Chapter 13

1328 Kata
Gelombang suara dari banyak orang membuatnya tersadar mengenai dimana keberadaannya sekarang. Hal lainnya yang langsung ia sadari adalah bagaimana kakinya terlapisi sepatu boot fashion berwarna cokelat yang ternyata amat sangat cocok ketika dipadukan dengan coat cokelatnya dan baju juga rok panjang putih yang tengah ia kenakan. Dimana ini?? Ia sama sekali tak mengenali wilayah ini?? Tangannya yang semulanya akan menggaruk kepalanya yang tidak gatal –ini refleks saja ketika ia kebingungan- langsung menyadari bahwa ia kini rambutnya tengah terkepang dua dan dua duanya menjulur kedepan, menutupi dadanya. Uap dingin keluar dari bibirnya, cuaca yang sangat dingin itu sama sekali tak membantunya untuk bisa mengenali daerah ini. Lagi pula, sepertinya daerah ini tengah berada di musim dingin, jejak jejak salju nampak terlihat jelas meskipun tidak banyak. Sepertinya malam sebelumnya sudah mencair atau larut terkena hujan yang amat jarang terjadi kala musim dingin itu. Apakah ini luar negeri?? Ah- jangan jangan ini adalah mimpi anehnya yang lain seperti ketika ia bermimpi tengah berada di antah berantah yang memiliki sungai itu. Karena seingatnya, semalam ia sehabis keluar dari perpustakaan untuk mengambil buku, ia malah beranjak pergi ke taman untuk bermain dengan kucing seraya membaca beberapa baris saja dari buku tadi. Buku itu sama sekali tak jadi ia perhatikan karena tingkah laku kucing menggemaskan itu yang terus saja mengganggunya. Well.. bukan artinya ia merasa risih pula, sih. Jika ini memang salah satu dari mimpi aneh yang lainnya, kapan Irene tertidur?? Apakah ia tidak ingat beranjak ke kamarnya kemudian jatuh tertidur dengan cepat?? Jangan jangan, Irene malah tertidur di halaman itu dan menyusahkan dua pengawal yang saat itu bersamanya. Oh Tuhan, maafkan gadis yang satu ini jika memang betul. Merasa dingin masih menerpa tubuhnya, Irene nampak memasukkan kedua tangannya ke kantung coat panjangnya, kemudian beranjak dari tempatnya berdiri dan termenung tadi. Ada banyak yang bisa ia lihat selama kakinya menapaki jalanan dengan sangat pelan. Bagaimana orang orang biasa ini sesekali berpelukan dengan sesamanya untuk menghalau dingin karena pakaian mereka tidak setebal yang digunakan oleh Irene, bagaimana buah musim dingin nampak berjejeran menggoda matanya untuk terus menatap dan berakhir membeli sesuatu, pun bagaimana banyak orang saling berjalan berlawanan arah, dengan pandangan yang juga mencari cari hal untuk dibeli kala itu. Ini masih pagi, dan suasana pagi yang dingin di pasar tradisional di desa kecil ini nampaknya amat sangat hidup. Hm?? Apa ini?? Matanya seakan menampakkan binar yang amat berkilau ketika menyadari bahwa ada beberapa keping logam emas yang bisa dipakainya untuk membeli sesuatu. Ugh, sedari tadi perutnya merasa keroncongan ketika indra penciumannya tak sengaja membaui beberapa makanan pasar yang nampak menggugah selera. Tapi Irene bukanlah tipe orang yang memakan segala jenis makanan. Jadi, ia masih mencoba berjalan beberapa langkah lagi untuk setidaknya menemukan stand makanan yang sekiranya akan cocok dengan lidahnya. Dan hal itu berakhir di sebuah tenda makanan yang menjual sup adonan tepung berisikan daging giling dengan rempah yang melimpah di kuahnya. Kedatangannya ke tenda warung kecil itu membuat sebagian orang menatapnya dengan bingung, dan sebagian orang lainnya menatapnya dengan kagum. Bagaimana tidak, di desa kecil ini, tidak banyak orang yang bisa tampil semewah ini hanya dari pakaian yang ia gunakan. Pun, wajah kecil, rambut emas yang dikepang dua, cantik menjadi alasan lainnya mengapa semua orang disana yakin bahwa gadis yang satu ini adalah bukan orang asli daerah ini. “Bisakah aku mendapatkan satu sup dengan ini??” ujar Irene dengan suara mengecil sembari memberikan satu keping logam emas yang tadi ia temukan. Irene bukannya tak tahu bahwa logam emas itu adalah ‘uang’ di negaranya, namun Irene semenjak sadar lalu kehilangan ingatannya, ia sama sekali belum pernah pergi keluar untuk berbelanja seperti saat ini. Jadi Irene tak tahu apakah uang yang ia bawa itu akan cukup atau tidak untuk membeli satu buah sup. “Nona, sepertinya kau pengunjung ya” ujar gadis yang ada di hadapannya. Sosok penjual yang menjual sup ini memanglah seorang gadis muda yang Irene bahkan yakin dengan benar bahwa gadis tersebut pasti lebih muda darinya. “di desa kami, kami tidak menerima uang sebagai alat transaksi penjualan. Kami disini masih menggunakan sistem barter” lanjutnya lagi dengan senyum manis di bibir. “Ah maafkan aku, aku tidak tahu” ujar Irene merasa tidak enak. Ia pun tak ingin dianggap menjadi si paling kaya karena sikapnya tadi. “Tidak masalah” ujar gadis tadi. “disini, memang tidak seperti di kota kota besar atau di negara lainnya. Kami tidak bisa menggunakan uang, baik itu logam perak atau emas sebagai alat transaksi karena nominalnya sangat besar bagi kami. Akan sangat sulit untuk kami mencari kembalian jika orang menggunakan uang hanya untuk membeli satu jenis barang saja. Karena itulah, sejak leluhurku, sistem barter kembali digunakan” Irene menggangguk mengerti tapi hm... ia masih tergoda dengan sup yang satu ini. Kenapa pula di mim- eh?? Karena ini mimpi, agaknya tidak masalah kan jika Irene bersikap aneh?? “Kau tidak perlu memberiku kembalian” uajr Irene bersikeras memberikan logam emasnya. “berapa yang bisa kudapat jika aku menukar logam emas ini dengan sup mu??” “Er... mungkin lebih dari tiga puluh porsi” ujar gadis desa tadi juga tak yakin. Ia tak tahu jelas seberapa besaran logam emas yang baru pertama kali ia pegang ini. “kalau begitu, kau bisa berikan beberapa porsi untuk anak anak itu” uajr Irene lagi sembari menunjuk lima orang anak kecil yang sepertinya merupakan anak jalanan. Terlihat bagaimana baju mereka compang camping dan mereka duduk berpelukan berlima hanya beralaskan koran bekas di jalanan. “Sisanya kau bisa berikan lagi kepada mereka disaan mereka sudah mulai lapar, sampai nominalnya cukup agar kau tidak perlu mengembalikan uang ini padaku. Aku hanya ingin satu porsi, terima kasih” ujar Irene lagi yang malah membuat gadis tadi mengedip bingung kemudian kini tergopoh gopoh membuatkan pesanannya sembari mengucapkan banyak terima kasih. Hm.. jika satu logam emas memiliki jumlah yang luar biasanya disini, dan karena ia memiliki beberapa logam lainnya di kantong, sepertinya cukup untuk Irene membeli pakaian yang layak untuk anak anak tadi. Hatinya seakan teriris sakit ketika melihat orang lainnya harus menderita sebegitunya sedangkan ia bisa hidup dengan sangat makmur, sampai sampai mungkin ia tak perlu melakukan apapun namun bisa tetap hidup dengan baik sampai tua nanti. Selesai dengan sup hangat dan mengenyangkan dikala dingin seperti ini, gadis yang satu itu pamit disambut lambaian gadis penjual tadi bersama anak anak kecil yang kini tengah mengantri untuk dibuatkan sup dari uang yang telah Irene beri. Kini, tujuannya sebelum mimpi ini selesai dan ia terbangun adalah menyusuri daerah ini untuk melihat lihat. Irene tidak diperbolehkan untuk keluar dari wilayah istana. Maka, mimpi seperti ini bak menjadikan angan angannya seakan kenyataan. Yang... meskipun lagi dan lagi ia teringat ini hanyalah mimpi. Kakinya beranjak, melirik ke banyak toko usang dan tua itu untuk mencari dimana letaknya orang yang menjual pakaian yang sekiranya cukup tebal untuk anak anak tadi hidup diluaran seperti ini. Namun bukannya menemukan toko pakaian yang dimaksud, si gadis berambut emas itu malah berhenti di sebuah stand aksesoris yang tengah ditunggui oleh sepasang suami istri yang sudah tidak lagi muda. “Apa yang kau cari, nona cantik” ujar sang ibu paruh baya sembari mengeluarkan koleksi koleksinya yang lain yang tadinya belum ia display diatas meja seadanya itu. Mereka bermaksud mengeluarkan banyak hal, yang sekiranya sangat cantik dan menarik minat nona nona yang terlihat dari keluarga bangsawan yang sudah pasti memiliki barang bagus untuk ditukar dengan aksesoris murah mereka dalam jumlah banyak. “Aku tahu disini tidak bisa menggunakan uang, namun aku ingin menukar ini dengan kalung yang itu” ujar Irene kembali mengeluarkan logam emasnya yang lain dan menunjuk sebuah kalung dengan tiara oranye sebagai bandulnya. Membuat sepasang suami istri tadi sedikit terhenyak dan saling bertatapan dengan bingung. “kau kemari bersama keluargamu??” tanyanya ambigu yang kini malah Irene yang mengerutkan dahinya bingung. “tidak, aku sendiri. Ada apa??” “Ah tidak...” ujar ibu paruh baya tadi tersenyum tipis. “ini sepertinya memang hanya kebetulan, namun kau memilih benda yang sama dengan gadis pendekar yang kemarin”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN