Chapter 7

967 Kata
Beberapa hal pertama yang Semi dapatkan setelah huru hara kegaduhan perang yang tengah ia lakukan bersama rekan rekannya ialah informasi informasi dirinya dan latar belakangnya. Informasi yang jika orang biasa akan berpikir tak ada gunanya, sedangkan untuk dirinya yang sama sekali tak mengenali sosoknya sendiri merupakan informasi yang sangat berharga. Semi Maximilan. Gadis berusia dua puluh tujuh tahun, berambut ikal cokelat dengan tatto yang terdapat di lengan kanannya. Tatto yang bertuliskan namanya sendiri. Ketika pertama kali Semi tersadar dari pingsannya akibat bom kala itu, ia tak lama kemudian menyadari bahwa ia adalah seorang commander atau komandan yang membawahi ratusan kepala lelaki yang sampai saat ini nampak patuh dan tunduk padanya. Semi sendiri tak lama kemudian tahu bahwa negeri yang mengutus dirinya dan rekan rekannya untuk perang ini adalah sebuah negeri bernama Velvetenus. Kuda putih tampan berambut panjang itu nampak diam saja menikmati ketika jari jari lentik Semi yang meskipun penuh dengan bekas luka pedang mengelus leher hingga dagunya dengan pelan, ketika si penunggang beserta kuda kuda mereka berhenti lebih dulu di sebuah dataran tanah basah yang cukup luas untuk mereka bermalam. Perang sudah selesai, yang tentu saja dimenangi oleh mereka tanpa adanya korban jiwa, meskipun gadis yang menjadi kepala disana bisa melihat bahwa banyak rekannya yang mengalami luka cukup parah, pun dengan dirinya. Semi pun masih merasakan nyeri yang amat sangat ketika tubuhnya digerakkan. Luka luka yang berasal dari luka bakar hingga luka sabetan pedang itu rasanya menghantui sang gadis dalam setiap pergerakannya. Menurut percakapan anak buahnya yang ia dengan –tentu saja dengan sengaja-, pertarungan kali ini adalah pertarungan yang agaknya jauh lebih berat dari biasanya. Dan ini semua terjadi hanya karena Semi sempat tidak sadarkan diri dan dikira tewas, lalu ketika co comandernya mencoba memberi perintah sekaligus pergi ke titik tengah dimana tubuhnya tergeletak dan cukup lama untuk sampai disana, kekacauan sedikit terjadi. Bayangkan saja, team prajurit yang katanya tak pernah kalah, dan jarang membawa pulang luka, bisa terluka separah ini hanya karena kepala mereka sempat tak sadarkan diri. Semi sendiri cukup terkagum dengan bagaimana dirinya dahulu memimpin hingga seorang wanita bisa menjadi kepala yang memenangi banyak pertarungan. Pun, ketika ia tersadar, ia dengan luwes memberikan perintah bahwa sebelum otaknya menyadari apa yang tengah ia bicarakan. Seolah tubuh dan seluruh organ dalamnya ini benar benar terbiasa dengan hal menakutkan dan penuh tekanan seperti itu. Semi yang sekarang memang bisa dengan luwes memberikan perintah dan bertarung, namun dengan kondisinya yang amnesia, tentu saja ia harus bekerja lebih giat lagi dan memperlajari banyak hal agar hal hal tak enak tak akan kembali terjadi padanya dan anak buahnya. “Bagaimana rasanya memiliki nama belakang, komandan??” tanya salah satu anak buahnya yang kini terduduk tepat di samping kirinya. Semi yang mendengarnya hanya mencoba berpikir tanpa ekspresi meskipun jari jarinya menyibukkan diri dengan memperbesar api unggun yang sudah susah payah mereka buat itu. Sebelum keberangkatan, Semi memang sempat melirik kearah peta yang dibawa bawa oleh wakilanya – co comander – yang kini sementara memegang kendali lebih dahulu dalam perjalanan pulang mereka ke Velvetenus. Sesudah perang berakhir, Semi dengan gerak gerik yang terlihat bodoh itu berlagak seakan akan tenggorokkannya sakit parah hingga ia tak dapat mengeluarkan suara apapun. Jadi, setidaknya ia masih bisa terhindar dari pembicaraan yang kira kira akan membongkar rahasianya itu. “Ah- aku lupa komandan tengah tak bisa bicara” ujar pemuda yang Semi bisa pastikan bahwa ia jauh lebih muda darinya. Mungkin berkisar lima hingga sepuluh tahun bedanya. Terlihat jelas dari perawakan dan tingkah lakunya ketika bercengkrama dengan pemuda pemuda lainnya yang juga nampak seperti bocah baru puber. Entah harus miris atau merasa kagum bahwa bocah bocah yang harusnya masih menikmati masa nakalnya itu harus bersamanya di medan perang, berjuang mati matian untuk negeri mereka dengan nyawa sebagai taruhannya. “hanya.. aku penasaran saja bagaimana rasanya hidup sebagai orang yang memiliki nama belakang” ucap pemuda itu selagi ia dengan hati hati membantu semi memasukkan kayu kayu sedikit basah itu agar tidak mematikan api unggun di hadapannya. Dalam perjalanan pulang ini, Semi mengetahui bahwa mereka akan memakan beberapa hari untuk sampai di gerbang utama negeri mereka sendiri. Pun dari gerbang mereka tetap harus berjalan seharian penuh agar sampai di kerajaan dan melaporkan kepulangan sekaligus kemenangan mereka pada sang raja, barulah mereka bisa pulang kembali ke kediaman masing masing. Dalam perjalanan yang panjang ini, salah satu medan beratnya adalah mereka harus melewati hutan hujan, dimana seluruh pepohonan disana penuh dengan lumut akibat tingkat kelembapan yang tinggi, hingga akhirnya butuh usaha yang lebih besar bagi mereka hanya untuk menghidupkan api. Tanpa api, mereka akan hipotermia parah, belum lagi mereka harus memasak hasil buruan mereka ala kadarnya. Jadi, dengan api yang sudah terbuat, mau tak mau mereka harus menjaganya dengan baik. Omong omong, jika si gadis ikal kecoklatan itu pikir pikir lagi, ketika melihat daftar tulisan tangan mengenai anggota anggotanya, Semi langsung menyadari dengan cepat bahwa sembilan puluh lima persen dari mereka hanya memiliki satu nama saja sebagai nama lengkap mereka. Hanya ada tujuh orang diantara mereka yang memiliki dua suku kata sebagai nama, Semi salah satunya. Gadis yang satu ini pun tidak mengerti mengapa hanya ada beberapa orang yang memiliki nama belakang, dan mengapa pemuda yang satunya ini seakan akan ingin memiliki hal itu pula, terlihat dari air wajahnya. Hahhh.. ingatkan gadis yang satu itu untuk mencari tahu hal ini lebih detail nantinya. Untuk saat ini, gadis itu hanya tersenyum simpul sembari menepuk pelan pemuda yang sedari tadi mengajaknya bicara itu. Gadis dua puluh tujuh tahun itu mengangguk sebagai gesture pamit untuk tidur lebih dahulu karena ia masih dalam mode pura pura tak bisa bicaranya. Makan malam dengan babi panggang hasil buruan mereka itu memang mampu membuat kelopak matanya terasa lebih berat dibandingkan puluhan menit yang lalu. Memasuki salah satu tenda yang dibuat khusus untuknya, akhirnya Semi menyelimuti dirinya dengan jubah miliknya sendiri sebelum akhirnya memasuki alam mimpi. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN