"Roman-romannya, pacar baru?"
Bisik-bisik tetangga pun terdengar. Biasa, mereka masih membicarakan bosnya yang katanya tadi pagi diantar seorang lelaki ke depan lobi kantor. Tapi, bos mereka dengan mobilnya, cowok itu juga dengan mobilnya. Totalnya jadi dua mobil. Kan ganjil rasanya kalau pacaran tapi mobilnya terpisah begitu?
Sementara bos mereka, Fasha, masih sibuk memimpin rapat. Ia punya banyak agenda hari ini tentunya.
"Ah masa sih? Bukan yang kemaren ya? Gue lihat stelannya sama aja!" seru yang lain. Mereka sedang heboh di salah satu meja kerja. Teman-teman yang lain mulai ikut nimbrung. Mulai tertarik dengan pembicaraan tentang asmara bos mereka yang cantik abis itu. Bukan apa-apa sih, pasalnya tampang serius juga misteriusnya bos mereka memang mengundang penasaran.
"Kalo stelannya sama berarti kagak ganti baju dong dari kemareeen!" seru si botak. Mereka kompak terkekeh. Tentu maksudnya bukan begitu. Melainkan stelan kerja dengan jas juga gaya rambutnya. Satu dari mereka kan pernah melihat lebih dekat jadi agak hapal mukanya walau ragu juga. Menilik....
"Tapi kayaknya beda lagi sama yang bulan lalu deh. Yang bulan lalu gue dengar-dengar, anaknya salah satu sembilan naga!"
"Sembilan naga?"
"Serem dong!"
Mereka terkikik-kikik sementara gadis yang berbicara tadi mendengus. Maksudnya tentu saja bukan itu. "Taipaaaan! Masa gitu aja kagak ngerti!" sahutnya tapi teman-temannya masih terkikik-kikik. Merasa lucu saja meski tak lucu-lucu amat.
"Kalo yang taipan sih udah putus kali ya! Baru aja--eeh eh nih bener kan! Gue gak salah lihat. Emang ini cowoknya udah punya cewek lagi!" serunya dan berheboh ria dengan postingan seorang lelaki taipan di i********:. Mereka kompak mengerumuni ponselnya demi melihat foto itu. "Tapi foto si bos gak pernah di-upload selama jadian!"
"Kadang anak-anak konglomerat suka begitu. Gak suka privasinya diumbar. Kayak gue," tuturnya lantas mendapat toyoran ramai-ramai dari para temannya. Ia terbahak.
"Lo sih bukan konglomerat tapi melarat!"
Suasana ruangan makin riuh. Lantas mereka kembali berbisik dan bergosip.
"Tapi beneran deh. Itu pacar si bos yang ke berapa sih? Saking cepet banget gantinya, gue sam--" ucapan itu terhenti melihat teman-temannya yang tadi berkerumun kini kompak kabur. Ia langsung menutup mulutnya dan merasakan sesuatu yang dingin. Benar saja! Ketika ia berbalik, ia bagai melihat kunti-eeeh bukan deng! Tapiii inj beneran lebih serem dari si anu itu!
"Saya gaji kalian di sini bukan untuk gosip tapi untuk kerja," tutur Fasha dengan wajah datar juga seriusnya. Ia menatap satu per satu karyawannya yang kini duduk canggung dibangku masing-masing. Ia baru saja menyelesaikan meeting. Meski sebenarnya, meeting itu belum benar-benar selesai. Tapi berhubung ada sesuatu yang lebih genting, ia terpaksa mempercepat pembahasannya. Usai menatap semua karyawannya, ia berjalan dengan anggun menuju lift. Suara heels-nya menggema ditengah keheningan yang tiba-tiba melanda gedung di lantai dua itu. Begitu Fasha menghilang dibalik lift, semua karyawannya tadi yang sempat membeku kompak menghela nafas lega. Hal yang membuat tawa seketika. Rasanya bagai berada di kutub utara ketika ada bos mereka tadi. Saking dinginnya.
"Sha?"
Fasha berdeham. "Asha udah di mobil, Buk. Sebentar lagi sampai di apartemen."
Begitu tuturnya lalu menutup telepon dari Ibunya. Ia segera menyalakan mobil dan meninggalkan area parkiran mobil yang lengang seketika. Beberapa karyawannya kompak mengintip dari bakik jendela lantas berheboh ria melihat mobilnya keluar dari area kantor. Gosip pun berlanjut ketika mreka tahu kalau Fasha mendadak ada urusan lain yang lebih penting. Bahkan lebih penting dari rapat yang tadi. Hal yang membuat mereka agak lega seketika. Kali ini mereka benar-benar bebas untuk membicarakan kisah asmara bos mereka yang menurut mereka begitu misterius.
Fasha hanya menghela nafas. Meski ia tak benar-benar tahu apa yang mereka bicara kan tapi, ia bisa menebaknya. Pasti tak jauh-jauh dari kisah cintanya kan?
Oke, kalau boleh jujur, ia memang agak playgirl selama setahun ini. Alasannya? Karena cowok-cowok itu ingin lebih dari sekedar teman. Itu hanya satu dari sekian alasan. Alasan lainnya? Ia ingin memberikan pelajaran kalau ia bukan cewek seperti mantan-mantan mereka yang bisa mereka sentuh sembarangan. Makanya, tangannya otomatis akan menggerakkan salah satu jurus bela diri kalau mereka sedikit saja menyentuh tubuhnya. Tak heran, kalau mereka memang tak pernah bertahan lebih dari sebulan untuk berpacaran dengannya. Anggap saja, ini juga menjadi satu cara untuk mengingatkan mereka kalau....ia berbeda dari cewek-cewek lainnya. Selain itu....anggap saja itu pelampiasan patah hatinya karena lelaki.
@@@
Ia tiba di apartemen san Ibunya mengeluh kalau tak bisa membuka kamarnya karena terkunci. Ia memang sengaja menguncinya tadi karena tahu kalau Ibunya pasti akan kepo. Kini ia mulai bergerak cepat menyibak isi lemari. Sementara Ibunya masih membersihkan apartemennya agar tak ditinggal dalam keadaan kotor. Disaat sedang repot seperti ini, Ayahnya malah menelepon. Bawel sekali, pikirnya. Padahal ia sudah cukup jengkel karena terus diganggu.
"Iya, Ayah. Ini Asha, ibuk sama Tata udah di jalan ke bandara, Yah," tutur Fasha. Padahal ia masih di kamar, sibuk merapikan barang-barangnya. Sementara ayahnya bawel sekali, menyuruhnya segera menyusul sekarang. Ayahnya sudah di Bandara Halim. Katanya akan langsung berangkat dengan keluarga besar di Jakarta. Mereka akan menumpang pesawat jet keluarga Regan agar lebih dekat sampai. Untung saja, perizinannya bisa dilakukan dengan cepat sehingga bisa dilakukan penerbangan. Mereka sudah akan berangkat sementara Fasha di sini tentu saja belum ke mana-mana. Ia masih terperangkap di kamarnya.
"Shaaaa!"
Kali ini Ibunya yang mulai bawel, ikut memanggil. Ia mengeluh dalam hati. Pasalnya, ia sama sekali tak bisa mengurangi barang bawaannya meski hanya dua hari atau tiga hari. Ia tidak berniat berlama-lama di sana karena sedang malas saja.
"Shaaaa!"
Fasha menghela nafas. Ia menutup kopernya dengan cepat lalu menyeretnya dengan cepat pula menuju pintu apartemen. Tak lama, ketiganya sudah berada di taksi yang ia pesan dilobi untuk mengantar mereka ke Bandar Udara Internasional Husein Sastranegara. Keluarga besar mereka sedang dilanda duka saat ini. Satu-satunya adik Oma sedang koma di Makassar sana. Adik Oma itu ya ibunya Regan. Kini pun Regan bersama keluarganya sedang di perjalanan. Mereka berangkat dengan pesawat yang sama dengan Fadli. Kebetulan sedang tinggal sebentar di Jakarta. Agak kaget pula saat mendengar kabar berita itu. Pasalnya, pagi-pagi tadi masih baik-baik saja.
"Iya, Ayah!" tuturnya sekali lagi kemudian menghela nafas saat ayahnya menutup telepon. Padahal ia bisa mendengar suara pesawat tapi Ayahnya masih sempat-sempatnya meneleponnya. Ia menggelengkan kepala. Ia menyandarkan tubuhnya lantas bernafas panjang. Ia menoleh ke arah jendela dan menatap ke arah jalanan. Ia sama sekali tak berniat dengan perjalanan ini tapi keadaan memaksanya. Bukan apa-apa sih. Tapi Makassar adalah kot ayang paling ia hindari saat ini. Kenapa?
Karena siapa lagi ia begini? Tentu saja karena Adit! Ia memang tidak mencari keberadaan Adit, tapi entah kenapa, kabar beritanya selalu masuk ke telinganya. Ia tak dapat menghindar walau disisi lain....
Beb, aku dengar kamu akan berangkat ke Makassar? Ketemu di sana ya, Beby
Ia mendesah dalam hati lantas menyimpan ponselnya. Mata Ibunya agak menyipit demi melihat apa yang tertulis di layar ponselnya tapi tentu saja tak akan terlihat. Pasalnya, ia sudah menyimpan ponselnya itu disakunya lebih dulu. Ibunya kan hanya ingin tahu, dengan lelaki mana lagi ia berhubungan. Walau memang sebetulnya, ia tahu juga. Hanya saja.....Ibunya ingin mengenal lebih dalam jika Fasha berniat memperkenalkannya. Tapi sepertinya, hanya main-main saja. Dan mengingat ini, membuatnya ingin sekali mencekik suaminya. Dari sekian banyak gen Ayahnya, kenapa harus ada gen player juga yabg diturunkan?
Tak lama, mereka tiba di bandara. Fasha mengeluarkan koper miliknya juga milik ibunya dan tas Tata yang bisa didorong. Adik kecilnya itu malah p***s di taksi sehingga kini Ibunya terpaksa menggendong. Berat Tata yang semakin bertambah tentu saja agak membuat Caca lelah. Perempuan itu membiarkan Fasha untuk check in sendirian sementara ia mencari bangku untuk duduk sambil memangku Tata yang pulas. Bocah ini memang kurang tidur. Di sepanjang perjalanan ke Bandung tadi pun, tak bisa tidur. Katanya, ia kangen Fasha jadi tak mau tertidur saat tiba di apartemen kakak sulungnya itu. Tapi begitu tiba di apartemen, ia lupa tujuannya untuk bertemu Fasha dan malah menggoda cowok lain. Kalau ingat itu, membuat Caca tersenyum kecil. Meski sering di-bully Rain karena wajahnya adalah wajah campuran antara Fadli dan Caca dan Rain menyebutnya sebagai anak angkat, ia cukup salut dengan kepribadian Tata yang kadang agak hangat jika urusannya dengan Fasha. Maklum lah, meski ia segan tapi sebetulnya ia sayang sekali pada Fasha. Kalau sama Rain sih tentu sayang walau lebih banyak bertengkarnya dibanding akurnya.
Usai check in, Fasha hendak mengambil alih Tata tapi Ibunya itu menolak dan memintanya membawakan tasnya saja. Fasha patuh saja. Ibunya memang begitu. Tiba di ruang tunggu, Tata direbahkan di kursi sementara Fasha kembali membuka Ipad-nya untuk memantau pekerjaan. Sepuluh menit kemudian, pesawat yang akan mereka tumpangi telah siap untuk dimasuki. Fasha menyimpan ponselnya. Ibunya membangunkan Tata. Tak lama, ketiganya sudah duduk di dalam pesawat. Fasha hanya menatap ke arah jendela dengan tatapan kosong.
Adit.
Ia sama sekali tak ingin bertemu lelaki itu tapi mungkin akan mustahil menilik lelaki itu masih bekerja di kantor Om-nya, Regan. Walau ia juga heran, kenapa masih bertahan? Aaaah ia lupa. Ia mendengus ketika ingat nama lain yabg terlintas dikepalanya. Nama yang juga ia hindari selama dua tahun ini. Bukan apa-apa. Ia masih sakit hati tentang persoalan asmara yang rumit ini.
@@@