Senja sudah beralih menjadi temaram ketika motor terparkir di halaman depan. Selepas dari kantor polisi, Takeru mengiyakan untuk menemui dokter. Hingga saat malam menjelang, keduanya baru pulang.
Sebenarnya, ada beberapa perasaan yang bertumpuk jadi satu di dalam hati Takeru. Ia lega, sebab dokter mengatakan jika bercak merah pada sang anak adalah sebuah kewajaran untuk seorang gadis yang mulai pubertas. Sedangkan Nana, ia sepertinya mengalami hal itu lebih awal dari teman-temannya.
Namun di sisi lain, pria itu merasa sangat bersalah, dan tidak enak dengan putrinya. Tentu saja, gadis kecil itu mengalami hal yang sangat memalukan. Untuk anak perempuan berusia 9 tahun yang tumbuh tanpa seorang wanita dewasa di sampingnya, tentu ia belum tahu apa itu pubertas dan apa-apa yang akan terjadi. Sementara menemui polisi dan dokter dengan panik seperti yang Takeru lakukan, tentu Nana merasa sangat malu ketika paham.
Takeru menatap punggung gadis kecil yang masuk ke dalam rumah dengan langkah cepat, meninggalkannya tanpa sepatah katapun. Pria itu paham dengan perasaan sang anak, dan itu terjadi karena murni kesalahannya. Andai saja ia lebih memahami pertumbuhan seorang anak perempuan, mungkin Nana akan mendapatkan perlakuan yang lebih baik dari ini.
Pria yang masih berdiri di samping motor itu menghela napas dengan panjang, sangat menyesal.
Setelah hanya berdiri mematung beberapa saat, Takeru memutuskan untuk menyusul Nana ke dalam rumah. Ia hanya ingin memastikan apakah gadis kecil itu bisa memasang apa yang dokter wanita tadi berikan dengan benar.
Tetapi, begitu ia masuk, di dalam kamar mandi terdengar suara air yang sangat deras dengan pintu terkunci rapat. Takeru kembali membuang napas sedikit pelan. Mungkin Nana bisa sendiri melakukannya, begitu pikir pria itu.
Hingga setelah beberapa menit ia menunggu di depan kamar mandi, pintu terbuka. Dilihatnya wajah sang anak yang baru saja keluar, menatap Takeru sebentar lalu segera berlalu bagai angin tanpa pesan.
"Kau sudah memasangnya dengan benar?" Takeru bertanya seraya mengekor Nana di belakang.
Namun, gadis di depannya sama sekali tidak menjawab. Nana terus berjalan menuju kamar dengan langkah yang semakin dipercepat.
Tak ingin menyerah, Takeru masih membuntuti gadis yang masih ia anggap sebagai anak-anak. "Ayah bisa membantumu jika kau kesulitan," ucap pria itu lagi.
Mendengar hal itu, Nana langsung berhenti. Ia terdiam sejenak, memejamkan mata menahan marah agar tidak meledak. Setelah dirasa bisa dikendalikan, gadis itu berbalik. Menatap Takeru sebentar dan berucap, "Aku bisa melakukannya sendiri," ujarnya lirih. Lalu segera berlalu dari hadapan sang ayah.
Takeru masih tidak mengerti, ia merasa bersalah dan segera ingin meminta maaf. Disusulnya Nana dengan cepat.
"Ayah--"
Brak!
Akan tetapi, sebelum Takeru menyelesaikan perkataannya, Nana sudah lebih dulu menutup pintu kamar dengan kasar.
"Jangan ganggu aku!" teriak gadis itu cukup kencang dari dalam.
Sementara di baliknya, Takeru terdiam mematung seketika. Ia tidak tahu jika sikapnya membuat Nana sangat marah. Apalagi sampai membanting pintu dan tidak mau diganggu.
Ia hanya bisa menatap pintu kayu yang sudah terkunci dengan rapat. Perasaan bersalah menjalar lebih besar. Ia sangat menyesal karena tidak bisa mengerti keadaan putrinya dengan baik.
Lagi-lagi, perasaan yang merasa gagal dalam mengurus Nana membuat Takeru teringat dengan sang istri. Di saat yang sama air mata tampil dari sudut mata. Namun segera ia hentikan, sebab pria itu sudah tidak bisa menangis selepas peninggalan istri yang sangat dicintainya.
Tak ingin membuat putrinya semakin kesal, Takeru memutuskan untuk beranjak dari depan kamar Nana.
Ia beralih pada sebuah komputer di sudut ruangan, berusaha mencari tahu agaknya apa yang terjadi pada gadis di awal pubertas, dan apa saja yang perlu dilakukan. Ya, Takeru melakukannya untuk membantu sang anak. Meski ia tidak yakin Nana akan mendengarkan dirinya setelah ini. Namun tidak masalah, ia akan tetap berusaha.
Bukan hal mudah, mengurus gadis tanpa wanita dewasa di sisinya.
Malam merangkak lebih cepat dari yang Takeru duga. Kendati demikian, ia tetap bangun lebih awal meski mata seperti enggan terbuka. Rasa kantuk harus ia singkirkan, terlebih saat mengingat Nana. Pria itu berpikir untuk membuatkan bekal kesukaan putrinya.
Setelah cukup lama ia berkutat di perapian, tiba-tiba Nana muncul dari dalam kamar dengan tas dan seragam yang sudah rapih. Gadis itu siap untuk pergi ke sekolah.
Melihat sang anak yang pamit dan langsung beranjak tanpa menunggu jawaban darinya, Takeru segera mencegah. "Nana. Kau tidak mau sarapan lebih dulu?" tanyanya seraya menyusul gadis itu ke depan.
Tanpa menoleh, Nana menimpali, "Aku tidak lapar," ucapnya singkat sembari mengikat tali sepatu. Sesaat setelahnya, gadis itu bangkit.
"Ayah sudah membuatkan cumi goreng kesukaanmu," teriak Takeru masih mencoba merayu putrinya untuk sarapan.
Namun, sepertinya itu akan sia-sia, sebab Nana terus berlalu tanpa berniat menjawab, atau sekedar menoleh. Gadis itu berjalan meninggalkan pekarangan rumah.
Takeru tersenyum samar seraya melambai. "Baiklah. Ayah akan menyimpannya untuk nanti sore," ucapnya lirih sembari menatap punggung Nana yang semakin menjauh.
Setelah gadisnya tidak nampak di mata lagi, Takeru kembali ke dalam dapur. Ia menatap cumi goreng hangat yang baru mentas dari penggorengan. Aroma dan tepung yang melekat seolah meminta untuk segera disantap. Namun, sayangnya ia tidak bisa mengabulkan permintaan cumi goreng di atas piring.
Sudah tidak berselera makan, Takeru memutuskan untuk menyimpan masakannya ke dalam lemari penyimpanan. Sesekali ia membuang napas sedih. Merasa bersalah atas sikap anaknya yang dingin.
Rumah belum rapih, tapi ia harus segera ke pasar dan membuka toko. Bahkan setelah hampir sepuluh tahun hidup seperti ini, ia belum terbiasa mengurus rumah dan bekerja. Tentu saja, salah satu harus ada yang dikesampingkan lebih dulu. Terlebih, ia adalah seorang pria yang tidak cukup terampil untuk hal-hal seperti ini.
Siang datang menggeser matahari ke tengah peraduan. Terik siang ini cukup menyengat. Takeru melihat jantung yang melingkar di dinding, jarumnya sudah menunjukkan akan dua siang, sebentar lagi Nana akan pulang.
Awalnya ia tidak yakin akan menjemput gadis itu ke sekolah. Apalagi, jauh-jauh hari Nana sudah memperingatkannya untuk tidak datang, baik untuk menjemput maupun mengantar.
Tetapi, melihat matahari yang sangat terik membuat Takeru berpikir ulang, tidak tega jika Nana berjalan di bawah terik yang bisa membuat kepala pening. Dengan pertimbangan yang sebentar, ia memutuskan untuk menjemput gadis itu di sekolah.
Setelah menitipkan toko pada pemilik di sebelah ruko, Takeru bergegas menyalakan mesin menuju sekolah di mana sebentar lagi anaknya akan pulang.
Cinta dari seorang ayah, tidak akan lekang meski terkadang begitu sulit untuk diungkapkan.