Aku ada operasi. Aku akan menghubungimu nanti.
Ia hanya membaca pesan itu. Kemudian ia fokus lagi pada mobilnya. Ia menghela nafas. Hidupnya terasa hampa sejak dua tahun terakhir. Rasanya seperti ada yang hilang. Ada luka yang belum sembuh dan ada rasa dihati yang memilih untuk pergi. Dina mencengkeram kuat setirnya. Ia menatap jalanan. Ia masih berupaya fokus walau berkali-kali hampir melamun.
Apa kabar, Dit?
Jujur saja. Selama dua tahun ini, ia tak pernah tahu Adit ada di mana. Ia juga tak berniat mencari tahu walau hatinya sangat ingin bertanya. Ia mendengar Adit sudah pergi dari Solo. Ia hanya mendengar itu. Tapi ia tak pernah tahu Adit pergi ke mana. Dan ia tak ingin tahu. Jika itu satu-satunya cara yang bisa membuat hubungannya dengan Fasha baik kembali, ia tidak masalah. Fasha itu sepupunya. Saudara perempuannya. Ia lebih rela kehilangan Adit dari pada kehilangan Fasha. Ia sudah lebuh kenal dulu dengan Fasha dibanding Adit. Jadi jelas sudah pilihannya kan? Meski harus begini pahitnya menjalani hidup yang hatinya sudah terasa hampa.
Ia membelokan mobilnya memasuki gerbang komplek perumahan. Jalanan tampak sepi. Padahal ini masih jam tiga sore. Ia memang lebih memilih pulang lebih cepat agar dapat menyiapkan makan malam bersama Mamanya. Setidaknya sejak dua tahun ini, ia merasa kalau hidupnya banyak sekali yang berubah. Bukan tentang perasaan saja tapi juga kebiasaan. Ia yang biasanya bangun siang kini selalu bangun lebih pagi. Walau tahajud masih bolong-bolong, tak masalah. Namanya juga manusia, masih belajar. Kemudian ia akan membantu Mamanya untuk menyiapkan sarapan. Kecuali di hari Sabtu atau Minggu, di mana Ardan suka sekali merongrongnya untuk ikut jogging. Padahal ia malas sekali.
Keningnya mengerut begitu memarkirkan mobil di garasi. Mobilnya, mobil Mamanya, mobil Ardan dan mobil Papanya ada di rumah. Kalau mobil Ardan memang sudah jelas berada di rumah karena saudara kembar sablengnya itu berangkat ke Makassar untuk urusan pekerjaan. Kalau Papanya? Seingatnya hanya ke kantor di Jakarta tapi tumben-tumbenan sudah pulang. Ia bersegera turun. Kemudian berjalan menuju pintu, namun saat tangannya menyentuh gagang pintu, terkunci. Ia goyangkan berkali-kali tetap terkunci.
"Ma?" panggilnya. "Pa?"
Tapi tak ada yang menjawab. Baru hendak menggoyangkan lagi gagang pintu, siapa tahu ia salah, eeh matanya tak sengaja menangkap selembar kertas. Ia terbengong. Tak mengerti kenapa ada selembar tiket atas namanya dan lagi.....
Makassar. 18.00 WIB
Ia benar-benar bingung. Sampai akhirnya ia tak sengaja membalik kertas itu dan....
Cepat menyusul, Din. Omanya Vania koma.
Ia ternganga. Mamanya sudah berangkat duluan saat ditelepon Wira. Dina memang sudah dihubungi sejak tadi oleh Mamanya. Sejak Tiara pergi, lebih tepatnya. Tapi tak kunjung mengangkat telepon. Untuk berjaga-jaga, Aisha terpaksa mencetak tiket dan menaruhnya di sela-sela bawah pintu. Pasalnya, anak perempuannya itu suka ceroboh dalam menaruh barang. Bahkan ketika ia meraba sakunya juga tasnya, Dina tak menemukan ponselnya. Ia menepuk kening karena baru teringat dengan ponsel yang mungkin tertinggal di samping oven saat ia memanggang kue di toko rotinya tadi. Bahkan kuenya masih berada di dalam mobil, saking lupanya. Ia kembali ke dalam mobil lalu hendak menyalakan mesin mobil tapi baru sampai di pintu gerbang, tiba-tiba ia merasa bodoh.
Ia segera memutar balik dan memarkirkan mobil di garasi kemudian menguncinya dengan cara menarik tutupnya ke bawah. Setelah itu, akan terkunci secara otomatis. Kemudian ia bengong lagi. Mau naik apa ke bandara? pikirnya. Mau memesan taksi dengan apa? Tapi tak mungkin pula membawa mobil dan menitipkannya di bandara, itu akan lebih ribet menurutnya. Karena ia tak pernah menginapkan mobil di bandara. Akhirnya, satu-satunya pilihan adalah membuatnya berlari ke arah pintu gerbang komplek. Di sana ada satpam yang berjaga, ia bisa meminta tolong untuk dipesankan taksi.
Ia sibuk dengan pikirannya yang melayang-layang selama berlari. Seingatnya, Tiara tak ada gerakan apa-apa, makanya ia bingung. Ia sempat melihat sepintas ke arah rumah Om-nya, Fadlan. Gerbangnya bahkan terkunci. Berarti mereka sudah berangkat lebih dulu. Jadi Dina mempercepat larinya. Gadis iru benar-benar ngos-ngosan ketika tiba di pos satpam komplek dan terbata-bata menyebutkan kalau ia meminta bantuan untuk memesan taksi. Si satpam menelepon perusahaan taksi sementara Dina sibuk mengatur nafasnya yang terasa sesak.
"Tujuannya ke mana, Mba?"
"Bandara, Pak."
"Bandara mana?"
Ah. Dina merasa bodoh. Ia melihat lagi kertas tiketnya lantas mengatakan, "Soekarno-Hatta."
Si satpam mengangguk. Sembari menunggu taksi menjemput, ia diberikan minum dan dipersilahkan duduk. Kemudian ia mengucapkan terima kasih begitu taksi yang dipesan muncul. Sang satpam geleng-geleng kepala melihat keterburuannya. Ia sangat mengenal Dina apalagi saudara kembarnya yang gila itu. Begitu duduk dan menyandarkan tubuhnya di kursi taksi, Dina bisa menarik nafas dengan lebih lega dan leluasa. Rasanya tadi ia hampir tercekik, saking tersengalnya.
Dua puluh menit kemudian, ia termenung menatap jalanan yang mulai ramai menilik sebentar lagi jam pulang kantor. Ia memperbaiki badannya kemudian menopang dagu. Taksi yang membawanya baru saja memasuki jalanan Lenteng Agung. Hanya ini yang dirasakan olehnya selama dua tahun terakhir. Terasa hampa di mana pun keberadaannya. Kosong dalam setiap pikiran yang melayang di dalamnya. Hanya termenung dan seolah pasrah pada takdir malang ini. Jika memang bukan jodohnya, ia bisa apa? Dan lagi, ia harus kembali mengingat bahwa saudara lebih penting dibanding asmaranya sendiri. Ia tak ingin menyebutnya sebagai pengorbanan. Tapi memang hanya ini yang bisa ia lakukan agar Fasha ingin baik kembali dengannya. Ia juga tak mau dinilai sok baik karena ia merasa jauh dari itu. Tapi ini memang hanya satu-satunya cara. Meski harus menyakiti diri sendiri.
@@@
Ia tiba di bandara Hasanuddin tepat pukul sembilan malam. Hampir ketinggalan pesawat karena terlalu macet di perjalanan tadi. Biasa, menjelang jam pulang kantor memang lumayan agak ramai apalagi Jakarta. Di sepanjang perjalanan menuju tol yang paling macet. Ketika memasuki tol, ternyata harus mengantri pula kendaraannya. Dina agak was-was. Apalagi ia berangkat tadi sudah jam empat sore. Begitu tiba di Bandara Soekarno-Hatta, ia segera berlari dan memilih untuk check in di mesin agar tidak mengantri panjang. Kemudian terburu-buru berlari menuju ruang tunggu. Sialnya, ia mendapatkan lokasi ruang tunggu yang berada di ujung kanan Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta. Ia berlari di atas eskalator berjalan agar lebih cepat sampai meski membuatnya sangat berkeringat. Tiba di sana, pernumpang penerbangan yang sama dengannya sudah diminta masuk.
Kini ia hanya memegang selembar kertas yang ditinggalkan Mamanya tadi, yang berisi tulisan pesan sekaligus tiket pesawatnya. Begitu keluar dari pintu kedatangan, ia bingung harus ke mana. Pasalnya, Mamanya bahkan tidak menginformasikan alamat. Ia juga tak tahu di mana keberadaan Omanya Vania. Entah dirawat rumah sakit mana pun, ia tidak tahu. Ia benar-benar bingung. Baru juga akan melangkah, ia hendak menaiki taksi meski tak tahu tujuannya akan ke mana, seseorang menoyornya dari belakang.
"Lama amat sih lo, Kak!"
Itu Ferril. Dina sampai takjub melihatnya di sini. Sepupunya yang katanya sedang melanjutkan S2 di Inggris sana ternyata sudah di sini terlebih dulu. Eeh, saat Dina melihat ke belakang lelaki itu, ada koper yang dibawanya. Ia gak mimpi kan? Ferril benar-benar ada di sini kan? Matanya masih mengerjab-erjab, sekedar untuk memastikan kalau penglihatannya tak salah.
"Koper lo mana?"
Alih-alih menjawab, Dina malah girang lantas memeluknya dengan erat. Karena Dina bingung juga harus ke mana. Mamanya hanya menyuruh naik pesawat ke Makassar. Tiba di Makassar tak diberitahu tujuannya ya bingung lah. Dan malah bertemu dengan sepupu lelakinya ini, bagaimana mungkin ia tidak girang?
"Helaah," Ferril pasrah dipeluk begitu. Ia tahu kalau sepupunya itu girang bukan kangen. Karena ia pun sudah bete selama hampir dua jam menunggui Dina di sini. Disuruh Om-nya karena sepupunya ini tak membawa ponsel. Tadi Wira memang sempat menelepon namun yabg mengangkat malah Ayu dan gadis itu bilang kalau Dina meninggalkan ponselnya di toko roti. Sementara orangnya sudah pulang. Wira menggelengkan kepala begitu menutup teleponnya. Ia tak heran kalau istrinya tadi bersikukuh untuk mencetak tiket itu, ternyata sudah punya firasat kalau akan terjadi hal semacam ini. Anaknya kan pelupa akut. Kadang mencari barang padahal barang itu ada ditangan kirinya atau disaku bajunya.
Sementara Dina sudah melanjutkan perjalanan lagi dengan Ferril. Keduanya menaiki taksi dengan tujuan hotel di mana keluarga besar mereka menginap. Alih-alih menginap di rumah Omanya Vania, menginap di hotel tepat di samping rumah sakit memang lebih efisien untuk menjenguk Oma.
"Kebetulan kan gue emang mau pulang bentar. Eh tahu-tahu ada kejadian begini."
Dina mengangguk-angguk. Kaget juga dengan kehadiran Ferril di sini. "Farrel?"
"Tetap di sana. Disuruh Bunda tetap di sana aja. Lagi pula, orang jenius kan beda," tuturnya asal. Hal yang membuat Dina tertawa. Orang jenius, pikirnya. Ia geleng-geleng kepala.
Hampir satu jam, keduanya akhirnya tiba di depan hotel. Ferril keluar lebih dulu dari taksi untuk mengambil kopernya dari bagasi. Dina keluar lantas melihat sekeliling. Lama sekali ia tak datang ke Makassar. Salah satu daerah asal dari keluarga besarnya yang berdarah Bugis. Darah Omanya tentu saja. Sejak lama pun, Oma memang tinggal di Jakarta bukan di Makassar. Sementara adik Oma memang memilih untuk tinggal di sini. Karena katanya, biar bisa lebih dekat dengan keluarga meski kedua orangtua Oma sudah lama tiada. Bahkan masih tinggal di rumah kedua orangtua Oma juga salah direnovasi bangunannya dan diperluas. Dina sekali lagi menatap Makassar yang sudah gelap malam ini.
Haaah. Ia tak punya firasat apapun tentang apa yang mungkin akan terjadi di kota ini.
@@@