Ilyas 4

1436 Kata
"Orang tua Alya tinggal di mana? Ilyas pernah bilang katanya kamu di Jakarta kost?" Rania bertanya menyelidik, tugas ibu pada umumnya, mencari tahu latar belakang orang yang menjadi kandidat kuat calon mantu. Dia sreg pada gadis manis di hadapannya ini. Santun, sopan dan tampak cerdas. Pastinya Ilyas tidak mungkin asal pilih, mengingat karakter Ilyas yang kaku seperti itu. Beda dengan Yasa, yang malah sering membuatnya pusing karena kebanyakan teman perempuan. "Orang tua ada di Balikpapan, tante. Tapi mama papa sebulan sekali pasti menjenguk saya. Mama juga harus kontrol di dokter langganan." "Memang mamamu sakit apa? Ilyas cuma cerita kalau Mamanya Alya sering jenguk, apalagi sekalian kalau kontrol ke dokter." "Jantung tante." "Alya di Jakarta tinggal sendiri?" Alya menghela nafas panjang sebelum berkata, "Papa punya rumah di Jakarta. Saya tinggal di situ ditemani bibik dari kampung. Sebulan sekira dua tiga kali, Om dan tante saya datang menjenguk. Kalau yang ini, maaf Mas Ilyas, saya tidak cerita. Hanya beberapa orang saja yang tahu. Saya tidak mau memanfaatkan nama dan kekayaan papa saya, tante." Alya berkata tapi matanya melihat ke Ilyas, seperti mohon maaf. Alya pun menceritakan keluarganya. Papanya pengusaha sukses di kota kelahirannya. Pengusaha tambang dan memiliki usaha rental alat berat untuk perusahaan yang bergerak di bidang tambang. Mamanya, ibu rumah tangga saja. Tidak berkarir apapun. Murni mengurus keluarga. Mengabdikan diri untuk suami dan anak-anak. Ilyas tahu bahwa Alya berasal dari keluarga kaya. Tapi dia tidak menyangka sekaya itu. Tapi Rania merasa, ada sesuatu yang ditutupi oleh Alya. Tapi apa, dia tidak mau ikut campur. Jalan Ilyas dan Alya masih panjang. "Iya, mungkin itu lebih baik. Kadang memang ada beberapa orang yang suka memanfaatkan orang lain kok, demi mereka sendiri." Celetuk Yasa, yang duduk di sebelah Iyah. "Kapan-kapan, kalau pas mama papamu datang atau om tantemu datang, kabari kami ya, Alya. Jadi Om dan Tante bisa kenalan." Rania berkata lembut, ingin mengenal keluarga Alya lebih jauh tentunya. Mereka ngobrol banyak, tanpa terasa sudah menjelang sore. "Aah ya... bun, Iyah lupa. Malam ini Keny mau menginap di sini ya bun. Sekalian mau belajar bareng." Celetuk Iyah tiba-tiba. "Belajar bareng atau nonton drama korea bareng? Mas Yasa sering denger kalau pas katanya lagi belajar bareng malah kalian ketawa ketiwi, nangis, misuh-misuh gak jelas gitu kok. Bikin Mas Yasa bingung." "Kan nonton drakornya selesai belajar... Mas Yasa gak asik deh." Iyah berpura merajuk. "Mas Ilyas..." Iyah mencoba mencari dukungan. "Kalau hal ini, Mas setuju sama Yasa. Iyah sama temen-temen kalau udah nonton drama korea gitu bikin pusing Mas Ilyas sama Yasa kok." Kali ini Ilyas membela Yasa, membuat Yasa tersenyum jumawa. "Udah... udah... jangan berantem sendiri. Asalkan nonton drakornya setelah tugas dan belajar selesai, bunda ijinkan. Tapi kalau belum, ya gak boleh. Ya wis, Iyah mandi dulu gih. Takut bentar lagi Keny datang kamu masih berantakan gini. Mas Ilyas sama Alya kalau masih mau mengobrol, silakan. Tapi di teras depan ya. Dan ingat, jauh-jauhan. Bunda sama papa mau istirahat dulu." "Kalau gitu, Yasa temenin Mas Ilyas aja bun." Kata Yasa, yang bingung mau ngapain. "Loh... Sa, kamu lupa ya, kalau ada sepasang manusia berduaan, yang ketiga itu apaan coba?" Jawab Rania usil sambil tertawa ke arah Yasa. "Yaaah bunda kok gituuu? Masa nyamain Yasa sama syaiton... hii...  Yasa main game aja deh daripada bengong." "Yang berfaedah dong, Sa. Cuci mobil tuh." Celetuk Yogi dan segera saja Yasa memenuhi permintaan Yogi. Ilyas dan Alya masih asyik mengobrol. Ada satu yang membuat Alya heran, kenapa panggilannya bunda untuk Rania tapi papa untuk Yogi. Bukan bunda dan ayah. Atau mama dan papa. Ilyas pun menjelaskan hal itu. Dia tidak mau menutupi apa pun dari Alya.  Alya manggut-manggut mendengar cerita Ilyas. "Itulah kenapa, aku sulit bergaul dengan perempuan centil. Bukan menyamaratakan, tapi bagiku, mereka semua sama sih. Ingin menarik perhatian lawan jenis dengan segala macam cara. Itu juga yang membuatku tidak mau pacaran. Bagiku, sekali komitmen, maka sebagai seorang lelaki yang bertanggung jawab, aku akan menjaga komitmen itu. Titik." Alya termenung. Seketika teringat akan  mama papanya. Keluarga yang tampak bahagia di luar, tapi di dalamnya? Alya tahu, mamanya menderita. Semua karena perempuan itu, perempuan penggoda sang papa. Dan dia sungguh benci pada perempuan itu. "Sudah sore, kuantar pulang ya. Aku panggil bunda dulu biar kamu bisa pamitan." Ilyas membuyarkan lamunan Alya. Selesai berpamitan, Rania berpesan pada Alya agar jangan sungkan mampir walaupun Ilyas tidak ada. Dia merasa Alya kesepian, butuh seseorang untuk dijadikan teman curhat. Dan Rania tidak mau Ilyas dan Alya kebablasan. Berawal dari curhat, menangis, pelukan, terus... yaah... anything can happen kan? Saat motor Ilyas akan keluar dari pagar rumah, tiba-tiba sebuah mobil BMW X6 warna putih berhenti agak mendadak di depan pagar itu. Membuat Ilyas juga harus mengerem mendadak. Ilyas yang terkaget-kaget segera saja menekan klakson motornya. Dibukanya kaca helm full facenya, "Maaf tolong majukan sedikit mobilnya, saya mau keluar." Ilyas hapal sekali mobil itu, hapal juga siapa pemilik mobil itu. Karena sering kali mobil dan pemiliknya mampir ke bengkel, membuatnya harus bersembunyi. Dia tidak suka pemilik mobil itu. Segala alasan diajukan agar bisa bertemu dengannya. Laah kan gak mungkin, mobil mewah sekelas BMW ada bunyi-bunyi gak jelas. Yang ini-lah, yang itu-lah... semua hanya alasan saja! "Maaf Mas Ilyas, tadi Keny bilang berhenti agak mendadak ke Kak Mawar. Kakak lagi nelpon sih makanya kaget, ngerem juga mendadak." Keny, sohib Iyah, yang sudah menurunkan kaca mobil penumpang, mengatupkan kedua tangan di depan dadanya, tanda minta maaf. Tapi, tiba-tiba saja sesosok perempuan cantik, sangat cantik malah, sudah berdiri di depan motor Ilyas. Seperti sengaja menghadang. Nih cewek kapan munculnya? Kok kaya jaelangkung gitu? Ujug-ujug udah ada di sini aja. Datang gak diundang! "Maaf... gak sengaja, bener deh." Kata gadis cantik itu dengan senyum ala model pasta gigi. Tapi senyum itu langsung berubah masam saat melihat ada sosok tubuh seorang gadis yang dibonceng Ilyas. Ya ampuuun, dia lagi, dia lagi. Saingan gue gadis macam gini pulak. Kalau udah dibawa ke sini berarti dia spesial dong. Tambah berat aja perjuangan gue. "Mau pergi?" Tanyanya dengan nada dibuat seramah mungkin. Ilyas hanya mengangguk, menutup kaca helmnya dan segera melajukan motornya. Tak lupa dia mengklakson satu kali, full, membuat kaget Keny dan Mawar. Sedikit balas dendam, walaupun mungkin Mawar tidak tahu akan itu. Ilyas lihat sekilas dari spion, gadis cantik itu melambaikan tangan yang sebelumnya sudah dia beri kecupan. Membuat badan Ilyas bergidik, hi... Semoga dia sudah pulang pas aku sampai rumah nanti. Males banget ketemuan ama dia. "Di sini saja, Mas Ilyas. Maaf, aku tidak bisa mengajak masuk. Bibik sedang pergi." "Iya, Alya. Gak papa. Daripada jadi omongan orang juga kan? Aku pamit dulu ya, kamu cepetan masuk rumah."  Alya mengangguk dan mengucap salam. Ilyas mengamati rumah itu. Rumah mewah. Walau hanya ditinggali Alya saja. Setelah Alya masuk ke dalam rumah, Ilyas segera melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Dia mampir dulu beli martabak kesukaan bunda dan adiknya. Hatinya sedang senang karena bunda dan keluarganya menerima Alya dengan hangat. Tinggal nanti mereka yang akan berkunjung ke keluarga Alya. Bersilaturahim, sekaligus berkenalan. Mendekati rumah, Ilyas mendesah kesal saat melihat mobil berwarna putih itu masih kokoh berada di depan pagar rumahnya. Tapi dia tak peduli. Toh, gadis itu datang bukan untuk bertemu dengannya kan? Tapi untuk mengantar adiknya. Tapi saat di dalam rumah, Ilyas tertegun melihat bundanya sedang asyik bercanda dengan Mawar. Tampak akrab. Padahal sepertinya baru kali ini bertemu. Tadi pas bersama Alya, bundanya tidak selepas ini. Bunda memang tampak nyaman ngobrol dengan Alya, tapi saat interaksi dengan Mawar, bundanya tampak lebih ekspresif. Dan Ilyas tidak suka itu. "Bun, ini Mas beliin martabak kesukaan bunda dan Iyah." Ilyas berlagak acuh dan langsung menuju ke Rania, memberikan box berisi martabak kesukaan bundanya itu. "Loooh... kok sama kaya Mawar? Ini Mawar juga bawain martabak loh. Martabak telur sama terang bulan. Duuh, bakalan tambah ndut nih bunda." Kata Rania antusias. "Waaah kalau gitu kita jodoh loh Mas Ilyas. Ini aja kita udah sepemikiran. Iya kan tante?" Jawab Mawar dengan nada kalem, tanpa dibuat manjah tapi membuat Ilyas ingin muntah. Rania tersenyum saja, tidak menjawab. Dia tahu bahasa tubuh sulungnya itu, yang terlihat tidak suka pada gadis di depannya ini. Ilyas paling tidak suka pada cewek centil, tipe penggoda. Rania memindai gadis di depannya. Cantik, pakai banget malah, pintar persuasi mungkin karena background pendidikan dan pekerjaannya yang menjadi seorang public relation, kulit putih terawat, rambut hitam panjang melebihi bahu, ramah dan supel. Kebalikan karakter Ilyas yang pendiam. Dan berbeda dari Alya yang merupakan tipe Ilyas. Rania mencium bau-bau persaingan di sini. Gadis di depannya ini sungguh ekspresif, tanpa malu menunjukkan kalau dia suka pada Ilyas. Padahal itu yang akan jadi masalah. Ilyas tidak suka tipe gadis macam itu. Mengingatkannya pada sosok perempuan yang sangat Ilyas tidak suka. Perempuan penghancur rumah tangga ayah bundanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN