Tiba-tiba, ia menabrak seseorang yang berdiri di depan pintu game center. Sean memandang kami berdua dengan tatapan yang mengerikan. Tapi, nampaknya Xu Qiang sama sekali tidak takut padanya.
“Kau menemukanku akhirnya. Lebih lama dari yang kuperkirakan.” katanya enteng.
“Tidak saya duga kalau tuan akan menyelinap keluar seperti ini. Bagaimana bisa anda keluar tanpa satu pengawal pun melindungi anda???” suara Sean berubah menjadi tegas.
“Buktinya tidak terjadi apa-apa padaku 'kan? Kau terlalu berlebihan, Sean. Ayo, kita pulang,” Xu Qiang nampak cuek saja dan mengajakku masuk ke dalam mobil. Aku tidak berani bicara sepatah kata pun karena dapat kurasakan aura kemarahan dari Sean akan meledak keluar.
Begitu kami kembali ke hotel, Sean mendelik padaku dengan marah. Xu Qiang tidak kembali ke kamarnya, melainkan ia duduk di ruang tengah sambil melipat tangan di d**a. Nampaknya Sean tidak peduli dengan adanya pangeran yang memperhatikannya.
“Kau! Bagaimana bisa kau mengajak tuan Xu Qiang keluar malam-malam begini tanpa pengawal satu pun??! Apa kau tidak tahu betapa berbahayanya di luar sana bagi tuan Xu Qiang???” bentaknya langsung. Aku menunduk terdiam dan merasa bersalah. Aku tahu seharusnya aku melarang pangeran untuk keluar tanpa izin dari Sean. Tapi, aku malah menikmati perjalanan singkatku dengan Xu Qiang.
“Ma… maaf...” ucapku pelan.
“Kau pikir masalah seperti ini bisa diselesaikan hanya dengan permintaan maaf??? Kau tidak akan bisa bertanggung jawab jika terjadi sesuatu pada tuan Xu Qiang! Besok pagi, aku akan meminta perusahaanmu untuk memberikan pengganti penerjemah! Kami tidak membutuhkan penerjemah sepertimu yang bisa berbuat sesuka hati dan tidak sopan!” ucapan Sean benar-benar membuatku kaget hingga menengadah memandang wajahnya yang merah padam karena marah.
“Cukup, Sean! Kau tidak berhak memutuskan siapa yang akan bekerja untukku!” suara Xu Qiang mengagetkanku tiba-tiba. Dia telah berdiri dan berjalan ke arahku.
“Tapi, tuan—” Sean mulai memprotes yang dibalas dengan tatapan tajam dari Xu Qiang.
“Dia tetap akan bekerja untukku. Aku yang memintanya untuk menemaniku keluar. Kalau kau mau marah, marahlah padaku,” Xu Qiang memegang kedua bahuku sambil tetap menatap Sean yang terlihat kehilangan kata-kata.
“S... saya tidak berani, tuan. Maafkan saya.” Sean langsung menunduk diam.
“Dan ingat, tidak ada pengganti penerjemah. Mengerti?” lanjutnya yang langsung diiyakan oleh Sean.
Xu Qiang membawaku kembali ke kamar. Aku merasa sangat bersalah apalagi mengingat kedudukan kami yang sangat berbeda jauh. Hal itu pasti memberatkan Xu Qiang. Aku memandang wajahnya yang masih kalem tanpa ekspresi.
“Ma… maafkan aku. Harusnya aku mengajakmu pulang langsung tadi.” kataku. Xu Qiang menatapku dan menggeleng.
“Tidak. Aku yang menyuruhmu 'kan? Lagian aku sangat menikmati jalan-jalan tadi.” dia tersenyum kecil. Aku terperangah mendengarnya.
“Terima kasih untuk malam ini, Tomoka. Lain kali kau mau 'kan keluar diam-diam seperti ini bersamaku?” mata Xu Qiang berbinar-binar seperti anak kecil yang kegirangan. Aku tertawa kecil dan mengangguk pelan.
“Kau tidak melarangku?” herannya melihat reaksiku.
“Kenapa memangnya? Aku senang melihatmu gembira. Apalagi hidupmu terlalu kaku, Xu Qiang. Kadang-kadang kau butuh udara segar,” jawabku santai dan duduk di tempat tidurku. Xu Qiang terkekeh mendengarnya.
“Kau berbeda sekali dengan orang-orang yang pernah kujumpai, Tomoka. Kau mau jadi temanku?” tanyanya langsung yang membuatku terkejut.
“Tentu saja. Menjadi teman tidak harus minta izin dulu 'kan? Ketika kau memintaku untuk santai saja, itu tandanya kau sudah menganggapku teman.” jawabku.
“Kau tidak tidur? Ini sudah larut malam loh.” aku mengingatkannya.
“Baiklah. Terima kasih untuk malam ini, Tomoka,” senyumnya sebelum berbalik untuk keluar dari kamarku. Belum beberapa langkah ia akan keluar, tiba-tiba Xu Qiang berbalik seperti lupa mengatakan sesuatu.
“Ah, aku lupa aku belum memberikan tanda terima kasihku padamu.” kata Xu Qiang.
“Kenapa harus memberikannya? Aku tidak meminta apapun.” jawabku bingung.
“Tidak bisa. Kau sudah melakukan banyak untukku. Aku harus berterima kasih padamu,” dia masih berusaha untuk membelikanku sesuatu.
“Kau 'kan sudah mengucapkannya. Tidak perlu hadiah,” balasku sambil mengibaskan tangan sebelah.
“Tidak bisa! Itu berbeda!” balasnya dengan sedikit kuat hingga membuatku terperanjat. Matanya menyiratkan dia harus memberikanku sesuatu. Aku menghela napas dan memandang boneka kelinci yang didapatkannya dari game center.
“Boneka itu sudah cukup.” kataku.
“Tidak! Tidak! Itu bukan tanda terima kasih!” Xu Qiang masih berkeras.
“Apa yang harus kuberikan untukmu ya? Ah, aku tahu sesuatu yang bisa membuat wanita senang,” katanya sambil berpikir. Dia mendekatiku dan duduk di samping tempat tidurku. Perlahan, ia mengangkatku dan memindahkanku agar berbaring.
Aku sedikit mengernyit bingung. Xu Qiang tersenyum padaku dan mendekatkan wajahnya ke arahku. Hanya dalam beberapa detik, bibirnya telah menempel di bibirku! Aku terdiam dan pikiranku kosong seketika. Xu Qiang melakukannya dengan sangat lembut hingga aku mulai menikmatinya perlahan-lahan.
Tiba-tiba, aku tersadar dan langsung mendorongnya menjauh dariku. Xu Qiang memandangku bingung.
“A... apa yang kau lakukan???” pekikku dengan wajah yang memerah.
“Loh? Bukannya wanita senang dengan hal seperti itu? Aku melakukannya agar kau senang.” jawabnya polos.
“Tidak! Aku tidak senang sama sekali! Kau tidak perlu melakukan hal ini, bodoh!” balasku sambil memandang ke tempat lain. Aku tidak sanggup menatap matanya dengan wajah yang merah padam seperti ini.
“Aku 'kan hanya berterima kasih. Apa kau berpikir hal lain?” Xu Qiang menyeringai padaku. Aku terkejut mendengarnya dan sedikit gelagapan.
“Ti... tidak! Aku tidak berpikir apa-apa! Hanya saja, kau tidak bisa melakukan hal seperti itu pada teman!” jawabku langsung.
“Kenapa tidak?” Xu Qiang langsung memotong kata-kataku.
“Kau seharusnya lebih menghargai dirimu sendiri! Kau tidak boleh sembarangan mencium orang seperti itu. Se-setidaknya, lakukanlah hal itu dengan orang yang kau cintai,” aku memandangnya sekilas. Xu Qiang kelihatan berpikir dan mengangguk-angguk.
“Maafkan aku. Aku tidak tahu kalau kau tidak suka,” katanya sambil memasang ekspresi sedih.
“Tidak! Tentu saja aku tidak suka! Jangan melakukan hal seperti itu lagi. Pergilah tidur. Sean akan mencarimu jika kau tidak kembali.” ujarku.
Xu Qiang beranjak dari tempatnya dan berdiri untuk meninggalkan kamarku. Sebelum menutup pintu, ia melongokkan kepalanya lagi hingga aku menoleh tajam padanya.
“Kau bilang tidak suka. Tapi, kau menikmatinya 'kan?” ia menyengir lebar padaku dan tertawa keras karena melihat wajahku yang kembali merah padam.
“Xu Qiiaaaaanngggg!!!!” jeritku. Aku melemparkan bantal ke arahnya yang langsung ditepisnya dengan menutup pintu kamarku. Aku masih bisa mendengar suara tawanya menjauh dari arah kamarku.
Kupegang kedua pipiku yang menghangat karena ucapannya. Pikiranku menjadi sangat kacau. Segera kubenamkan wajahku ke bantal agar melupakan kejadian tadi. Aku tidak menyangka dia akan mengecup bibirku. Memang karisma seorang pangeran susah membuatmu untuk menolak, Tomoka! makiku dalam hati. Tidak berapa lama, aku langsung tertidur pulas.