Dengan rahang yang mengeras, Takeru menatap putrinya dengan tajam, seolah ada hunusan pedang yang menuntut penjelasan dari Nama segera.
Sedangkan Nana, gadis itu hanya memandang sang ayah dengan penuh ketakutan. Apa darah yang menempel di pakaiannya adalah kesalahan yang ia perbuat?
"Siapa yang melakukannya, Nana?" tanyanya, membuat gadis kecil di hadapannya semakin menunduk takut.
Dengan tubuh yang mulai bergetar, Nana hanya menggeleng pelan. Ia juga tidak tahu bagaimana ada bercak merah di pakaian dalamnya. Seingat gadis itu, tidak ada yang terjadi padanya seharian ini.
Takeru meraih pundak sang anak, mencoba menatap lembut meski ada kemarahan yang memuncak. Ia menatap mata Nana yang mulai basah. "Katakan saja, Nana. Ayah tidak akan memarahimu," rayunya agar gadis di depannya mau mengaku.
Sejujurnya, ada perasaan remuk yang mendera di dalam hati pria itu. Anak gadis yang bahkan belum genap berusia sepuluh tahun, sudah mendapatkan pelecehan seperti ini. Untuk seorang ayah, bukankah itu sebuah kegagalan terbesar dalam menjaga Nana?
Namun, apa yang putrinya berikan hanyalah sebuah gelengan yang sama. Nana sama sekali tidak mau menjawab, lebih tepatnya gadis itu tidak tahu harus mengatakan apa.
Dengan hati yang remuk hampir hancur, sudut mata Takeru mulai basah mengembun. Menyamarkan pandangan terhadap putri semata wayang yang mungkin lebih dari sekedar merasa ketakutan.
Takeru memeluk Nana dengan air mata yang mulai mengalir. Berulang kali kata maaf keluar dari bibir pria itu. Merasa sangat bersalah, juga gagal menjadi seorang ayah.
Sementara gadis kecil yang ketakutan juga hanya menangis kencang di dalam dekapan sang ayah. Ia sama sekali tidak mengerti, kenapa ada darah padahal ia tidak merasakan sakit sama sekali.
Setelah tenggelam dalam penyesalan cukup lama, Takeru melepaskan dekapan, menatap sang putri dengan mengumpulkan serpihan kekuatan.
"Tenang saja, Nana. Ayah tidak akan membiarkan hal ini terjadi," ucap pria itu dengan penuh keyakinan.
Tak ingin membuang waktu, Takeru segera bergegas membawa Nana keluar. Saking terburu-buru, ia bahkan tidak sempat mengganti pakaian yang dikenakan dari pasar. Bau matahari ataupun keringat sama sekali tidak berarti. Apa yang terpenting sekarang adalah bertindak atas sapa yang menimpa putrinya.
Dengan mesin beroda dua yang selalu menemani setiap perjalanan, Takeru membawa Nana ke suatu tempat, salah satu pelayanan masyarakat yang menindak tegas pelaku kejahatan, kantor polisi.
Untuk sampai ke tempat itu, ia harus mengukur jalan selama tiga puluh menit, itupun dengan kecepatan yang sengaja dinaikkan. Wajar, jarak ke kota cukup jauh dari rumah.
Beruntung, tak perlu merayu aspal lebih lama, kini ia sudah memarkirkan motor di halaman kantor dengan cat bernada biru tua tersebut.
Takeru bergegas membawa Nana masuk, melapor dengan tergesa-gesa, bahkan hingga apa yang ia katakan tidak jelas terdengar.
"Tolong putri saya," ucap pria itu begitu masuk, "seseorang telah melecehkannya," lanjutnya dengan terburu-buru, padahal ia juga tidak tahu tengah berbicara dengan siapa. Hati yang hancur ingin segera meminta pertimbangan pada siapapun yang mendengar.
Hingga beberapa saat setelahnya, salah satu dari anggota polisi mendekat, menanyakan dengan tenang atas apa yang ingin disampaikan oleh Takeru, dengan Nana yang masih menangis di sampingnya.
"Saya ingin melaporkan pelecehan yang terjadi dengan anak saya," ucap Takeru tak sabar. Sedangkan polisi di hadapannya hanya bisa menyuruh pria itu untuk duduk sebelum melanjutkan penjelasan.
Tak bisa menolak, Takeru duduk bersebelahan dengan Nana, sementara di hadapannya pria dengan seragam juga sudah menunggu kelanjutan dari apa yang ingin ia laporkan.
Takeru menelan ludah dengan susah payah. Dadanya kembali terasa sesak ketika ingin mengatakan apa yang menimpa putri semata wayangnya.
"Tenanglah, Pak. Katakan apa yang terjadi," ujar polisi yang bertugas menangani laporan dari ayah Nana.
Sedangkan Takeru, pria itu mengatur napas yang masih terbata, sebelum akhirnya ia membuangnya perlahan lalu berkata, "Darah. Ada bercak merah di celana dalam putriku. Aku yakin seseorang telah melakukan hal buruk terhadapnya." Ia mengatakan dengan sangat yakin, selain itu dari tatapannya, Takeru meminta polisi untuk segera menangkap pelaku, padahal masih ada beberapa prosedur yang perlu dilakukan.
Mendengar itu, pria dengan seragam biru hanya mengarahkan Takeru untuk tenang. Setelahnya, ia beralih pada gadis kecil yang matanya masih basah.
Polisi itu menatap Nana dengan lembut. "Apa benar yang dikatakan ayahmu?" tanyanya memastikan.
Untuk beberapa saat, gadis kecil itu hanya terdiam. Ia menunduk, seolah telah melakukan kesalahan yang besar. Nana masih enggan menjawab.
Menenangkan putrinya, Takeru mengelus pelan pundak Nana. "Katakanlah, Nana. Polisi akan membantumu," ucapnya pelan.
Sekali lagi, polisi di hadapannya bertanya. Sampai saat detik beralih menjadi menit, Nana akhirnya mengangguk mengiyakan. Namun ia sama sekali belum berani mengangkat kepala.
Pria dengan seragam itu mengangguk. Kemudian kembali mengorek informasi. "Kapan itu terjadi?"
Masih dengan tunduk yang dalam, gadis kecil itu menjawab, "Tadi sore, sepulang sekolah," ucapnya pelan.
Tak ingin melewatkan satu informasi, polisi itu langsung menulis apa yang Nana katakan. Setelahnya, ia kembali memandang Nana. "Apakah ada orang yang melakukannya?" tanyanya lagi.
Akan tetapi, gadis itu langsung menggeleng pelan. Sebab ia memang tidak ingat sama sekali jika ada orang lain di rumahnya saat ia mendapati bercak merah itu.
Pria di hadapan mereka mengangguk samar, meski diiringi dengan helaan napas yang cukup panjang.
"Tidak mengapa, Nana. Katakan saja, apa ada seseorang yang mengganggumu saat pulang sekolah tadi?" Polisi itu kembali mengulang pertanyaan, mencoba menggali informasi atas apa yang terjadi dengan gadis kecil dengan sisa tangisan di depannya.
Namun lagi-lagi, tak ada jawaban yang Nana berikan selain gelengan kepala pelan. Ia bahkan sama sekali tidak tahu apa yang terjadi.
Mendapati jawaban yang sama berulang kali, polisi itu terdiam untuk beberapa saat. Kasus yang dilaporkan sedikit aneh, terlebih saat gadis di hadapannya hanya menangis, tapi tidak ada garis trauma di sana. Hingga setelah ia berpikir sejenak, satu kesimpulan lain hadir di dalam kepala.
Pria berseragam itu kembali memandang Nana. Kemudian melayangkan pertanyaan, "Nana, apa kamu ingat bagaimana bisa bercak merah itu ada di sana?" tanyanya, masih dengan lembut, tak ingin membuat gadis kecil di depannya takut.
Awalnya, Nana masih terdiam. Meski pada akhirnya ia tetap menggeleng dengan samar. "Tidak," ucapnya, "aku tidak tahu. Saat aku hendak berganti pakaian, tiba-tiba sudah ada darah di sana," lanjut gadis itu menjelaskan, sekaligus memberikan kesimpulan.
Mendengar jawaban dari Nana, polisi yang sedari tadi diliputi rasa penasaran hanya bisa membuang napas sangat panjang. Sepertinya, ia dan sang ayah dari gadis itu sudah salah paham. Ia menggeleng, tak tahu harus berkata apa dengan pria dewasa yang masih gusar di hadapannya.
"Apa yang terjadi?" tanya Takeru tak sabar, saat polisi itu hanya terdiam.
Setelah terdiam untuk beberapa detik, ditatapnya mata Takeru dengan tajam. Lalu pria di depannya bertanya, "Apa tidak ada wanita dewasa di rumah kalian?" tanyanya masih mencoba untuk sopan.
Namun dengan cepat Takeru menggeleng. "Hanya kami berdua. Istriku telah meninggal," lanjutnya, yang langsung membuat pria berseragam itu mengangguk paham, meski dengan mata yang membulat sebentar.
Tak langsung mendapatkan jawaban, Takeru kembali bertanya, "Apa yang sudah terjadi dengan putriku?"
Tetapi bukannya menjawab, polisi di hadapannya malah menarik napas sangat dalam. Lalu mengeluarkannya dan berkata, "Pak, sepertinya Anda harus membawa gadis ini ke dokter lebih dulu. Biar dokter yang menjelaskan," ucapnya.
Mendapati hal itu, mata Takeru membulat hampir tak bisa berkedip. Bibirnya menganga. "Apa kondisi Nana separah itu?" tanyanya masih tak paham.
Dengan kepala yang mulai pening, polisi itu akhirnya menjelaskan dengan singkat, "Tidak, bukan begitu. Sepertinya putri Anda sudah mengalami hormon awal pubertas," ujar pria itu.
"Maksudnya?" Namun Takeru tetap tidak paham.
Polisi di depannya kembali membuang napas dengan panjang. Sebelum akhirnya berkata, "Itu sama sekali tidak berbahaya. Untuk lebih jelasnya, Anda bisa membawa Nana ke dokter."