SELAMAT MEMBACA
***
"Selamat malam Mami dan Papi Al ..."
Al baru saja tiba di rumah saat makan malam tiba. Al menyapa Rey dan Rara yang tengah bersiap untuk makan malam.
"Sudah pulang Bang? Dari mana kamu seharian Bang?" Rara mengambilkan piring dan makanan untuk putranya itu.
"Dari berburu Mi. Terimakasih." Al menerima makanan dari maminya.
"Dapat Bang?" kali ini giliran Rey yang bertanya.
"Sulit Pi," jawab Al.
"Jerat dan taktikmu yang kurang jitu Bang." Rey menyepelekan ucapan putranya.
"Yang ini beda Pi, ini betina terluka harus pelan -pelan dan penuh kasih sayang. Ini bukan macan Pi, ini singa yang menjelma menjadi kucing." Al menjawab ucapan papinya dengan jawaban yang menurut Rara aneh dan membingungkan namun Rey faham maksud dari ucapan putranya itu.
"Di paksa Bang, Papi dulu juga maksa. Malah ratunya singa yang Papi paksa, sekarang sudah jadi kucing jinak dia." Rey melirik sekilas kearah Rara. Rara yang tidak mengerti dengan pembicaranaan anak dan istrinya hanya bisa diam sambil menikmati makanannya. Yang dia tau pasti dia yang menjadi pembicaraan antara anak dan suaminya itu.
"Semoga kucingnya tidak berubah menjadi singa lagi ya Pi hahahha..." Al tertawa mendengar papinya mengibaratkan maminya adalah ratu singa. Beruntung maminya tidak faham dengan apa yang mereka bicarakan, jika maminya faham bisa habis dia dan papinya.
"Apa yang sebanarnya kalian bicarakan. Siapa yang berburu, sejak kapan kamu suka berburu Bang. Kakak juga kapan berburu, mana ada singa yang jadi kucing, apa tidak bisa kalian berbicara dengan jelas, agar Mami faham.” Rara benar-benar kesal mendengar obrolan anak dan suaminya yang sama sekali tidak dia fahami. Dia selalu saja seperti orang bodoh yang berada di antara dua laki-laki yang menyebalkan itu.
“Kakak tidak berburu Sayang. Kan sudah punya, Al yang berburu…” Rey berkata dengan pelan menjawab istrinya. Namun nampaknya jawaban Rei tidak membuat Rara merasa puas.
“Berburu apa?” tanya Rara lagi.
“Gadis cantik,” jawab Rey dengan santai sambil melirik Al yang sejak tadi diam.
“Kamu punya pacar Bang? Mana sini kenalkan sama Mami.” Rara menatap Al yang sejak tadi pura-pura sibuk dengan makanannya.
“Belum Mi, nanti nanti kalau sudah jadi pacar Abang. Pasti Abang kenalkan sama Mami.”
“Iya cepat ya Bang, Queen saja sudah mau punya anak masa kamu belum punya calon teman buat duduk di pelaminan Bang.”
“Itu si Queen saja yang kecepatan menikah Mi, salah Papi masih kecil di nikahkan. Kan sudah mau punya anak sekarang.” Al berkata dengan cueknya. Dia ingat kalau adiknya sudah menikah dan sekarang sudah mau punya anak.
“Itu bukan salah Papi, itu salah Sakti. Masa mau menikah anak orang maksa – maksa.” Rey tidak terima di salahkan oleh putranya. Benar kan yang Rey katakana, karena pada dasarnya Sakti yang memaksa Rey untuk menikah Queen bukan Rey yangmenyodorkan putrinya untuk di nikahi cepat.
“Sudah-sudah jangan di bahas lagi. Itu berarti memang sudah jodohnya Queen datang, sekarang kau juga harus mencari jodohmu Bang. Jangan menikah tua-tua Bang, nanti kalau kamu punya anak bingung lagi kamu Papinya atau Opanya hahaha…” Rara puas meliaht wajah kesal putranya yang dia olok-olok.
“Abang mau istrirhat, lelah di olok-olok Mami sama Papi terus.” Setelah makanannya habis, Al segera pergi meninggalkan meja makan. Tujuannya sekarang adalah membersihkan diri dan istirahat.
***
“Siapa kalian? Mau apa kalian datang kemari?” Dei melihat 5 orang laki-laki bertubuh besar-besar sudah berdiri di depan pintu rumahnya saat dia membuka pintu.
“Kami di minta Tuan Toni untuk menjemput Non sekarang juga,” jawab salah satu dari mereka.
“Lebih baik kalian pergi, aku tidak akan pernah ikut kalian.”
“Mari Non ikut kami dengan sekarela atau kami paksa.”
Dei tau jika apa yang mereka katakan bukan sebuah bualan. Pasti mereka akan memaksanya ikut meski dia menolak. Dan pastinya mereka akan menimbulkan sebuah keributan di rumah pakde dan budenya yang pasti akan menarik perhatian banyak warga desa yang sudah mulai beraktifitas pagi.
Tanpa mengatakan apapun, Dei langsung masuk kedalam rumah. Dia akan berpamitan kepada Amir dan Sari.
“Siapa mereka Dei?” Sari datang menghampiri Dei saat sampai didapur dimana Sari tengah membuat sarapan.
“Orang suruhan Daddy,” jawab Dei dengan lirih.
“Mau apa mereka datang kesini?” Amir ikut bertanya.
“Dei akan ikut mereka Pakde, Daddy meminta mereka menjemput Dei.”
Mendengar jawaban dari mulut keponakannnya, Sari dan Amir begitu khawatir. Mereka tidak tau apa yang akan terjadi dengan Dei nantinya.
“Apa Dei yakin?” tanya Sari dengan nada sarat akan kekhawatiran.
“Dei akan baik-baik saja Bude. Dei ingin tau apa yang mereka harapkan dari Dei sebenarnya, setelah itu Dei akan kembali kesini. Dei akan hidup disini bersama Bude dan Pakde.” Dei berusaha mereda kekhawatiran Sari. Meski dia pun tidak tau apa setelah ini dia akan bisa kembali hidup dengan damai sebagai pemetik teh lagi. Apa setelah ini kehidupannya masih akan berjalan normal. Dei pun tidak pernah tau.
“Dei harus hati-hati, Dei harus jaga diri disana. Jangan sampai kenapa-napa.”
“Iya Bude, kalian juga harus baik-baik saja disini. Jangan cemaskan Dei…”
Sari dan Amir mengantarkan kepergian Dei. Dei pergi tanpa membawa apapun, bahkan ponselnya pun dia tinggal. Dia tidak akan membutuhkan semua itu disana, dia bisa mendapatkan semuanya jika dia mau nanti.
***
Dei memandang bangunan yang berdiri kokoh di hadapannya. Memori -memori masalalu berputar begitu saja di kepalanya. Kenangan -kenangan bersama mommynya ketika semua masih baik-baik saja. Canda dan tawa masih menghiasi suasana rumah menjadi hangat dan penuh cinta. Namun seketika ingatannya berganti dengan kenangan-kenangan buruk yang dia dapatkan dirumah itu pula. Perlakuan tidak adil yang dia dan mommynya dapatkan, hingga malam terakhir dia menginjakkan kakinya di rumah itu. Malam dimana tuhan mengambil mommy dari sampingnya. Malam dimana Dei benar-benar memusuhi takdir yang tidak pernah berpihak kepadanya.
Tanpa di sadari Dei melangkahkan kakinya mundur, dia tidak akan sanggup masuk kedalam rumah itu. Dia tidak akan sanggup menyelami luka yang ada di hatinya. Dia tidak akan tau apa yang menyambutnya di dalam rumah itu, jika boleh meminta Dei benar-benar mengutuk keadaannya saat ini. Dia benar-benar ingin pergi dari sana saat ini juga.
“Non Vei…” seorang perempuan tua berjalan pelan mendekat ketempat Dei berdiri. Tangannya bergetar ingin menyentuh wajah Dei, tangisnya tak kuasa lagi dia bendung.
“Ini betulan Non, Non ingat ini Mbok Jum…” perempuan tua yang mengaku dirinya bernama Jum itu memeluk tubuh Dei dengan erat. Dia mengelus kepala Dei dengan sayang. Dia adalah Mbok Jum salah satu asisten rumah tangga yang sudah mengabdi lama dirumah itu, dia juga yang pernah menjadi saksi atas ketidakadilan yang di terima Miranda dan Dei dulu.
“Simbok masih kerja disini?” Dei membalas pelukan dari Mbok Jum tak kalah eratnya. Dia masih begitu ingat, jika wanita tua yang saat ini memeluknya adalah salah satu orang yang menorehkan kenangan manis Dei di rumah itu. Dia yang melayani Dei dan mengurus Dei dulu bagaimana bisa Dei melupakan semuanya.
“Syukurlah Non masih ingat Simbok. Setiap hari Simbok selalu berharap Non dan Nyonya kembali kerumah ini. Hingga akhirnya Nyonya telah tiada, Non selama ini tinggal dimana. Non Baik-baik saja kan?” Dei dapat melihat raut wajah penuh kekhawatiran yang di tunjukkan oleh wanita tua itu. Dei jadi mengingat Budenya, pasti saat ini Budenya tengan menangis mencemaskan dirinya.
“Aku baik Mbok, selama ini aku tinggal sama Bude dan Pakde di desa,” Jawab Dei pelan.
“Hiksss… Hiksss… Hikssss… Non maafkan Simbok. Simbok tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu Non, pasti Non mengalami masa yang sulit…”
“Sudah Mbok, Mbok tidak salah jangan menangis. Semua sudah berlalu…”
“Ayo Non kita masuk. Non pasti lelah, kita istirahat didalam Non.” Mbok Jum ingin menuntun Dei kedalam rumah, namun Dei menolaknya.
“Tidak Mbok, aku tidak mau masuk kedalam,” ucap Dei dengan lirihnya.
“Kenapa Non, ini rumah Non juga.”
“Tidak Mbok, sejak dua perempuan ular itu datang. Ini bukan lagi rumahku Mbok.” Dei tetap menolak untuk masuk kedalam rumah, dia sudah berbalik badan dan ingin melangkah meninggalkan rumah itu. Namun, sebuah suara mengehntikan langkahnya.
“Memang sudah sewajarnya anak yang di buang tidak di pungut lagi.” Seorang perempuan berpenampilan glamor berdiri sambil bersedekap dan memandang remeh kearah Dei. Dei yang sudah tau suara siapa itu tanpa menolehpun, dia hanya tersenyum sinis.
“Jadi ini gundik murahan yang sekarang bertingkah seperti nyonya besar?” Dei tidak ciut melihat tatap meremehkan perempuan dihadapannya itu, justru dia membalas ucapan perempuan itu dengan kalimat merendahkan yang pasti akan membuatnya merasa terhina.
Dia adalah Sintia, perempuan yang dibawa Daddynya datang ke rumah ini dan merubah segalanya. Perempuan licik dengan berbagai cara untuk membuatnya dan Mommynya Nampak buruk di mata daddynya. Dia adalah perempuan yang merusak rumah tangga mommy dan daddynya, dia adalah perempuan yang entah asal usulnya yang berusaha menggatikan posisi mommynya. Menjadikan dirinya Nyonya dan anak perempuannya sebagai tuan puteri.
“Perlu kamu tau kalau perempuan yang kamu sebut gundik ini berhasil mengusirmu dan mommymu dari ini.” Jawab Sintia dengan nada sombongnya. Mendengar jawabanSintia, seketika darah Dei mendidih. Ingin sekali dia memukul muka dan memberi pelajaran kepada perempuan di hadapannya ini. Dia bukan lagi anak kecil yang tidak tau apa-apa yang bisa begitu mudahnya di tindas.
“Pada dasarnya sampah tetap akan menjadi sampah. Jika di pungutpun tidak lama dia akan kembali menjadi sampah.” Setelah mengatakan itu Dei langsung masuk kedalam rumah, bahunya sengaja menabrak bahu Sintia hingga membuat Sintia terhuyung kebelakang.
“Dasar anak sialan!!” Sintia yang mendapatkan perlakuan demikian dari Dei menjadi kesal dan marah.
Namun Dei sama sekali tidak menghiraukan makian dan u*****n Sintia, dia terus berjalan masuk kedalam rumah. Dia tidak akan pergi dari sana dan membuat Sintia semakin merasa menang. Dei sudah memutuskan dia akan berperang secara langsung dengan ibu tirinya itu. Dia akan menendang Sintia dari rumah yang menjadikan dirinya menjadi nyonya dan akan mengembalikannya kejalanan seperti sebelumnya.
****
Dei duduk diatas ranjang, tangannya mengusap pelan kasur yang dia duduki. Pandangnnya sejak tadi menyapu kesegala penjuru ruangan. Ini adalah kamarnya yang dulu, tapi dia sama sekali tidak mengenalinya. Wajar saja kamar ini sudah lama berganti pemilik, Dei hanya bisa memandangi setiap sudut dan benda-benda yang ada di sana dengan tatapan penuh luka. Dulu disini lah dia bermain dengan mommynya, bermain dengan daddynya. Dia menghabiskan seuruh waktu bahagianya di kamar ini, namun sekarang Dei sama sekali sudah tidak bisa merasakan sedikitpun kebahagiaan ketika dia kembali kekamar ini. Yang dia rasakan hanyalah luka dan sesak didada. Hatinya begitu sedih, rasanya dia hampir tidak sanggup menanggung rasa yang muncul dihatinya.
“Non Vei mau makan? Biar Simbok siapkan.” Mbok Jum berdiri di depan pintu.
“Panggil Dei ya Mbok, saya tidak suka lagi dengan panggilan Vei. Saya tidak mau makan Mbok tolong siapkan kamar lain saja. Saya tidak ingin di kamar ini.”
Melihat kesedihan di wajah Nona mudanya Mbok Jum tidak lagi bertanya apapun. Dia langsung pergi dan akan menyiapkan kamar lain seperti keinginan Nona mudanya.
*****BERSAMBUNG******
WNG, 19 DES 2020
SALAM
E_PRASETYO