Chapter 14

987 Kata
Ah sial. Detik pertama matanya terbuka, detik itu pula ia merasakan ngilu di sekujur tubuhnya. Gadis yang kini rambutnya terurai acak acakan itu nampak mencoba terduduk dari tidurnya, meski keluhan keluhan keluar dari bibirnya sembari salah satu tangannya mencoba mengurut pinggangnya yang terasa sangat berdenyut denyut. Kala itu juga, ia baru menyadari bahwa tubuhnya belum sepenuhnya baik baik saja setelah luka bakar yang cukup memenuhi tubuhnya itu. Baiklah, dia akan mencoba mencari seseorang yang bisa mengobati lukanya sebelum luka luka itu membusuk karena tidak dirawat dengan benar olehnya. Omong omong, bagaimana caranya bisa pulang ya kemarin malam?? Ia sama sekali tak ingat apa yang ada di pikirannya, tahu tahu ia sudah ada didepan sebuah rumah yang sederhana untuk kalangan orang yang memiliki rumah di kota, tapi tidak dapat dibilang sebagai rumah biasa pula. Semalam, sekiranya hampir tengah malam ia berhasil sampai ke rumahnya. Sekarang, jika jam yang tertera di jam dindingnya adalah benar, maka artinya gadis yang satu ini sudah tertidur selama kurang lebih enam belas jam. Karena saat ini pukul empat sore. Tubuhnya lengket, semuanya terasa nyeri, belum lagi kepalanya yang masih terasa berat akan kantuk, namun perutnya berteriak kelaparan karena belum diisi sejak enam belas jam yang lalu membuat gadis dengan nama anugrah Maximilan itu memaksakan tubuhnya untuk bangkit bangun dan membersihkan diri, lalu keluar rumah untuk mencari sesuatu yang bisa menenangkan lambungnya yang tengah emosi. Semi akhirnya keluar dari rumahnya hanya untuk mendapatkan fakta lainnya bahwa ternyata ia bisa menyimpan kudanya dirumah?? Bisa bisanya ia memiliki kandang kuda khusus yang bahkan jauh lebih terawat dibanding beberapa bagian tempat yang sempat Semi lihat ketika pulang kemarin. Lalu, kapan pula ia memasukkan kudanya itu kedalam kandang?? Sepertinya dalam perjalanan pulang kemarin, Semi benar benar bak orang kehilangan kesadaran karena tak ingat apa apa. Untung saja ia berhasil sampai dirumahnya dengan selamat. Dari mana pula kuncinya ia dapatkan. Ah, entahlah. Sekarang mari mencari sesuatu untuk memenuhi sarapan sekaligus makan siang yang dimakan pada sore hari ini. Rumah Semi lokasinya berada tidak jauh dari pusat ekonomi dimana hampir semua hal akan diperjual belikan disana. Jadi, tak perlu ribut ribut harus membawa kudanya –karena ia tak memiliki carriage-, gadis yang satu itu bisa berjalan selama beberapa menit untuk sampai di lokasi. Dan lagi dan lagi, semua orang bak sudah mengetahui dirinya, langsung meminggir memberi jalan ketika ia akan melewat. Seakan akan bahwa gadis yang bahkan belum genap tiga puluh tahun ini akan melakukan sesuatu yang buruk jika mereka tidak menyingkir. Awalnya, si pemilik nama akhir Maximilan ini pun bingung dari mana semua orang mengenalinya meskipun ia tidak mengenakan atribut prajurit terhormatnya, atau apakah memang wajahnya sebegitu dikenalnya di negerinya ini. Jawabannya adalah betul sekali, wajahnya dikenal oleh seluruh orang di penjuru negeri mereka. Bahkan anak anak kecil yang biasanya tak tahu banyak hal pun mengetahui tentang dirinya. Pun, sepertinya hanya dia satu satunya manusia berjenis kelamin perempuan yang seenak hati berkeliaran menggunakan celana. Dimana di negeri mereka, hampir semua gadis hingga wanita tentu saja akan menggunakan gaun mereka. Bingung harus melakukan apa, yang bisa Semi lakukan hanyalah membalas senyum dan sapaan dari orang orang yang menyapanya dengan lembut. Kebanyakan dari mereka adalah gadis atau wanita commoner beserta anak anak mereka yang tengah berkegiatan disana. Para noble atau bangsawan hanya terdiam meskipun beberapa nampak tersenyum tipis. Well.. memang tidak ada untungnya bagi mereka untuk memberikan manner bahwa mereka menyukai Semi, toh gadis itu memang tak memiliki pengaruh apapun di politik negeri mereka ini. Dimata mereka, Semi hanyalah alat dari keluarga kerajaan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan lewat kegiatan fisik yang mempertaruhkan nyawa, dan Semi pun dianggap tak akan protes karena hal itu dengan imbalan uang dan honor yang cukup untuknya hidup selama ini. Tempat pertama yang gadis itu datangi bukan lain adalah sebuah restaurant terdekat dari matanya melihat. Tak peduli jika itu restaurant untuk para masyarakat biasa atau untuk para bangsawan, kakinya melangkah dengan percaya diri dan masuk dengan tampang yang sangat datar. Ia langsung memilih untuk duduk di salah satu meja selagi salah satu pelayan tergopoh gopoh kearahnya memberikan sebuah buku menu dengan cover hitam dan corak emas. Seraya menunggu pesanannya dibuat, Semi mengalihkan pandangannya ke luar jendela yang menampakkan bagaimana huru hara masyarakat yang tengah melakukan pertumbuhan ekonomi. Berbagai macam karakter dan bagaimana mereka menghadapi masalah sepela pun terlihat dari bagaimana mereka bersikap disana, meskipun tentu saja tidak akan jelas terlihat karena bagaimana mungkin menilai seseorang hanya dari perangainya dalam sekian menit. Tak ada yang tahu ada hal apa dalam sekian menit itu yang bisa saja membuat seseorang merubah sikapnya menjadi tak biasa. Dengan sedikit menguap karena letih yang belum juga hilang dari tubuhnya, Semi kini terpaku pada seorang anak remaja bersama seorang bocah –sepertinya mereka kakak dan adik- yang tengah menawarkan barang dagangannya kepada para bangsawan kelas bawah atau menengah yang kebetulan lewat disana. Karena.. tentu saja commoner biasa seperti mereka tak akan mau menghabiskan uang mereka hanya untuk membeli alat lukis. Ya, alat lukis. Alat lukis sederhana, yang bahkan dari jauh saja Semi bisa tahu bahwa kanvas yang mereka jual berkualitas rendah. Pun dengan kuasnya yang tidak terlalu lembut itu. Namun sepertinya, melukis menjadi sesuatu yang bisa ia lakukan ditengah tengah liburnya yang sepertinya akan membosankan ini. Pun, sepertinya merupakan hal yang bagus untuknya untuk melukis hal hal aneh yang selalu muncul di alam mimpinya itu. Lokasi yang terjadi di mimpinya selalu berubah ubah, bak mimpi pada umumnya, namun sosok yang ia temukan alias gadis misterius berambut emas itu menjadi puncak penasaran Semi untuk mengetahui apakah ada artian lain dibalik mimpinya ataukah hanya bunga tidur biasa yang berlanjut hingga lama. Pelayan yang tadi menghampirinya dengan sebuah buku menu, kini kembali kehadapannya dengan sebuah nampan berisikan pesanan yang sudah ia buat tadi. Menaruhnya dengan hati hati keatas meja, sebelum pergi dari sana meninggalkan Semi yang terhenyak terkejut atas ucapan yang ia lontarkan. “Kalungmu bagus sekali, nona” ujar pelayan tadi yang membuat Semi menyadari bahwa ia tengah mengenakan kalung dengan berbandulkan tiara oranye.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN