Chapter 8

1084 Kata
Kesan pertama yang ia dapatkan mengenai tempat ini setelah tersadar adalah bagaimana lingkungan di sekelilingnya ini nampak sepi dan tidak pernah ia ketahui, namun membuat perasaannya sangat nyaman seperti ini adalah tempat yang biasa ia sambangi. Atau memang iya?? Bahkan kamar tidurnya saja, yang katanya sudah selalu bersamanya selama tiga puluh tahun itu tak memberikan perasaan senyaman ini ketika gadis itu berada di dalamnya. Tempat yang bak hutan tidak terlalu rimbun ini.. bisa dikatakan seperti dongen yang dibacakan nenek sewaktu malam sebelum tidur. Perasaan yang familiar seakan hinggap di hatinya yang terasa tak enak belakangan ini. Surai emas lurus dan tebalnya tertiup terbawa angin yang tiba tiba berhembus kencang. Retinanya melirik ke kanan dan kirinya, membuat gadis yang satu itu menemukan fakta bahwa dirinya tengah berada di sebuah jalan setapak kecil dengan kanan dan kirinya adalah pohon pohon berbatang tipis yang memiliki daun daun hijau bercampur kuning. Jika dilihat sekilas, memang seakan tak ada hal yang aneh. Namun ini belum memasuki musim gugur. Ini masih musim semi dimana bunga bunga dan pohon masih bertumbuh dengan segar, bahkan hujan sesekali muncul meskipun musim panas telah terlewati. Sebelum beranjak dari titik dimana ia berdiri ini, Irene nampak memejamkan matanya sekilas untuk menikmati klimaks menyenangkan setelah ia membuka matanya lagi dan mendapati pemandangan yang ada di hadapannya. Batang pohon besar yang jatuh dan terbelah dua, seakan akan memberinya jalan untuk terus menapaki jalanan yang ada di sana. Langit berwarna biru cerah meskipun banyak awan yang menutupi, namun itu tak menjadikan hutan –er.. atau kebun?? Entahlah Irene sendiri tak yakin- itu menjadi menyeramkan. Entah kenapa, semua hal yang ia lihat kini mempengaruhi perasaannya yang gundah beberapa jam yang lalu. Ada banyak hal yang memasuki pemikirannya saat ini. Kegiatan kegiatannya di keseharian memang masih terasa canggung, namun tidak juga terasa aneh untuknya. Makanan yang katanya merupakan makanan favoritenya, tetap dirasa paling enak dilidahnya setelah ia santap. Pun kamarnya, meskipun masih canggung dengan suasana dan sikap para pelayan, Irene bahkan bisa tanpa sadar mengetahui dimana letak laci atau apapun itu seperti memang tubuhnya sudah terbiasa. Namun untuk kehadiran teman teman bahkan sahabatnya... Irene malah merasa sangat canggung dengan mereka. Acara jamuan minum teh kali itu memang menyenangkan, amat sangat menyenangkan. Namun Irene tahu betul dalam dirinya bahwa ia seakan tidak cocok dengan pembicaraan yang selalu dibicarakan oleh teman hingga sahabatnya itu. Apakah sebelum amnesia, Irene sudah jarang membahas hal itu hingga akhirnya ia tak nyaman lagi? Atau bagaimana?? Habisnya, selama beberapa jam pertemuan intimate mereka, yang mereka bahas hingga di menit terakhir adalah bagaimana tampannya pangeran ini dan itu, bagaimana tampannya Aaron –pengawal pribadi Irene- dan merasa sirik karena pengawal pribadi mereka tak ada yang semenarik Aaron. Bagaimana mereka terkesan dengan pria pria bangsawan yang akan dijodohkan dengan mereka, hingga bagaimana mereka sedikit memaksa Irene untuk menjelaskan seperti apa pria idamannya. Demi Tuhan, Irene bahkan tak mengingat namanya sendiri, untuk apa ia memikirkan pria yang bahkan tidak akan menguntungkan dirinya kala ini. Pun, Irene rasanya dirinya sedang tak membutuhkan lelaki dalam konteks romantis. Saat ini, dimasa depan dan Irene yakin pun di masa lalu. Ah.. mungkin Irene yang dulu pun sama seperti Irene yang sekarang, yang mana diam diam saja tak mengeluhkan rasa tak nyamannya itu agar mereka terus berteman. Hahh.. entahlah. Irene saat ini rupanya tengah mengenakan celana berwarna cokelat dengan baju dilapisi rompi ketat sebagai penutup bagian atasnya. Sebuah pakaian yang dia sendiri terkejut ketika tahu bahwa ia mengenakannya, karena seorang putri raja tak biasanya memakai hal seperti ini. Ia setiap hari akan mengenakan gaun. Entah itu gaun santai dirumah, gaun pesta yang setiap pesta akan berganti, hingga ketika tidur pun, ia akan menggunakan gaun tidur. Bukannya seorang wanita tidak diperbolehkan menggunakan celana sebagai luaran pakaian bagian bawah mereka, namun biasanya yang menggunakannya adalah wanita wanita tangguh yang berprofesi menjadi pengawal atau prajurit. Wanita yang mendedikasikan hidup mereka untuk itu sedari dahulu. Seorang putri raja menggunakan pakaian yang sama dengan mereka tentu saja merupakan hal yang aneh. Tak ada suara apapun yang bisa Irene dengan saat ini. Hanya suara kakinya yang tahu tahu sudah terpasang sepatu boot berwarna hitam yang menginjak dedaunan dan rumpu rumput kering yang ada disana. Semakin jauh ia berjalan, semakin cerah cuacanya dan semakin sedikit rimbun daun yang ada di pohon dengan tinggi menakjubkan itu. Mungkin ia tengah berada di dekat tepi hutan. Kepalanya menengadah, menatap tupai yang tadi menyita perhatiannya setelah tertangkap oleh indra pendengarannya. Tupai hamil yang DEMI APAPUN lucu sekali itu tengah kesusahan naik dari tangkai demi tangkai karena terhalang perutnya yang besar. Belum lagi biji pohon ek yang dibawanya susah payah dengan menyelipkannya di tangan dan ditahan oleh mulutnya sendiri. Benar benar menggemaskan. Irene ingin menolongnya, tapi ia tahu betul bahwa ia tidak akan mampu memanjat keatas. Pun, Irene tidak yakin bahwa tupai itu akan tenang –dalam artian tidak takut- ketika dirinya datang menghampiri. Semakin jauh dirinya berjalan, indra pendengarannya kini tak hanya mendengar jejak langkah kakinya atau suara suara hewan kecil lainnya saja. Ada sebuah suara yang membuat perasaannya semakin senang hingga tanpa ia sadari membuat sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman yang sangat cantik. Sebuah suara suara khas dari air yang mengalir dari titik yang jauh lebih tinggi ke titik yang jauh lebih rendah. Irene semakin mempercepat langkah kakinya. Kini, sesuai dengan dugaannya, ia tengah berada di sisi hutan. Lebih tepatnya hutan ini seakan terbagi menjadi dua oleh sebuah sungai jernih namun besar yang sudah tertangkap oleh bulir matanya meskipun masih berjarak cukup jauh. Bebatuan dan pepohonan kecil seakan tertata dengan rapih di samping kanan kiri jalan setapak yang ia lewati, seakan akan jalan berbunga ini menyambutnya untuk menikmati sajian alam yang lebih indah dibandingkan hutan tempatnya bermain barusan. Kini, yang dapat dilihat oleh matanya adalah sebuah sungai yang tepat berada di depannya, dengan pasir pasir yang masih ada di samping kanan dan kiri sungai tersebut. Layaknya pasir yang ada di samping laut. Irene tanpa sadar mengeluarkan kekehan girang. Dengan sedikit berlari kecil karena terlalu bersemangat, ia menuju ke batu besar samping sungai sembari melepas sepatunya dengan maksud untuk merendam kakinya di air yang sudah dipastikan dingin menyegarkan itu. Langkah kaki cepatnya itu sedikit melambat, ketika ia menemukan seorang gadis dengan surai ikal kecoklatan tengah duduk di batu yang sama dengan batu yang ia incar. Gadis dengan senyum yang juga sama indahnya itu menatapnya lembut dan menggerakkan alat pancingnya seakan memberi tahu bahwa disana tengah memancing. Entah apa yang dilakukan Tuhan mengenai skenario mereka. Tapi yang pasti, keduanya bahkan tidak berucap satu katapun, dan hanya diam terduduk dengan kegiatannya masing masing hingga hal aneh merenggut keduanya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN