Semenjak penegasan kedua kali yang dilakukan oleh Nana, Takeru benar-benar akan berpikir berulang kali jika ingin datang ke sekolah, kendati untuk mengantar atau bahkan menjemput saat hujan deras ia tetap akan menimbangnya dengan sangat matang. Kecuali, jika memang sekolah yang mengundangnya untuk datang.
Sejujurnya, Takeru bertanya-tanya kenapa gadis kecilnya sangat tidak suka jika ia datang ke sekolah, mungkinkah Nana malu dengan kehadirannya? Namun, apapun alasan yang bisa saja terjadi, pria itu memutuskan untuk memikirkan alasan yang masuk akal. Yakni putri yang selalu ia anggap sebagai anak kecil kini sudah tumbuh dengan pola pikir yang terus berkembang.
Ya, Takeru berpikir jika Nana ingin lebih mandiri di usianya yang sudah menginjak kedua belas tahun. Tiga tahun berlalu dengan sangat cepat semenjak gadis itu mengawali fase remajanya.
Seperti biasa, dapur setiap pagi akan mengebul sebelum jantung yang melekat pada dinding menunjuk angka ketujuh. Terlebih, pagi ini adalah hari istimewa bagi Nana yang akan menginjak bangku sekolah menengah untuk pertama kalinya. Tentu, Takeru merasa ia harus menyiapkan sarapan terbaik untuk putrinya.
Meski lelah akibat begadang semalaman, tidak lantas membuat pria itu harus meninggalkan pekerjaan rutin rumahan. Seperti menyiapkan sarapan, juga bekal yang akan dibawa oleh Nana.
Sementara itu, di depan pintu kamar, seorang gadis remaja baru keluar dengan seragam yang terlihat masih anyar. Ya, Nana baru pertama kali memakainya.
Menyadari kedatangan sang anak, Takeru yang tengah sibuk mengaduk kaldu tersenyum ke arah gadis itu. Kedua matanya berbinar. Untuk sesaat, sekelebat memori ketika Nana masih kemana-mana harus digendong muncul begitu saja. Sedangkan sekarang, melihat putri kecilnya tumbuh dengan baik membuatnya merasa senang, sekaligus terharu.
"Kau sudah siap?" tanya Takeru begitu Nana mendekat.
Gadis itu mengangguk. "Ya. Aku harus datang lebih pagi," ujarnya.
Mendengar hal itu, kini Takeru yang mengangguk paham. Lalu tanpa membuang waktu, ia segera meletakkan sup dan beberapa menu lain di atas meja.
Takeru duduk berhadapan dengan Nana. Sesekali pria itu menatap sang anak di sela suapan makanan. Untuknya, melihat gadis itu tumbuh dengan baik sudah cukup untuk menutupi lelah selama ini. Tanpa sadar, seulas senyum simpul hadir dari sudut bibirnya.
Sementara Nana, sepertinya gadis itu sadar jika sedari tadi sang ayah memperhatikan. Akan tetapi, ia merasa tak cukup bisa untuk berbasa-basi. Meski ia ingin sekali seperti anak-anak yang lain yang dekat dengan orangtua, tetapi emosi yang terlalu dipendam membuatnya semakin sulit untuk mengekspresikan perasaan.
Hingga pada akhirnya, gadis itu hanya menjawab tanpa mengangkat pandangan. "Ayah bisa mengantarku nanti?" tanyanya tanpa mengalihkan mata dari mangkuk.
Mendengar itu, untuk sesaat mata Takeru sedikit membulat. Bukan karena tidak mau, tapi sebab sangat gembira jika apa yang ia dengar tidaklah salah. Tentu, tanpa pertimbangan sedikitpun, pria itu langsung mengangguk mengiyakan permintaan sang anak.
"Tentu," jawab Takeru cepat, "kalau begitu, kau selesaikan sarapan lebih dulu. Ayah akan bersiap-siap," lanjutnya, kemudian bergegas beranjak dari meja makan untuk bersiap.
Tak ingin membantah, Nana hanya mengangguk samar dan membiarkan ayahnya pergi begitu saja. Meski setelahnya, ia menatap punggung pria yang semakin tua bergegas mengambil sesuatu. Padahal, nasi yang terhidang dengan sup belum habis separuh. Melihat hal itu, Nana menarik napas dalam.
Hingga tak lama, Takeru kembali datang dengan pakaian rapi dan beberapa barang untuk keperluan toko.
"Bagaimana dengan toko Ayah?" tanya Nana seusai menyuapkan makanan terakhir.
Takeru segera menjawab, "Ayah akan membukanya setelah mengantar kamu ke sekolah," ujarnya ringan, juga dengan senyum bahagia yang masih menggantung di antara kedua bibir.
Mendengarnya, Nana hanya bisa mengangguk mengiyakan. Meski sejujurnya ada perasaan lain yang ia khawatirkan.
Setelah keduanya selesai dengan meja makan, Takeru segera menyalakan mesin motor disusul dengan Nana yang langsung duduk di kursi penumpang. Jarak yang lebih jauh dari sebelumnya mengharuskan mereka berangkat lebih awal.
Beruntung, jalanan di desa hampir tidak pernah bertemu dengan kemacetan. Lalu lintas di sini cukup tenang, sehingga memudahkan Takeru untuk mengantar putrinya dalam waktu yang sudah diperkirakan.
Tak perlu berbincang dengan aspal lebih lama, kini mereka sudah sampai di sekolah baru Nana. Motor terparkir di luar gerbang gedung dengan nuansa cokelat muda. Sementara di halaman, sudah banyak sekali siswa dengan seragam sama yang berlalu-lalang.
Nana turun dari motor, diikuti dengan helm yang terlepas setelahnya. Dengan cepat, ia menyerahkan pengaman berkendara itu pada sang ayah, lalu berpamit untuk masuk ke dalam sekolah.
Tentu, Takeru langsung menyambut baik kalimat putri kesayangannya. "Belajarlah yang rajin, ya," ucapnya dengan lembut. Sementara tangannya, ia hampir lupa akan meletakkannya di puncak kepala Nana. Beruntung, ia segera sadar dan menarik tangan yang belum terangkat penuh.
Pria itu kembali tersenyum. "Ayah akan menjemputmu nanti siang," lanjutnya. Sedangkan Nana, gadis itu hanya mengangguk mengiyakan, lalu bergegas memasuki gerbang.
Untuk beberapa saat, Takeru tak langsung pulang. Ia menatap punggung sang anak sampai benar-benar tidak terlihat. Untuknya, pagi ini adalah satu langkah yang menyenangkan bisa mengantar Nana ke sekolah lagi setelah terakhir beberapa tahun yang lalu. Meski dengan begitu, ia harus mengulur waktu untuk membuka toko, sama sekali bukan masalah untuknya.
Dengan ringan, Takeru meninggalkan pekarangan sekolah menuju pasar, yang arahnya berlawanan.
***
Setengah hari terasa berjalan sangat cepat. Terlebih untuk Takeru yang bersemangat ingin menjemput Nana, sesuai dengan janjinya. Pukul satu siang, harusnya gadisnya sebentar lagi pulang.
Usai menitipkan toko kepada Sarah, pria itu langsung menancap gas menuju sekolah putrinya. Ia tidak ingin jika Nana menunggu terlalu lama.
Untungnya, ia sampai lebih dulu sebelum bel pulang berbunyi. Takeru bisa memastikan, sebab dari luar bisa terlihat jika seluruh kelas masih terisi penuh.
Pria itu melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Jarumnya menunjuk akan satu lebih lima belas menit. Ia menerka Nana akan keluar sebentar lagi.
Sementara di atas langit, matahari menggantung cukup terik. Sedangkan di luar gerbang, jarang sekali ditemukan pohon rindang untuk berteduh. Tidak masalah sebenarnya untuk Takeru, toh ia senang sebab tengah menunggu Nana keluar.
Namun, sepertinya waktu ingin berbincang lebih lama dengan pria yang masih terduduk di atas motor. Sudah satu jam semenjak ia datang, tapi hingga saat ini bel pulang belum juga berbunyi. Ada perasaan cemas yang menyelinap, mungkinkah Nana sudah pulang lebih awal?
Sampai ketika jarum jam menunjuk angka tiga, akhirnya bel berbunyi selaras dengan anak-anak yang berhamburan keluar.
Seolah lupa dengan lamanya ia menunggu, Takeru segera bangkit dengan senang, mencari keberadaan putri kesayangan.
Beruntung, Nana segera tahu jika ayahnya sudah datang. Dengan raut wajah bersalah, ia mengatakan, "Sekolah salah memberi informasi jam pulang," ucapnya pelan, "Ayah sudah menunggu lama?" lanjutnya.
Mendengar itu, Takeru segera menggeleng. "Tidak. Ayah baru saja sampai. Tadi sedikit terlambat," bohongnya, untuk menjaga perasaan Nana.
Tetapi, apa yang Takeru tidak tahu adalah, gadis itu sudah melihatnya dari dalam kelas satu jam yang lalu.
Nana terdiam beberapa saat. Ia merasa bersalah, dan menyayangkan kenapa ayahnya harus berbohong. Setelah beberapa detik, akhirnya ia tersenyum simpul. Mengangguk lalu duduk di belakang, membiarkan Takeru membawanya pulang.