Terpisah : Bandung
Dua tahun kemudian.
Bandung.
Fasha masih di Bandung. Masih setia menikmati embun pagi yang jarang dirasakan di Jakarta. Masih setia bolak-balik Lembang demi mencuri liburan. Walau hampir setiap hari mendapat omelan dari ayahnya karena hampir tak pernah pulang lagi ke Jakarta. Akhirnya ibunya yang sering bolak - balik Jakarta-Bandung demi rasa rindu padanya. Seperti pagi ini, ketika Fasha membuka pintu apartemennya, muka ibunya muncul dengan mata sembap. Pasti berdebat dulu dengan ayahnya semalam demi bisa berangkat ke Bandung sebelum subuh. Karena Caca tahu kalau anaknya yang satu ini hanya akan terlihat di pagi dan malam hari di apartemen. Sisanya ia menghabiskan waktu lebih banyak di kantor atau di lapangan.
"Sarapan dulu ya, Sha. Ibuk bawa makanan! " tutur Caca. Sedangkan anak gadisnya itu malah meloyor ke kamar usai membuka pintu untuknya. "Tataaaaa masuuuk!" teriaknya saat sadar kalau bocah tujuh tahun yang merengek ikut ke Bandung dan bolos sekolah itu malah kedip-kedipin mata di depan bocah bule, tetangga apartemennya Fasha. Ini hasil ajaran sesatnya Rain yang membuat Caca sempat mengomel tiga bulan lalu. Rain sih cuma cekikikan walau berakhir dengan omelan dan jeweran ayahnya karena sudah sesat dalam mengajari Tata. Genit-genit manja ala Rain benar-benar diterapkan oleh Tata yang masih polos.
Tata segera berlari lantas cekikikan dan masuk ke dalam apartemen. Ia memang paling tahu sikon kapan si bocah ganteng nan bule, tetangga depan kakaknya itu bakal keluar apartemen. Tentu saja disaat jam segini di mana sekolah sebentar lagi akan membunyikan belnya. Omong-omong bocah bule itu masih sekolah di PAUD. Baru empat tahun. Hihihi.
Caca geleng-geleng kepala. Ia berjalan menuju dapur lantas membongkar semua bawaannya. Ia membuka semua makanan kemudian memanaskannya sebentar. Tak lama, ia sudah menaruh semuanya di atas meja makan. Terakhir, ia membuka kulkas Fasha kemudian mengambil s**u dari sana. Ia menuangkannya di gelas kemudian berjalan menuju pintu kamar Fasha.
"Sarapan dulu!" panggilnya untuk ke sekian kali sambil mengetuk pintu kamar Fasha.
Gadis itu menjawab sambil keramas, "iya, buuuk!"
Caca menghela nafas. Ia kembali ke meja makan lantas menjumpai anak bungsunya yang sudah duduk di sana.
"Ganteeeng loh, buuuk," kali ini pujian untuk sekian kalinya pada bocah bule yang sama. Caca cuma geleng-geleng kepala. Berkat ajaran sesatnya Rain, Tata yang awalnya kagak bawel-bawel amat sekarang baweeeeeeel banget. Kagak ketulungan. Mana suka berantem pula sama Adel, sepupunya. Maklum, sesama mulut bawel yang susah akur. Mengingat itu hanya membuat Caca mengelus d**a.
"Hari ini doang loh liburnya. Nanti sore dijemput ayah. Besok Tata harus sekolah," tutur Caca.
Diomelin begitu, ia hanya memonyongkan bibir. Syukurnya gak kayak Rain yang kalau diomelin malah balas menyolot. Baru akan berhenti kalau ayahnya menjewer telinganya lantas gadis itu akan terkikik-kikik masuk ke kamar.
Usai siap-siap, Fasha keluar dan mendapati Tata dan ibunya sudah menunggu di meja makan. Ia ikut duduk dan makan pagi ini. Ia sedang malas mendengar omelan ayahnya kalau membuat ibunya ini sedih. Karena sejujurnya ia pilu juga. Bukannya ingin egois, ia hanya belum siap menata hati. Apalagi ia merasa jika kehidupannya agak berantakan walau orang-orang di luar sana mungkin melihatnya hidup seperti manusia normal lainnya.
"Nanti pulang jam berapa?" tanya ibunya. Setelah hampir sepuluh menit mereka dian, akhirnya ia akan bicara. Sejujurnya Caca hanya mengamati perilaku anak sulungnya yang terlihat semakin dingin dan kadang mengirimkan keseganan pada orang-orang di sekitarnya. Ia tahu kalau Fasha masih terluka. Itu sangat terlihat dimatanya. Rasanya wajar sekali menilik Fasha memang kurang bisa beradaptasi pada sesuatu hal. Caca memaklumi. Hanya saja saat ini, Caca pikir anaknya sudah dewasa dan pastinya bisa menghadapi masalah-masalah hidup.
"Nanti Asha ada beberapa meeting, Buk. Belum lagi harus ke lapangan," tuturnya seraya menghabiskan makanannya dengan cepat.
"Jangan lupa nanti makan siang," ingat Caca. Hanya hal-hal semacam itu yabg bisa ia lakukan untuk putri sulung tersayang ini.
Fasha berdeham dengan anggukan pelan. Kadang ia merasa bersalah dengan keputusannya ini. Keputusan apa? Keputusan yang seolah menjauh dari keluarga. Ia tak bermaksud begitu sebetulnya. Ia hanya...
"Asha berangkat," pamitnya sambil mengacak rambut Tata dan membuat gadis kecil itu bete karena semalam rambutnya sudah diluruskan dengan alat bernama catok milik Rain. Bela-belain kagak keramas biar lurusnya kagak hilang. Maklum lah, rambutnya emang paling beda. Rada kriwil gimana gitu. Tapi ia tak berdaya melawan Fasha. Kalau Rain yang melakukan itu, niscaya ia sudah berteriak kesetanan sejak tadi.
Tiba di lobi, mata Fasha menyipit ketika mendapatkan lelaki berkemeja rapi telah menunggunya. Ah, kenal kan. Ini pacar kelimanya setelah pertama kali berpacaran dengan Pandu. Tak perlu tahu namanya karena terkadang Fasha saja lupa namanya. Ya, memang tak cinta. Namun bukan pelarian yang harus diakui. Fasha hanya butuh teman tetapi lelaki ini tak ingin status hanya sekedar berteman jika dengannya. Jadi lah hubungan yabg entah Fasha bisa menyebutnya sebagai sebuah hubungan atau tidak.
Ia hanya terdiam dan segera menepis tangan cowok itu kalau mulai mengayunkan tangan hendak merangkul pinggangnya. Sorry, ia memang risih dengan kelakuan lelaki seperti itu. Makanya, tiga mantannya selain Pandu memutuskannya karena hal seperti ini. Ia tak suka disentuh bahkan seujung kuku pun. Itu benar-benar membuatnya tak segan memukul kalau para lelaki itu berani memegangnya.
Fasha berubah? Banyak. Nyatanya, terluka memang memendam kecewa. Tapi jangan lupa, darah playboy atau playgirl itu bukan semata-mata tak menurun dari ayahnya. Like father like daughter. Ia memang tipe setia hatinya walau yah, you see, ayahnya juga sama. Saat ini, ia hanya belum menemukan lelaki yang tepat untuk menggantikan Adit. Yeah, Adit. Karena kembali sudah tak mungkin. Lelaki itu di mana pun, kini Fasha tak tahu. Tak mau tahu lagi.
@@@
"Jadi bagaimana Ibu Fasha?" tanyanya dengan bahasa Indonesia yang terdengar sangat kaku apalagi logat bulenya masih sangat kental. Fasha berdeham. Ia menjelaskan banyak hal tentang desain yang muncul dikepalanya. Si bule itu mengangguk-angguk sesekali ia bertanya jika ada hal-hal yang tak ia ketahui dari tutur kata Fasha yang agak cepat. Gadis itu baru teringat kalau ia harus mengejar meeting sebelum makan siang. Usai memperjelas lagi secara detil, ia bersegera pamit. Kemudian berjalan menuju mobil. Ia baru saja menyambangi sebuah gedung kosong yang sudah dijadikan apartemen tapi interiornya masih kosong. Fasha sudah beberapa kali mendesainnya tapi ternyata sering ada masalah dengan kerangka bangunan. Setelah diobservasi berkali-kali ternyata tender yang membangun bangunan dan memasang kerangkanya bermain curang. Bahan-bahan yang digunakan tidak sesuai dengan apa yang tertera di dalam perjanjian. Sehingga pihak investor banyak merasa dirugikan oleh pengelolaan semacam ini. Namun urusan ini tentu saja sudah selesai.
"Masih ke buru, Ag?"
Agni melihat ponselnya. Ia baru saja masuk dan duduk di samping bos cantiknya ini.
"Masih, Bos."
Fasha langsung menekan pedal gas dengan kuat. Agji sudah komat-kamit berdoa. Tiap dalam posisi terburu-buru seperti ini, nyawanya selalu menjadi taruhan. Padahal tanpa ada adegan pengebutan ini pun, nyawanya sudah sangat terancam. Ia jadi sering jantungan tiap berhadapan dengan Fasha yang mood-nya gampang berubah dan wajahnya yang begitu dingin. Wajah itu jelas yang paking membuatnya takut tapi ia tak punya pilihan selain bertahan. Selain karena ia digaji sangat tinggi, ia bisa merasa kalau bosnya ini tampak nyaman dengannya. Kalau tidak, mana mungkin ia bisa bekerja selama ini? Mungkin hampir tiga tahun.
Mobil baru saja berdecit memasuki halaman gedung berlantai dua. Fasha menginjak rem dengan kuat begitu berhasil memarkirkan mobilnya. Tubuhnya sampai terdorong ke depan, begitu pula dengan Agni. Gadis itu tampak bernafas lega karena sudah bebas dari dua puluh menit yang sangat mencekam dan nyaris dijemput malaikat maut. Ia tak mau mati lajang seperti ini.
Ia terbirit-b***t menyusul langkah Fasha yang begitu cepat. Kemudian tertatih-tatih berjalan di belakangnya sembari memperbaiki bajunya yang tidak rapi. Ia nyaris menabrak punggung Fasha andai tak melihat ke depan. Ia tak tau kalau Fasha akan berhenti melangkah karena pintu lift baru saja tertutup. Aejujurny, gedung ini hanya dua lantai. Tapi entah kenapa dipasnag lift. Menurut Agni, itu sangat boros dan membuang-buang waktu. Apalagi menaiki tangga dengan kaki tak ada salahnya. Tapi mungkin bosnya ini berpikir hal yang lain.
Suara heels Fasha menyapa ruangan yang tadinya cukup ramai. Kini mendadak hening bahkan mata-mata itu dengan kompak menatap ke arah Fasha yang baru saja masuk dengan memukau. Walau ia tampak terburu-buru dengan langkahnya namun ternyata, pesonanya tak pernah habis.
"Ada perkembangan baru soal proyek di Lembang?"
Itu pertanyaan pertama yang ia lontarkan pada salah satu manajernya. Lelaki berusia 35 tahun itu angkat bicara dan langsung menjawab dengan antusias. Ia sudah lama tertarik dengan bosnya ini. Tapi jangan kan ia, lelaki mana pun yang ada di kantor ini tentu tak berani mendekati bos mereka yang terlihat sangat dingin ini. Bukan karena aura cold-nya melainkan nama belakang yang disanding oleh seorang Fasha. Fasha Adhiyaksa. Belum lagi, statusnya sebagai pemilik dari gedung ini sekaligus direktur utama dari anak perusahaan yang berafiliasi dengan Adhiyaksa Corporation ini. Lelaki mana yang berani mendekati jika bukan lelaki yang setidaknya bisa menjajari sosok Fasha yang saat ini namanya tentu banyak dikenal oleh publik sebagai arsitek muda yang sukses dan juga kaya raya.
"Untuk saat ini, perkembangannya hanya sampai disitu, Bu," begitu tutupnya.
Fasha mengangguk. Ia menatap semua bawahannya yang tiba-tiba merasa mencekam. Ketika Fasha menatap mereka seperti ini, rasanya seperti akan dicabut nyawanya dalam beberapa detik. Sementara Agni mengeluh dalam hati. Setelah ini, bisa dipastikan kalau ia akan habis diinterogasi karyawan yang hadir di dalam meeting ini.
@@@