SELAMAT MEMBACA
***
Dei keluar kamar untuk sarapan. Di meja makan dia melihat Toni dan Sintia sudah duduk untuk sarapan.
“Sini Vei kita sarapan bersama,” Toni memanggil Dei yang masih juga berdiri di pintu masuk ke ruang makan. Tanpa menjawab apapun, Dei melangkahkan kakinya dengan pelan menuju meja makan. Meskipun dia sangat malas melihat Sintia, namun Dei sudah memutuskan dia tidak akan mengalah dan membiarkan Sintia menang dan menguasai semuanya.
“Mau Mama ambilkan sarapan Vei?” Sintia bertanya dengan ramah kepada Dei. Namun Dei tau, keramahan perempuan itu hanya karena ada daddynya di sana. Lihat saja nanti jika Daddynya tidak ada makan Dei yakin perempuan itu akan berubah menjadi wanita iblis yang begitu menjijikkan dan bermuka dua. Dei benar-benar muak, nampaknya harinya akan buruk hari ini karena pagi-pagi dia sudah menyaksikan sandiwara dari ibu tirinya itu.
“Tidak perlu, aku tidak sudi di layani oleh wanita ular sepertimu” tanpa menoleh Dei mengambil makanannya sendiri. Sedangkan Sintia yang sudah ingin mengambilkan makanan, tangannya menggantung dan mengepal nahan emosi. Sintia melirik kearah Toni, namun suaminya itu bertingkah seolah-olah tidak mendengar apapun.
“Kita belum sempat bicara kemarin, karena Daddy pulang larut. Hari ini Daddy akan pulang cepat, kita akan bicara setelah Daddy pulang nanti.” Toni membuka obrolan dengan putrinya itu. Sejujurnya Toni merasa sedih melihat putrinya sendiri nampak seperti orang asing yang begitu menjaga jarak dengannya. Jika boleh berharap, Toni berharap dia akan bisa memulai suatu hubungan yang harmonis lagi dengan putri kandungnya itu. Dia akan mencoba melupakan semuannya dan mulai menebus kesalahannya selama ini kepada putrinya. Namun, tanpa Toni ketahui jika semuanya tidak semudah itu, terlalu dalam luka yang tertoreh didalam hati Dei hingga membuat rasa sakit yang Dei rasakan berubah menjadi benci yang begitu dalam.
Dei hanya mengangguk dan melanjutkan makannya, dia tidak menyahut sepatah katapun kepada daddynya. Sedangkan Toni yang mendapatkan respon begitu acuh dari Dei hanya bisa menghembuskan nafasnya dengan kasar.
Sedangkan Sintia yang sejak tadi diam, memandangan begitu benci kepada Dei. Sintia merasa bahwa putri suaminya itu akan menjadi penghalang jalannya. Apalagi sekarang putrinya sendiri telah tiada, maka posisinya sedang tidak dalam keadaan yang baik. Dia harus mencari cara untuk kembali mengokohkan posisinya agar tidak ada yang berani mengusiknya dan dia harus membuat anak dari suaminya itu kembali terasingkan. Kalau perlu enyah dari muka bumi selamanya agar tidak menjadi batu sandungannya dalam menjalankan rencananya untuk menguasai seluruh harta suaminya.
Toni sudah berangkat kekantor karena banyak pekerjaan yang harus dia urus, sedangkan Dei dan Sintia masih bertahan di meja makan. Setelah sarapan Dei ingin kembali kekamarnya namun tangannya di tahan oleh Sintia.
“Singkirkan tangan busukmu dariku!!” ucap Dei dengan tajam dan penuh penekanan. Dei menghempaskan tangan Sintia dengan kasar hingga tangan itu membentur ujung meja dengan keras dan menyenggol gelas yang ada di tepi meja hingga gelas itu jatuh dan menimbulkan suara pecah yang begitu keras. Menerima perlakuan kasar dari Dei, Sintia semakin berang dibuatnya.
“Dasar anak tidak tau diri, jangan bertingkah seperti tuan putri di sini. Kamu itu hanya anak yang di buang lalu di pungut kembali,” ucap Sintia dengn sarkasnya, dia mengacungkan jari telonjukkan kepada Dei.Sedangkan Dei masih tetap santai menerima kemarahan dari Sintia.
“Jangan bertingkah melewati batasmu. Jika aku adalah anak yang di buang dan di pungut kembali, maka kamu adalah gundik murahan yang mengemis agar di pungut oleh daddyku. Jadi apa bedanya kita, kita sama-sama di pungut, tapi aku tidak pernah mengemis seperti dirimu.”
Setelah mengatakan itu, Dei berlalu meninggalkan Sintia yang menahan amarahnya di meja makan. Ingin rasanya Sintia membunuh anak tirinya yang kurang ajar itu sekarang juga.
“Dasar anak sialan, sebaikanya kamu mampus bersama ibumu itu.”
****
Dei duduk termenung di sebuah taman yang tidak jauh dari runahnya. Dia benar-benar merasa suntuk dirumah itu. Setelah perang sengit antara dirinya dan ibu tirinya tadi membuat kepala Dei rasanya ingin meledak karena keinginan menghancurkan perempuan itu yang belum juga tercapai. Dei benar- benar muak, dia tidak sabar ingin mendengar apa yang akan di sampaikan daddynya nanti sepulang kerja. Apapun yang akan daddynya nanti katakan, jawaban Dei tetap akan pada sebuah penolakan. Sebenarnya Dei masih belum tau apa tujuannya di bawa kemari oleh Daddynya. Apa daddynya itu akan melanjutkan rencana perjodohan saudara tirinya yang akan di gantikan olehnya atau tidak.
"Mau jalan-jalan sama saya?" terlalu asik melamun Dei sampai tidak sadar jika seseorang duduk di sebelahnya dan berhasil membuatnya terkejut. Apalagi orang itu adalah orang yang sangat dia hindari dan darimana pula dia tau keberadaanya disini.
"Apa yang Pak Al lakukan disini?" Dei dapat menyembunyikan rasa terkejutnya namun dia tidak menyembunyikan rasa ketidaksukaannya atas kehadiran Al.
"Apa yang saya lakukan, adalah apa yang kamu lakukan Dei," jawab Al dengan santainya.
Dei mengamati penampilan laki-laki yang ada disebelahnya itu. Kali ini penampilan sangat berbeda dari biasanya mereka bertemu. Jika biasanya mereka bertemu dengan Al yang berpakaian santai, namun pagi ini Dei melihat laki-laki itu dengan stelan jas formalnya yang membuatnya semakin tampak mempesona seperti halnya eksekutif muda pada umumnya.
"Darimana Bapak tau kalau saya disini?" Dei masih bertanya dengan nada sinisnya kepada Al. Entah bagaimana, Dei sangat yakin jika laki-laki di sampingnya ini adalah penyebab dirinya ada disini sekarang dan kenyataan itu selalu membuat Dei merasa kesal terhadap Al. Entah apa yang laki-laki itu inginkan dan entah apa yang dia rencanakan sehingga dia mau melibatkan dirinya kedalam perang yang Dei lakukan.
"Saya heran Dei, awal- awal kita ketemu kamu baik baik saja dan ramah sama saya. Kenapa sekarang jutek, saya ada salah apa sama kamu?" Al bertanya dengan tenang kepada Dei, namun justru membuat Dei semakin menaruh kesal kepada Al karena sikap tanpa dosa dan pura-pura tidak taunya itu.
"Kalau Bapak mau tau, kesalahan Bapak itu adalah kemunculan Bapak di dalam hidup saya." jawab Dei dengan ketus.
"Jangan ketus begitu Dei, dosa kamu saya ini calon suami kamu. Mulai sekarang jangan kesal kalau ketemu saya, karena nantinya setiap hari kamu akan melihat saya."
"Sinting..." Dei berdiri dan ingin pergi, namun Al lebih dulu menahan tangannya.
"Saya memang sinting, anggap saja begitu. Tapi pria sinting ini memiliki kesungguhan untuk mencintai Dei." Al tidak terpengaruh akan sikap Dei yang tidak bersahabat. Dia justru senang, merasa tertantang untuk menakhlukkan hati gadis itu.
"Mau berapa kali saya katakan sama Bapak, kalau saya tidak mau berhubungan dengan Bapak. Saya tidak mau Bapak mencampuri hidup saya, saya tidak percaya dengan cinta yang bapak agung-agungkan itu. Jadi simpan saja harapan senua Bapak itu, atau cari perempuan lain." Dei sedikit berteriak, untung saja suasana dia taman itu sedang sepi, karena memang mayoritas orang melakukan kegiatan rutin mereka di pagi hari seperti ke sekolah dan pergi bekerja jadi jarang ada orang yang pergi ke taman di hari kerja pada pagi hari.
Tanpa menoleh sedikitpun, Dei langsung pergi meninggalkan Al yang masih termenung sendiri di kursi taman. Dia mengamati sisi sebalahnya, tempat Dei tadi duduk.
“Suka atau tidak suka, kamu tetap akan ada di sisiku Dei.” Al berguman dengan pelan. Meski dia mendapatkan penolakan yang keras dari Dei namun Al tidak peduli. Apapun itu yang dia inginkan pasti akan dia dapatkan. Anggap saja dia egois, namun apa salahnya egois untuk mendapatkan cinta, meski Al tau jika jalannya tidak akan mudah namun Al berharap dia akan mendapatkan keinginannya itu. Jangan lupakan bahwa dia punya seorang Papi yang bisa melakukan apapun untuknya, tidak ada salahnya jika nanti jalan buntu di hadapannya maka Al akan pergi kepada Papinya dan meminta bantuannya seperti yang selalu dia lakukan dulu semasa kecil.
***BERSAMBUNG***
WNG, 19 DES 2020
SALAM
E_PRASETYO