbalik dan mengambil ember itu, dilihatnya bunga sepuluh tangkai yang baru saja di petik oleh sang adik. "Aaa astaga! Gea! Ini bukan bunga kembang malam!" cicit sang kakak panik. "Hah! Lalu itu bunga apa kak?" tanya Gea. "Aduh Gea, ini bunga krisan miliknya bunda," jawab Moti panik. "Apa?! Aduh kak, Gea nggak tahu kalau itu bunga krisan yang selama ini bunda sayang-sayang," Gea panik. Bunga yang ia potong tadi adalah bunga krisan milik Nulani yang ia rawat sepenuh hati dan penuh kasih sayang. Habislah dia jika bundanya tahu kalau bunga krisan putih itu di potong sebanyak sepuluh tangkai. Moti panik, bundanya pasti marah besar, atau bisa jadi bundanya tidak akan memberi kesempatan Moti untuk memasuki area kebun bunganya lagi. "Aduh kak Momok, gimana nih? Hiks...hiks..," panik Gea sambil menangis. "Sstt nangisnya jangan keras-keras, pelan-pelan aja, nanti bunda denger bisa habis kita," ucap Moti. Gea membungkam mulutnya dengan tangan kirinya. "Eh...emm...aduh gimana yah? Momok sendiri bingung Gea, ini mau di apakan lagi bunganya?" Moti juga bertanya bingung. Lama ia berusaha berpikir untuk jalan keluar dari masalah dadakan ini. Matanya tak sengaja melihat kursi kayu yang ada di teras pinggir kebun bunga itu. "Aha!" Moti tersenyum. "Masuk ke dalam lalu ambil lem sama perekat, ayo cepat," suruh Moti pada sang adik. "Dimana?" Gea bertanya. "Di ruang belajar, tadi ada di samping kiri meja belajarnya kak Agil, ayo buruan, jangan sampai bunda lihat," ucap Moti cepat. Gea berlari memasuki rumah. "Gea jangan lari-lari nak," terdengar suara sang ibu. "Mampus! Bunda datang lagi," batin Moti panik. Nulani berjalan ke luar rumah dan sedang memandangi kebun bunganya. "Eh Momok, kamu udah dapet bunga yang mau dipakai?" Nilani bertanya. Momok mengangguk berulang-ulang. Gea tiba di belakang sang bunda, ia terdiam di tempat. Nulani tak menemukan keganjilan pada kebun bunganya, sebab Moti dengan gerakan cepat-cepat mengambil sepuluh tangkai bunga krisan itu lalu menyisipkan kembali ke dalam daun-daun bunga itu. Nulani berbalik dan mendapati anak bungsunya sedang berdiri sambil memegang toples lem dan perekat. "Itu kamu bawa apa?" Nulani bertanya. "Eh...emm...ini...," gugup Gea. "Gea mana alat-alatnya kak Momok? Ayo sini cepetan udah malam nih!" Moti pura-pura berseru ke arah sang adik. "Ah iya kak, ini bun...," "Oh...yah sudah sana," suruh Nulani. Ketika Nulani berbalik, tangkai-tangkai bunga krisan tadi jatuh dari daun-daunnya. "Huuufff...," Moti dan Gea menarik napas lega. "Hampir saja, untung ada kak Momok," sahut Gea lega. Moti hampir saja serangan jantung. "Ppffftt hahaha-mmpphhh!" Febrian menahan tawanya dari atas balkon. Sementara Dwi tak mampu menaham gelinya, ia tersenyum lalu tertawa tak bersuara, sungguh jarang-jarang bagi Dwi bisa tertawa. Moti menoleh ke atas balkon dan melihat dua orang teman kakaknya sedang menahan geli karena tingkahnya dan Gea. Moti menggaruk-garuk kepalanya sambil tersenyum masam. Febrian dan Dwi mengangkat jari telunjuk mereka ke arah bibir, Moti tersenyum lalu mulutnya mengucapkan kalimat terima kasih dengan isyarat. Febrian dan Dwi mengangkat jempol mereka. "Hm...ppfftt...," Febrian menahan rasa geli. Dwi menoleh. "Jadi, sudah berapa lama kau menyembunyikan ini?" tanya Dwi. Febrian menoleh, ia tersenyum kecil. "Dua tahun yang lalu ketika aku datang pertama kali di rumah ini, aku merasa tertarik padanya," jawab Febrian. "Lalu tahun lalu ketika Naran dilempari kaleng s**u oleh Momok, pulang dari sini aku tak bisa tidur dan kau tahulah apa yang terjadi pada lelaki jika sedang tumbuh dan masa puber...selalu memikirkan dia, huufff," aku Febrian sambil menarik napas gusar. Agil berbalik ke arah tiga teman perempuannya dan memberi isyarat pada mereka bahwa 'diam dan rahasiakan ini'. Mali, Ussy dan Cika mengangguk. ♡♡♡
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN