Apa yang terjadi pagi ini? Dapur masih mengepul, padahal lingkaran yang tergantung di dinding sudah menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit. Itu berarti, kurang seperempat jam untuk Nana diantar sekolah. Terlalu singkat waktu yang mereka punya untuk bersiap.
"Ayah, aku sudah selesai." Nana keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit longgar. Sementara di wajahnya, nampak buih-buih sabun beraroma stroberi masih tertinggal.
Takeru yang masih sibuk dengan perapian bergegas menghampiri putrinya. "Ada sabun di wajahmu," ujarnya seraya menuntun Nana kembali ke kamar mandi.
"Ayah, kau mencium sesuatu?" ucap Nana saat Takeru tengah memakaikannya seragam.
Mendengar itu Takeru berhenti sejenak, mengusut aroma apakah yang tercium begitu pekat.
"Yaampun!" Takeru mengacak rambut kasar, sosis dan telur yang sedang ia goreng sudah melampaui batas matang. Aroma mencekik ini, ternyata lahir dari wajan yang menggosongkan makanan. Nana, maafkan ayah.
Seragam kusut tak sempat disetrika, rambut yang disisir seadanya, dan sekotak bekal yang hanya berisi roti, tak seperti biasanya yang lengkap dengan sosis dan nasi. Nana sudah siap untuk pergi ke sekolah.
Pagi ini, terlambat bangun satu jam dari biasanya membuat Takeru tak memiliki pilihan lain selain terburu-buru. Padahal, satu jam yang hilang dari paginya bisa ia gunakan barang untuk menyetrika ataupun memandikan Nana. Alhasil, keduanya harus diletakkan dan membiarkan gadis kecilnya mandi sendiri untuk pertama kali. Wajar jika ada sabun yang tertinggal.
Memiliki waktu lima belas menit sebelum jam sekolah masuk membuat Takeru harus memacu motornya lebih cepat dari biasanya. Jika tidak bergegas, Nana bisa terlambat dan merasa malu dengan teman-teman.
Bel berbunyi tepat setelah Takeru mematikan mesin motor di halaman sekolah. Ia menghela napas lega, peliknya pagi ini membuat kepala Takeru hampir meledak. Akhirnya kini ia bisa bersantai sebentar. Ternyata, tak mudah merawat seorang anak. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana seorang ibu harus bekerja keras setiap pagi, bahkan sepanjang waktu.
"Aku bisa pergi sendiri," tolak Nana saat Takeru bersikeras mau mengantarnya.
"Baiklah, baiklah, anak ayah bisa pergi sendiri."
Nana tersenyum riang, setelah ia berpamitan pada ayahnya, Nana berlari menuju kelas. Namun karena bel telah berbunyi, seperti biasa anak-anak akan keluar kelas dan berbaris. Tak mengapa, malah memudahkan Nana untuk langsung berbaris dan masuk setelahnya.
Namun, belum juga gadis itu sampai di barisan, seorang anak laki-laki tertawa sangat keras saat melihat Nana mendekat. Rupanya, seragam putih hijau yang Takeru siapkan sama dengan seragam yang sudah dipakai kemarin. Hari ini adalah hari Rabu, seharusnya seragam batik yang Nana kenakan, dan Takeru melupakannya.
"Apa ibumu tidak mencuci seragammu?" ejek salah satu anak diiringi gelak tawa.
Nana yang mendengar itu menghentikan langkah, melihat seragam kusut yang ia kenakan berbeda dengan teman-teman. Melihat hampir semuanya tertawa membuat gadis itu ragu, akankah ia tetap masuk barisan, ataukah kembali kepada Takeru karena malu. Namun, tiba-tiba ibu guru mendekat, meraih pundak Nana dan menuntunnya bergabung dengan yang lain. "Nah Nana, ayo bergabung. Jangan bersedih, anggap saja Nana seragaman sama ibu guru." Begitu bujuknya.
Sementara di luar gerbang, Takeru mengamati putrinya dengan perasaan bersalah. Ini semua salahnya, kenapa ia sampai tidak bisa memperhatikan seragam sekolah yang Nana kenakan. Pria itu terus mengekor pergerakan Nana sampai gadis itu hilang dari pandangannya, masuk ke dalam kelas. Kemudian berlalu dari depan sekolah.
Hana, aku telah melakukan Kesalahan.
Semenjak kejadian salah seragam itu, Nana tak lagi mau jika ayahnya yang menyiapkan seragam untuknya. Sebelum Takeru melakukannya, Nana akan lebih dulu memisahkan seragam apa yang akan ia kenakan esok. Bagi gadis itu, ayahnya tidak bisa mengurus pakaiannya dengan baik. Ia juga tak mau mengalami kejadian memalukan seperti itu lagi.
Hal itu terus berlanjut hingga Nana berusia 9 tahun. Ini adalah tahun keempat Nana duduk di bangku Sekolah Dasar. Seperti sebelumnya, ia tetap menyiapkan seragam sekolah sendiri. Bahkan, terkadang ia juga menyiapkan bekal yang akan ia bawa ke sekolah. Hal itu tak jarang membuat Takeru merasa sedih. Bukan karena anaknya yang lebih mandiri, tetapi karena ia merasa sudah menjadi ayah yang tidak berguna, untuk anaknya sekalipun.
Di ruang tengah, Takeru tengah melipat setumpuk baju yang dicucinya pagi tadi. Sementara di seberangnya, Nana sedang sibuk dengan buku di hadapannya, mengerjakan tugas sekolah.
"Ayah, ibu wanita yang seperti apa?" tanya Nana tiba-tiba.
Mendengar pertanyaan tanpa aba-aba dari putrinya membuat Takeru sedikit terkejut. Ia belum pernah menyiapkan jawaban apapun jika Nana bertanya tentang ibunya, padahal pertanyaan seperti itu pasti akan terjadi.
Takeru berhenti sejenak, kemudian menopang dagu seolah tengah berpikir. "Ibumu? Dia persis sepertimu, cantik dan mandiri." jawabnya jujur. "Kenapa kau bertanya seperti itu?" lanjut Takeru.
Gadis di seberangnya hanya mengangkat bahu ringan, tak menjawab pertanyaan Takeru dan langsung kembali menulis sesuatu di bukunya. Melihat hal itu membuat Takeru bertanya-tanya, adakah yang putrinya ingin tahu?
Setumpuk baju yang tersisa setengahnya ditinggalkan begitu saja. Takeru beralih dari sofa menuju meja belajar Nana. Melihat apa yang tengah putrinya kerjakan. Jika bosan, Takeru akan menyiapkan cemilan untuk teman belajar Nana, atau sekedar menemaninya mengerjakan tugas hingga selesai.
"Ayah, kau tak perlu menungguku seperti anak kecil," ucap Nana, sepertinya ia tak nyaman dengan keberadaan Takeru di sampingnya.
"Apakah ayah membuatmu merasa seperti anak kecil?" tanya Takeru dengan wajah bingung.
Nana menghela napas panjang, kemudian mengangguk. "Lebih baik ayah selesaikan pekerjaan ayah."
"Ayah bisa menyelesaikannya nanti," ujar Takeru masih tak ingin beranjak.
Mendengar itu membuat Nana sedikit gemas. Ia mendorong Takeru untuk pergi menjauh, tak akan membiarkan pria itu membaca apa yang tengah ia tulis. "Pergi ayah!" pintanya dengan tangan masih terus mendorong.
"Baiklah, ayah akan kembali melipat baju." Akhirnya Takeru beralih, meski matanya masih mengintip sebelum ia pergi. Sementara Nana dengan sigap menutup bukunya sebelum Takeru benar-benar pergi.
'Apa yang sedang ia tulis?' tanya Takeru dalam hati. Tak lama ia terperanjat, 'mungkinkah surat cinta?'
"Oh, Nana," ucap Takeru dengan nada terkejut. Gadis itu menoleh, kemudian dengan hati-hati Takeru melanjutkan, "apa yang sedang kau tulis itu sebuah surat?"
Nana tak menjawab, hanya melihat ayahnya sekilas kemudian kembali memintal kata demi kata dalam bukunya.
"Ayah boleh lihat?" Takeru mendekat.
"Tidak! Kenapa ayah sangat ingin tahu?" timpal Nana seraya menutup rapat buku di hadapannya.
Gadis itu beralih memandang Takeru. "Ah iya. Ayah," ucapnya. "Besok ayah tidak perlu menjemputku, aku akan pulang dengan teman," lanjutnya.
Mendengar itu membuat Takeru semakin bimbang, berbagai dugaan muncul di kepala. Teman mana yang Nana maksud?
Sesuai kesepakatan, semenjak hari itu, Takeru tak pernah lagi menjemput Nana saat pulang sekolah. Ia hanya mengantar saat pagi, dan pulang setelah toko tutup. Semua berjalan baik, hingga pada suatu sore, Takeru dikejutkan oleh sesuatu yang menimpa anaknya.
Sore itu Takeru pulang lebih awal, toko yang lumayan ramai membuatnya lelah dan ingin beristirahat cepat. Namun, saat melewati kamar mandi, ia melihat Nana tengah mencuci sesuatu. Sebuah kain dengan noda merah. Apakah itu darah?
"Bagaimana bisa ada darah di sana?" pekik Takeru membuat Nana sangat terkejut. Sementara mata pria itu masih menatap benda segitiga yang tengah dipegang putrinya.
"Siapa pria br*ngsek yang berani melakukannya?!"