Kedua mata Takeru menyapu seluruh area sekolah. Sepertinya bel pulang belum berbunyi, terlihat dari tidak adanya siswa yang keluar dari kelas. Tak lama, pandangannya berhenti pada satu kelas dengan palang kecil bertuliskan kelas lima di seberang lapangan. Takeru tersenyum simpul.
Beruntung, tak perlu menuruti waktu lebih lama lagi, suara bel akhirnya terdengar memenuhi seluruh sekolah. Ya, itu bel terakhir untuk pembelajaran hari ini.
Dengan mata yang tajam, ia mencari keberadaan gadis yang tengah ditunggu, Nana. Tentu saja, begitu gadis itu terlihat, Takeru melambai, memberitahu jika ia datang menjemput putri kecil kesayangan.
Tak perlu waktu lama untuk Nana berhasil menyadari kedatangan sang ayah. Sesaat, gadis itu nampak terkejut, meski akhirnya tetap menghampiri Takeru setelah menghela napas berat sebelumnya.
"Kenapa ayah datang?" Adalah kalimat pertama yang Nana katakan begitu ia mendekat. Ada dua makna yang tersirat dalam pertanyaan itu, pertama ia tidak suka, dan kedua memang benar-benar ingin tahu maksud kedatangan sang ayah.
Sembari menyerahkan helm untuk Nana, pria itu menjawab, "Ayah hanya ingin menjemputmu," ucapnya dengan senyum simpul yang tak tanggal.
Nana terdiam. Di detik berikutnya ia membuang napas berat sebelum akhirnya menjawab dengan tegas. "Aku sudah bilang ayah tidak perlu datang lagi," ujarnya, terdengar sudah cukup untuk melukai hati.
Namun, seperti sudah paham dengan sikap anaknya, Takeru tak ambil hati. Ia tetap menyalakan mesin motor agar Nana segera naik. "Siang ini sangat terik. Kau akan pusing jika pulang dengan berjalan," ucapnya, masih menunggu gadis kecilnya naik.
Untuk beberapa detik, Nana hanya memandang Takeru dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Hatinya memaki, meski pada akhirnya ia mengalah pada amarah.
Dengan sangat berat, Nana membuang napas. Lalu tanpa berkata langsung naik di belakang sang ayah.
Perjalanan dari sekolah sama sekali tidak terlibat dengan perbincangan. Terik yang terasa kentara semakin memberikan hening sebagai jeda di antara keduanya.
Hingga ketika motor dihadang oleh persimpangan, jalur yang harusnya lurus ke rumah diambil kiri melalui jalan lain.
Mendapati sang ayah yang berbelok, untuk kesekian kalinya Nana membuang napas panjang. Tanpa bertanya, ia sudah tahu kemana pria ini akan membawanya. Ya, Takeru pasti akan mampir ke pasar lebih dulu.
Suasana masih sama. Takeru yang fokus membelah aspal, dan Nana yang hanya diam menurut meski dengan perasaan kesal.
Hingga tak lama, keduanya telah tiba di depan ruko elektronik, dengan seorang wanita yang tersenyum senang mendapati kedatangan Nana.
Takeru tersenyum seraya mengucapkan terima kasih pada wanita itu karena sudah berkenan menjaga ruko selama ia pergi. Tidak masalah, wanita itu senang bisa membantu. Lagipula, toko seragam miliknya tidak terlalu ramai akhir-akhir ini.
Setelah melepas helm, Takeru langsung bergegas masuk. Mengecek sesuatu dengan buru-buru agar Nana tidak lama menunggu.
Sementara di luar, gadis itu masih diam, meski langkahnya perlahan menepi ke selasar ruko, mencari tempat berteduh.
Untuk gadis kecil seusianya, bisa dibilang Nana cukup ramah terhadap orang lain. Terlebih kepada bu Sarah, wanita yang sudah ditemuinya sejak kecil karena ruko mereka yang bersebelahan.
Tak lama setelah keduanya berbasa-basi, Takeru yang sudah selesai dengan urusannya beralih memasukkan perangkat yang berada di luar.
"Kau sudah akan tutup?" tanya Sarah ketika ia melihat Takeru membereskan barang.
Takeru menoleh sekilas, mengangguk lalu menjawab, "Ya. Aku harus mengantar Nana pulang," ucapnya, detik berikutnya kembali membereskan sampai tak ada yang tersisa di luar.
Mendengar alasan sang ayah menutup ruko lebih awal karena dirinya, Nana semakin merasa tak enak, mungkin sedikit kesal jika dijabarkan. Lagipula, siapa yang menyuruh pria itu untuk datang. Menjadikannya alasan benar-benar membuat gadis itu semakin tidak menyukainya. Lagi-lagi Nana hanya bisa membuang napas malas tanpa menjawab.
Berbeda dengan Nana, Sarah terlihat maklum dengan anggukan paham. Tentu saja, tidak baik jika Nana menunggu sampai sore.
Hingga saat Takeru selesai mengunci rolling door dengan rapat, ia keluar. Menghampiri Nana juga Sarah yang masih sesekali merajut perbincangan.
"Maaf membuatmu menunggu," ucap pria itu begitu keluar. Sedangkan tangannya meraih puncak kepala Nana, mengelus gadis itu.
Bukannya senang, Nana malah segera menepis belaian sang ayah. Ia menarik kepala, serta memasang wajah tidak suka.
Untuk beberapa saat, Takeru hanya bisa mematung, meski perlahan memundurkan tangan dari gadis di hadapannya.
Sementara Nana, ia sama sekali tidak mengeluarkan suara. Hanya raut wajah dan sikapnya saja sudah bisa membuat sang ayah paham jika ia tidak suka diperlakukan demikian.
Beberapa detik, keduanya saling terdiam. Lagi-lagi Takeru merasa jika apa yang telah ia lakukan salah, karena membuat Nana marah. Dengan salah tingkah, pria itu tersenyum canggung, mencoba menunjukkan jika hal itu sudah biasa baginya.
Sementara Sarah yang tidak sengaja melihat merasa ikut terbawa suasana. Ia menyesal sebab menyaksikan hubungan dingin antara Takeru dan Nana. Untuk wanita yang juga memiliki seorang anak, tentu ia sangat paham bagaimana hubungan orangtua-anak yang baik, atau setidaknya cukup baik.
Tak ingin membiarkan suasana semakin dingin, terlebih ketika Takeru hanya terdiam, Sarah mencoba mencairkan suasana.
Dengan sedikit canggung, wanita itu beralih menatap gadis dengan seragam SD yang masih membuang muka. Ia tersenyum dan berkata, "Nana sudah remaja sekarang," ucapnya, lalu beralih pada Takeru. "Kau seharusnya tidak memperlakukannya seperti anak kecil lagi, Takeru. Bukankah kau bilang dia sudah mengalami awal pubertas?" lanjut Sarah.
Mendengar hal itu, Takeru hanya mengangguk samar. Hingga tak lama wanita paruh baya itu melanjutkan, "Nana tidak akan suka jika kau terus membelai rambutnya seperti pada anak usia lima tahun." Setelah mengatakan itu, Sarah kembali beralih pada Nana. "Benar kan, Nana?" tanyanya meminta persetujuan.
Namun, Nana tak langsung menjawab. Gadis itu hanya terdiam, meski akhirnya memberikan anggukan samar. Ada yang dua orang dewasa di sampingnya tidak tahu, bahwa perkataan Sarah membuat Nana semakin merasa tidak suka dengan hormonnya. Ia malu, sungguh tidak ingin jika orang lain mengetahui jika dirinya sudah mengalami tanda-tanda pubertas yang mana belum ada dari temannya yang mendapatkan hal serupa.
Gadis itu tumbuh terlalu cepat, dan itu membuatnya merasa tidak nyaman. Terlebih, setelah respon sang ayah yang berlebihan hingga membawanya diperiksa oleh kepolisian. Meski usianya masih sembilan tahun, tetapi ia sudah paham jika itu adalah hal yang sangat memalukan.
Sampai pada saat Takeru kembali mengendarai motor membelah jalan, gadis yang duduk di belakangnya sama sekali tidak berniat merajut obrolan. Entah apa yang sudah terjadi. Tetap ketidakjelasan itu justeru yang membuat jarak semakin renggang di antara keduanya.
Sebenarnya, ada hal lain yang Nana sesali dari sikap sang ayah. Ialah, kenapa harus menceritakan apapun tentangnya terhadap Sarah?
Takeru melepas helm ketika motor berhenti di pekarangan rumah. Ia beralih pada Nana, bermaksud ingin melepas kaitan helm gadis itu. Akan tetapi, belum sempat tangannya bergerak, Nana sudah lebih dulu menepis.
Tanpa ba-bi-bu, gadis itu langsung meletakkan helm di atas motor. "Besok ayah tidak perlu lagi pergi ke sekolah," ucapnya singkat, tapi berhasil menusuk hati hingga tersayat.
Selanjutnya, Nana langsung beralih meninggalkan sang ayah yang masih diliputi dengan berbagai tanya.
Untuk beberapa saat, Takeru hanya terdiam. Ia memandang punggung gadis kecil yang semakin hari semakin tidak ia mengerti. Ah, andaikan istrinya masih di sini, mungkin pria itu tidak akan merasakan betapa susahnya membesarkan anak perempuan.
Lagi-lagi, perasaan bersalah menyergap dirinya.