Ilyas 5

966 Kata
Ilyas mendesah kesal saat lagi-lagi melihat mobil putih itu dengan gagahnya terparkir di depan rumahnya. Entah ini minggu keberapa perempuan cantik tapi tidak tahu malu itu rajin berkunjung ke rumahnya. Alasannya pun macam-macam. Kadangkala tidak masuk akal. Seperti saat ini, dia sedang tekun mendengarkan penjelasan bundanya, sepertinya sedang belajar memasak sesuatu. Entahlah, Ilyas tidak mau tahu. Usai mengucap salam dan mencium punggung tangan sang bunda, Ilyas segera menuju kamarnya. Gadis cantik itu - Mawar - hanya sesekali meliriknya, tampak tak acuh, dan lebih tertarik untuk konsentrasi mengaduk masakan di penggorengan. Bulir keringat tampak di dahinya, uap panas dari kompor, membuatnya semakin kepanasan. "Tante... ini sudah matang belum? Sudah meletup-letup." Tanyanya pada Rania. Rania segera mendekati Mawar, melihat sebentar ke hasil masakan. "Sepertinya sudah. Tolong kecilkan api kompornya ya, terus kamu cicipi. Koreksi rasanya, perbaiki kurang apa." Jelas Rania dengan sabar. Rupanya Mawar sedang belajar memasak padanya. Rania yang memang tidak pelit berbagi ilmu masak, tentu saja dengan senang hati mau mengajari gadis cantik itu. Tampak Mawar mengambil satu sendok, meniupnya pelan dan kemudian mencicipnya. "Duuh.. duuh... pedassss banget tan. Tapi enak sih. Udah pas kok rasanya. Tapi kalau buat saya, ini agak kepedasan. Eumm... saya kurang begitu suka pedas sih." Akunya sambil meringis, segera menegak habis air putih hangat yang diberikan Rania. Rania tampak tak tega melihat gadis di depannya kepedasan. Wajahnya yang putih mulus jadi merah karena panas dan pedas. "Iyaalaah... ini kan masakan Manado. Biasanya kan masakan Manado rata-rata berasa pedas tapi segar. Apalagi menu yang ini, ikan bumbu rica. Pedas tapi segar karena rempahnya banyak, dan tidak bikin eneg karena tidak pakai santan. Harusnya tadi cabai rawit oren dikurangi biar gak sepedas ini. Mukamu sampai merah gitu." "Gak papa tante. Sesekali makan yang pedas. Sekalian biar lidahnya bisa adaptasi sama masakan yang pedas gini. Kata tante kan, Mas Ilyas suka banget pedas. Keluarga ini suka pedas ya tan?" "Iyaa, kami terbiasa makan pedas. Apalagi kan dulu sempat tinggal di Lampung beberapa tahun. Cabai rawit di situ, walau ukurannya kecil, tapi rasa pedassssnya.... ampun deh. Makan gorengan satu, rawit sebiji, tapi pedasnya bisa bikin sakit kepala." Rania tersenyum sambil membayangkan masa-masa saat mereka masih tinggal di Ulu Belu. (Yang belum baca Karma, sila ke work-ku dan baca Karma dulu baru baca Ilyas yaa...) "Mawar taruh di piring saji ya tan." Segera saja dengan sigap, Mawar meletakkan ikan bumbu rica hasil masakannya ke piring saji dan ditata rapih di meja makan. Ada bakwan jagung rempah daun jeruk, kerupuk dan sambal matah. "Duuh tan, ini sudah pedes gini aja masih pakai sambal matah ya? Gak pada sakit perut emangnya?" Mawar geleng-geleng kepala melihat kesukaan keluarga ini akan rasa pedas. "Iyaa sih..., tapi enak... seger banget kan sambalnya? Kamu mau bawa banyak sambal matahnya?" Rania menyiapkan ikan bumbu rica dan sambal matah ke box kedap udara agar bisa dibawa Mawar. "Sedikit saja tan, di rumah juga gak begitu suka pedes." Jelas Mawar masih sambil kepedasan. Ilyas yang mencium aroma masakan segera saja menuju meja makan. Tapi senyumnya berubah masam melihat Mawar masih di situ asyik mengobrol bersama bundanya. "Bun... lapar..." "Eeh calon imam Mawar lapar ya? Mau makan? Mau Mawar siapin dan suapin gak?" Mawar dengan sigap hendak mengambil piring untuk Ilyas. Tapi tentu saja Ilyas menolak mentah-mentah. "Enggak... aku bisa ambil sendiri kok. Sudah sana kamu pulang aja... hus hus...!" Usir Ilyas, gantian membuat wajah Mawar menjadi masam walau hanya beberapa detik. Tapi semua itu tak luput dari perhatian Rania yang memperhatikan interaksi keduanya penuh minat. "Mas Ilyas gak boleh gitu. Ini Mawar sudah susah payah belajar masak loh. Katanya buat persiapan nanti setelah menikah." Jelas Rania sambil tersenyum. "Hooh loh Mas Ilyas. Dari sekarang aku udah belajar loh. Biar nanti setelah menikah gak kaget." Sekarang Mawar berganti aku, sok akrab. "Yaa... syukurlah kalau begitu. Tapi harus cari dulu suami yang mau menerima kamu apa adanya gini." Sindir Ilyas. Sayangnya yang disindir berpura tak tahu, walau dalam hatinya terasa nyeri. "Lah kan calon suamiku, calon imamku sudah ada di sini, depan mata. Gak perlu mencari ke mana-mana." Jawab Mawar kalem. Jangan coba beradu mulut dengannya karena dia pasti bisa menjawab dengan luwes, kadang sedikit memanipulasi kalimat. Maklumlah... dia punya kecerdasan verbal linguistic di atas rata-rata. "Yasa maksudnya ya..." Ilyas tak mau kalah. Menjawab asal saat melihat Yasa juga datang ke meja makan. "Eeh apa nih? Kok namaku disebut-sebut?" "Sudah... sudah jangan bertengkar. Ndak baik itu." "Iya tante... belum nikah aja Mas Ilyas sudah ngajakin bertengkar nih. Kan Mawar jadi sedih. Eeum Mawar pamit pulang saja ya tan... takut nanti Mas Ilyas jadi tambah jatuh cinta tapi denial terus hehe..." Segera saja Mawar bergegas pulang. Mencium punggung tangan Rania dan memberi kecupan jauh pada Ilyas. Membuat Ilyas bergidik ngeri dan menyebut amit-amit berulang kali. Ilyas tak tahu saja, di dalam mobil, Mawar sempat mengusap wajahnya kasar. Sebelum akhirnya memasang senyum bahagia palsu yang ditujukan pada Rania. Mengklakson sekali dan segera melajukan mobil mewahnya membelah kemacetan Jakarta di sore hari itu. Sudah lewat dua bulan aku lakukan berbagai macam cara untuk meluluhkan Ilyas. Bahkan sampai nekat berkali-kali ke rumahnya dengan berjuta alasan. Membuang rasa malu di tong sampah depan rumah Ilyas sebelum parkir si putih. Tapi sampai sekarang, melirik pun saja Ilyas tidak mau. Kurang apa sih aku ini dibanding gadis itu? Cantik? Pastinya lebih cantik aku! Pintar? Pastinya lebih pintar aku. Ilyas tidak tahu saja aku lulus dengan predikat mahasiswa berprestasi. Kaya? Bisa dibandingkan. Aku yakin, papa lebih kaya dibanding keluarga gadis itu. Terus kurangku di manaaa?? Aaarghh...!! Apa aku jebak aja ya dia? Sayangnya Mawar tidak mau mencari tahu tipe gadis seperti apa yang jadi idaman Ilyas. Ilyas tidak pernah menilai seorang gadis hanya dari penampilan saja. Cantik, pintar dan kaya, ketiganya polesan saja. Duniawi sekali. Andai saja Mawar mau mencari tahu. Sayangnya rencana Mawar untuk menjebak Ilyas hanya akan menambah nilai minus di mata Ilyas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN