"Mas... jangan terlalu ketus gitu sama Mawar. Ndak baik itu." Rania memulai nasehat untuk sulungnya.
"Habis kesel bun, jadi cewek kok gak punya malu gitu!" Ilyas menjawab ketus.
"Pernah gak Mas Ilyas berpikir atau euum... setidaknya mencoba berada di posisi Mawar?"
"Maksudnya bun?" Tanya Ilyas dan Yasa bersamaan.
"Gini... bunda sih memang gak pernah kaya Mawar pas masih muda gitu. Jadi ini cuma perkiraan bunda saja."
"Terlihat banget kan kalau Mawar suka sama Mas Ilyas."
"Yasa kali bun, Mas gak mau!"
"Loh kok jadi aku sih?"
"Sek toh, ini bunda kapan bicara kalau diselak melulu? Mbok biarin bunda selesai bicara baru kalian berdua komentar. Ndak sopan itu menyelak pembicaraan apalagi orang tua." Rania berpura mengeluh.
"Iyaa bundaaa...., maaf..." Keduanya kompak meminta maaf pada bunda tercinta. Yang tetap cantik menarik di usia awal empat puluh.
"Nah gini, pernah gak Mas Ilyas mencoba berada di posisi Mawar? Datang ke rumah orang yang disuka, tapi orang yang dituju sebenarnya gak suka? Bunda yakin banget, Mawar pasti mengesampingkan semua rasa malu demi bisa ke sini. Dan karena semua usaha mendekati Mas Ilyas gagal terus, akhirnya ganti strategi jadi mendekati keluarga orang yang disuka." Rania jeda sejenak melihat Ilyas yang tampak biasa saja, malah Yasa yang lebih antusias.
"Berat loh Mas, kaya gitu. Mas Ilyas gak akan pedulikan hal itu karena memang Mas Ilyas gak suka sama Mawar. Boleh bunda tahu apa alasannya?"
"Karena dia bukan tipe Ilyas, bun. Karena dia agresif, karena dia tidak tahu malu, karena dia..."
"Karena Mawar cantik dan agresif ya? Mengingatkan Mas sama Niana? Bukan begitu Mas?" Tebak Rania langsung.
Yasa langsung menoleh ke arah Ilyas. Bahkan dia tadi sempat tersedak air minum, untung bukan tersedak bumbu ikan rica yang pedas. Baru menyadari alasan sebenarnya kenapa kembarannya itu tidak suka pada Mawar. Atau pada siapapun cewek cantik menarik yang centil dan agresif. Ternyata Ilyas masih menyimpan dendam!
"Jangan menyamaratakan semua perempuan cantik, menarik tapi agresif sama dengan Niana. Tidak semua begitu loh, Mas. Ndak baik punya pemikiran negatif pada orang lain. Padahal kan belum tentu seperti itu. Bunda lihat, Mawar cukup sopan dan tahu batasan kok."
"Bunda kenapa malah membela Mawar sih? Mas tuh memang gak suka sama dia. Sedari awal memang gak suka. Dan gak akan pernah suka! Mungkin memang benar sebagian besar alasannya karena dia mengingatkan pada Niana." Ilyas mendadak kesal.
Rania tersenyum mendengar jawaban Ilyas yang cenderung defensif.
"Mas pernah dengar pepatah, 'Batasan antara benci dan cinta itu, hanya setipis rambut?'. Jangan terlalu mencintai, karena kelak siapa tahu dia akan mengkhianati cintamu dan menjadi orang yang akan kamu benci. Begitu pula jangan terlalu membenci, karena kelak siapa tahu dia akan menjadi orang yang kamu cinta. Tuhan itu maha membolak-balik hati loh Mas. Secukupnya saja kita suka atau tidak pada seseorang. Bunda bisa bicara seperti ini berdasar pengalaman."
"Lagipula kenapa bunda malah ngerasa Mawar yang lebih sering ke rumah ya, Mas? Dibanding Alya? Malah kaya Mas tuh jadiannya sama Mawar gitu?"
"Seperti kata bunda tadi, secukupnya saja kan? Mas memang belum mengajak Alya datang lagi ke sini. Dia sibuk kegiatan kampus. Mas juga. Sudah ah, Mas mau ke bengkel. Malam ini Mas tidur di sana, bun."
"Eeh Mas... tapi Senin minggu depan jadi kan kita ketemu Fandi? Jangan lupa loh. Kita jemput dia di Soetta!" Teriak Yasa pada kembarannya itu. Ilyas hanya melambaikan tangannya tanda setuju, tapi tetap berjalan menuju motor kesayangannya.
"Yasa!! Jangan jejeritan... gak sopan tahu!"
"Maaf bunda..."
~~~
"Hufft..." Mawar memijit kedua pelipisnya.
"Kenapa? Kayanya banyak banget pikiran akhir-akhir ini?" Tanya salah seorang rekan kerjanya.
"Kerjaan atau gebetan tak kesampaian itu? Masak cewek sekelas Mawar kalah sama cewek amatir masih kuliah pulak?" Sambung temannya itu.
"Duuh lu gak tahu aja sih Ilyas gimana. Gue udah pake segala macam cara buat narik perhatian dia. Boro-boro narik perhatian, ngeliat gue aja kayanya dia malah eneg deh. Sukur banget dia gak muntah."
"Salah metode kali lu! Ganti metode lain kalau satu metode gagal! Kan cowok tuh paling suka sama cewek yang sulit ditaklukkan. Jual mahal gitu. Jinak-jinak merpati, shy shy cat... Atau jangan-jangan lu cuma sekedar iseng aja sama tuh cowok."
"Jinak merpati dari Hongkong? Iya itu bakal berhasil kalau lakinya yang ngejer tuh cewek. Kasus gue kan bedaaa cintaaa... Gebetan gue emang bener-bener gak suka ama gue, tanpa gue tahu kenapa. Kalau gue jual mahal ya semakin pergi aja tuh Ilyas. Gituh! Duuh, tambah pusing nih kepala."
"Euum... lupitaaa eikeeh Mawarrr. Emang cakep banget ya tuh laki? Liat fotonya napa sih?"
"Gak punya gue. Sueerr deh..." Mawar pasrah saja saat temannya mencomot ponselnya dan mulai mengutak-atik ponselnya itu.
"Punya ig kan dia?"
"Ada. Tapi gue gak mau follow ah.."
"Follow aja sih...! Buset dikunci."
"Males aah gue udah bukan abg labil, darling! Eeh ntar gue liatin foto kembarannya ya. Sama cakepnya kok." Mawar segera membuka aplikasi ig-nya dan mencari profil Yasa. Bersyukur Yasa tidak memprivat ig-nya.
"Ya Tuhan... Mawarrrr guanteeeng bingiiid. Pakai banget! Kalau gue belum punya laki aja gue embat juga nih si kembaran."
"Bener kan cakep banget?" Mawar tersenyum bangga.
"Ilyas yang lu suka tuh, kembaran ama yang ini ya? Kalau lihat nih orang, euum...siapa namanya...? Kayanya mah yang ini supel gitu?"
"Kembarannya namanya Yasa. Ilyasaa. Iya sih dia jauh lebih supel dan menarik dibanding Ilyas. Yakali gue ama Yasa. Sifat kami mirip, bakalan gak serius deh. Lagian gue sukanya ama Ilyas, gimana dong?"
"Lu gak coba cari tahu tipe yang disuka Ilyas gimana? Kalau dari cerita lu tuh ya, kayanya dia sukanya sama cewek yang kalem, alim, gak neko-neko gitu ya. I mean.... kebalikan dari lu sekarang kan ya?"
"Maybe... tapi kayanya iya sih... Aauk aah gelap."
"Eeh bambang... lu kalau udah tahu Ilyas tuh suka ama yang tipe alim kalem gitu, ya udah sih lu berubah aja demi dia."
Mawar mendunga ke arah temannya dengan takjub. Tidak menyangka temannya bisa bener juga otaknya.
"Gue udah pernah mikir kaya gitu. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, kalau emang seorang laki-laki benar-benar cinta pada seorang perempuan, dia harus bisa menerima perempuan itu apa adanya dong. Kalau mau berubah ya harus karena dorongan hati bukan karena laki-laki. Menurut gue sih!"
"Laah itu kan kata lu tadi kalau tuh laki emang suka ama tuh cewek, kalau emang suka sama lu. Kalau kasus lu gini ya kagak keleeusss..."
"Gak cuma Ilyas yang bikin kepala gue pusing. Nih si bos maksa banget besok gue kudu ikut ama investor baru gegara gue kenal ama tuh orang. Teman bokap sih."
"Eeh iyaa, bokap lu bener-bener kagak mau jadi investor?"
Mawar menggeleng. "Kata bokap, oke boleh, bokap mau jadi investor, tapi syaratnya satu, gue kudu resign dari sini terus gantiin bokap. Males lah gue. Bakal dikira orang gue dapat jabatan karena nama Hartono! Mending di sini lah, seenggaknya gue bisa buktiin dulu kemampuan gue. Cuma satu dua orang yang tahu kan kalau bokap gue tuh Pak Hartono yang ituh." Jelas Mawar panjang kali lebar.
"Gimana proses asesmen? Udah sejauh apa?"
"Minggu depan gue dipanggil HRD Director. Tahu deh ada tes apalagi. Kurang nguli gimana lagi sih gue? Berangkat pagi pulang malam, macam Bang Toyib."
"Bang Toyib mah dua kali puasa gak pulang, dodol!"
"Kenapa kita jadi ngaco gini sih?"
"Kadang, gue pingin banget cuti sebulan terus ikut adik gue keliling Indonesia. Gak perlu pusing ama kerjaan, ama gebetan, ama mantan..."
"Kabarnya bokap mantan lu juga tertarik jadi investor?"
"Iyaa, makanya si bos maksa gue ikut meeting nih. Padahal kan udah gak ada apa-apa lagi." Mawar terdiam sejenak. Matanya menerawang. Entah memikirkan apa. Mantan mungkin?
"Lu masih ada rasa sama mantan ya, Mawar?" Tanya temannya hati-hati.
"Lu pikir aja deh, kami hampir menikah loh. Keluarga besar udah setuju semua. Susah banget kan menyakinkan bokap gue yang kaku gitu. Semua udah gue kasih ke dia. Semua!! Untunglah waktu itu Edel tahu sebelum kami menikah. Yaaah, emang gak jodoh aja kali. Biarin deh. Saatnya menatap masa depan sama cowok lain!" Mawar kembali merenung, membayangkan masa lalu.
"Lu masih sakit hati banget ya, neng? Atau sebenarnya lu masih cinta banget ama tuh mantan?"
"Sakit hati...? Euumm... enggaklah. Buat apa? Bikin capek hati. Masih cinta...? Euumm... maybe. Gak bisa bohong, gue ama Aufar punya masa lalu yang indah."
"Lu tahu, Mawar, ada lagu yang cocok buatmu loh."
"Apaan tuh? Lagu apa?"
Segera temannya berdendang sambil tersenyum usil, "Masa lalu... biarkanlah berlalu... . Udah deh, lupain Aufar, semanis apapun masa lalu kalian. Sekarang fokus ke Ilyas aja deh."
Ilyas dan Aufar. Lelaki yang ada di hidup Mawar. Yang satu gebetan walau mungkin Mawar sekedar iseng, satu lagi sang mantan terindah. Semuanya memberi warna pada hidup Mawar