6 - January - Having Fun

1055 Kata
    “Haahh... akhirnya bebas juga,” katanya dengan gembira. Aku hanya menatapnya heran.     “Kenapa? Kau tidak akan mengerti bagaimana rasanya hidup dikurung selama 24 jam, Tomoka.” lanjutnya. Baru kali ini dia memanggil namaku dan itu lumayan mencengangkan karena dia mengingatnya. “Jadi, anda mau ke mana?” tanyaku. “Kemana saja. Berkeliling di sekitar sini juga tidak apa-apa. Aku ingin melihat apa yang belum pernah kuliihat,” jawabnya sambil menengadah ke langit. “Baik, tuan.” kataku. Dia langsung menoleh padaku. “Tidak perlu formal padaku! Sekarang adalah waktu pribadiku. Santai saja. Kau bisa memanggilku Xu Qiang.” katanya tertawa.      Kami masih berjalan sambil memperhatikan sekeliling. Xu Qiang kelihatan sangat antusias melihat hal-hal yang belum pernah dilihatnya. Karyawan-karyawan yang baru pulang sehabis lembur kerja, pengamen di jalanan, dan pasangan yang sedang bermesraan di kursi taman merupakan pemandangan biasa yang kulihat sehari-hari. Ia terus bertanya tentang hal-hal yang menarik perhatiannya. “Bau apa ini?” tanyanya lagi saat mengendus aroma makanan. “Sepertinya dari arah sana. Mau lihat?” ajakku yang langsung diiyakan olehnya.     Sebuah kedai takoyaki yang ternyata mengedarkan aroma ke sekitarnya. Xu Qiang kembali bertanya tentang makanan yang belum pernah dilihatnya itu. Aku menjelaskan sambil menawarkan padanya. Ia mengangguk kembali.     Aku membawa sekotak takoyaki yang masih panas ke depannya. Xu Qiang hanya menatapnya saja. Kuberikan tusuk gigi padanya untuk memakan takoyaki itu. Dia hanya memandangku. “Kenapa? Kau tidak ingin mencobanya?” tanyaku. “Kau coba dulu. Aku tidak pernah makan apapun yang belum dicoba oleh Sean.” jawabnya polos. Aku kembali mengernyit padanya. “Kau akan mengerti jika posisimu cukup penting di suatu negara dengan banyaknya orang yang mencoba untuk membunuhmu.” jelasnya. Aku mengangguk pelan dan mengambil sebuah takoyaki lalu mengigit ujungnya sedikit. Xu Qiang menatapku sebentar untuk melihat reaksiku. “Berikan padaku.” katanya langsung. “Yakin? Ini bekasku loh.” tanyaku heran. Dia hanya menggeleng mengatakan tidak masalah.     Aku mengacungkan takoyaki yang telah kugigit itu ke mulutnya yang menganga lebar. Ia mengunyah bulatannya sekaligus dan matanya membelalak karena rasa panas menjalar di mulutnya. Setelah terbiasa, dia mengunyah sampai habis dan dengan ekspresi senang memandangku. “Ini enak sekali!” matanya membelalak gembira. Aku hanya tersenyum dan memberikan kotak takoyaki itu padanya. Dia mengernyit kembali padaku. “Coba lagi. Aku masih ingin makan.” katanya. Aku memandanginya tak percaya dan membatin bahwa sama saja ia makan makanan sisaku kalau seperti ini.     Aku melakukannya lagi sampai 8 potong takoyaki itu habis. Xu Qiang kelihatan sangat menikmati gigitan terakhirnya. Diam-diam aku kembali membatin bahwa ini sama saja dengan ciuman tidak langsung.     Pikiran itu langsung membuat pipiku memerah dan hangat sekali. Xu Qiang tidak menyadari hal itu. Dia masih menikmati makanannya. “Hanya dengan 500 yen bisa makan makanan seenak ini. Apa ekonomi Jepang tidak masalah?” celetuknya tiba-tiba. Aku tertegun mendengarnya dan langsung tertawa keras. “Kau tidak usah memikirkannya sampai seperti itu. Nikmati sajalah.” tawaku kembali. Ia masih mengernyit bingung.     Tiba-tiba, sebuah tangan menepuk pundakku. Aku segera menoleh pada seorang pria paruh baya yang tersenyum padaku.     “Maaf saya mengagetkan anda. Saya dari agensi model. Saya lihat pacar anda berpotensi untuk menjadi model terkenal. Dia tampan sekali,” katanya sambil memandang Xu Qiang yang balas menatapnya. “A... ah, maaf. Tapi, dia tidak bisa menjadi model.” jawabku. Xu Qiang melemparkan pandangan bertanya. “Apa katanya?” tanyanya padaku. “Dia ingin menjadikanmu model. Tapi, akan segera kutolak kok.” bisikku padanya. “Kenapa tidak??? Dia tampan dan bisa menjadi model terkenal! Saya bisa menjamin hal itu!” pria itu bersemangat sekali hingga aku harus mundur beberapa langkah menjauh darinya. “Dia tidak berniat sama sekali. Maaf, kami harus pergi,” tolakku sambil menarik tangan Xu Qiang. “Hei! Tunggu dulu!” panggil pria itu sambil mengenggam bahuku dengan kuat. Aku meringis kesakitan karena kukunya menyayat kulitku.     Tidak berapa lama, genggamannya terlepas dan aku mendengar pria itu yang meringis. Begitu aku berbalik, Xu Qiang memelintir tangannya yang mencengkeram bahuku tadi. Tatapan matanya tajam sekali.     “Jangan sekali-kali kau menyentuhnya,” katanya yang otomatis tidak akan dimengerti oleh pria itu. Aku meminta Xu Qiang melepaskan pria itu dan dengan mudahnya Xu Qiang langsung mendorongnya begitu saja. Pria itu langsung memaki-maki dan meninggalkan kami sambil memegang lengannya.     Mungkin sebenarnya Xu Qiang tidak bermaksud apa-apa mengatakan hal seperti itu. Tetapi, aku cukup senang mendengarnya dan sedikit tersipu. Si pangeran terlihat sangat gagah malam ini. Aku terkekeh pelan dan segera menyembunyikan ekspresiku ketika Xu Qiang menoleh padaku. “Kau tidak apa-apa?” tanyanya ramah. Aku menggeleng tersenyum padanya.     Kami kembali melanjutkan jalan-jalan malam kami. Mata Xu Qiang kembali menangkap sesuatu yang menarik minatnya. Sebuah game centre yang masih ramai dengan pengunjung dengan banyak suara-suara dari setiap mesin yang berjalan. “Tempat apa itu?” tanyanya polos. “Game centre. Kau tidak pernah main di tempat seperti itu?” heranku. Ia menggeleng polos. Aku mendecak sesaat dan berpikir malang sekali nasib pangeran ini yang seperti tidak tahu apa-apa dengan kehidupan rakyat biasa.     Aku baru saja akan mengajaknya ke dalam saat aku melihat sepasang anak muda keluar dari tempat itu. Yang wanita memeluk sebuah boneka kelinci berwarna putih. “Lucu sekali bonekanya...” ucapku langsung tanpa berpikir. Xu Qiang langsung menoleh pada benda yang kumaksud. Tanpa berkata apa-apa, ia langsung menarik tanganku ke dalam game centre itu. “Ayo, kita dapatkan boneka itu juga! Aku mau mencobanya.” serunya bersemangat. Aku tersenyum dan membiarkannya melakukan hal itu.     Xu Qiang beberapa kali mencoba dan terus gagal dalam permainan itu. Tapi, nampaknya ia tidak putus asa sama sekali. Matanya masih memancarkan ekspresi gembira dalam usahanya mengambil boneka dari mesin pencakar itu. Aku merasa bahwa dia menjadi sangat alami dan senang melihat keasyikannya. Xu Qiang pun tampak lebih ramah. Dia terlihat sangat bebas.      Entah sudah berapa jam dihabiskannya untuk mencoba mengambil sebuah boneka kelinci saja. Aku tidak mencoba untuk menghentikannya dan malah tersenyum melihat tingkahnya. “Ahhh, kenapa susah sekali??? Kenapa tidak aku beli saja mesin ini dan mencobanya di rumah?” gumamnya sambil berpikir. Aku langsung membelalak padanya dan dengan cepat melarangnya. Kalau pangeran bilang begitu, mungkin saja dia akan melakukannya. Aku tidak ragu akan hal itu. “Yeeesss!!! Dapaaattt!!!” serunya girang saat ia telah menghabiskan beberapa ratus keping uang logam untuk mencobanya.     Xu Qiang mengambil boneka kelinci itu dan menyorongkannya padaku dengan senyum lebar. Senyum yang tidak pernah kulihat sebelumnya.     “Untukmu.” katanya. Aku melongo sambil memegang boneka itu.     “Untukku? Bukannya kau menginginkannya sampai mencoba beberapa kali?” tanyaku heran. Dia langsung menggeleng. “Tidak. Aku memang ingin mengambilkannya untukmu. Kau suka 'kan?” tawanya. Aku tersenyum memandangnya. Aura pangeran mulai menjadi hangat. “Ya. Aku suka. Terima kasih.” senyumku padanya.     Kami bermain beberapa permainan di sana dan tidak menyadari sudah beberapa jam kami di luar. Akhirnya, aku mengajak Xu Qiang untuk pulang ke hotel kembali karena tempat itu sudah mau tutup. Dengan wajah sedikit kecewa, Xu Qiang menurutiku dan keluar dari tempat itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN