14 - February - The Gap Between Us

1169 Kata
    Xu Qiang diam sambil memandangku terus. Aku mulai berpikir bahwa seharusnya aku minta maaf atas apa yang kukatakan padanya.     “Ma... maaf karena aku melarikan di...” belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, Xu Qiang langsung memotongnya.     “........ aku minta maaf.” katanya sambil menunduk. Aku terbelalak heran mendengarnya.     “Kenapa kau yang minta maaf?” heranku. Ia memandangku bingung.     “Memangnya aneh kalau aku minta maaf?” Xu Qiang menaikkan alisnya sebelah. “Ti... tidak. Bukan itu maksudku...” aku benar-benar masih bingung dengan sikapnya.     “Aku pasti melakukan hal yang salah makanya kau marah padaku 'kan? Aku sama sekali tidak tahu apa yang membuatmu marah.” Xu Qiang terus memandangku lekat-lekat.     “Tolong jelaskan padaku.” lanjutnya. Baru kali ini aku mendengarnya mengucapkan kata 'tolong' dan hal itu membuatku tertegun.     Aku menarik napas panjang dan mulai berpikir sepertinya aku harus menjelaskan padanya tentang alasan aku begitu marah padanya.     “Aku tahu kalau uang adalah salah satu cara untuk mendapatkan surat izin. Tapi, itu bukanlah cara yang aku inginkan sama sekali,” kali ini aku langsung menatap matanya. Xu Qiang serius sekali mendengarkanku.     “Sebuah buku berisi semua perasaan penulisnya. Dan aku ingin Ivonne mempercayai bukunya padaku karena aku menghargainya. Tugas seorang penerjemah lah untuk menuangkan semua perasaan itu dalam sebuah karya. Aku ingin dia mengerti tentang perasaanku dan memilihku berdasarkan hal itu...” jelasku pelan. Xu Qiang tidak membalasku sama sekali. Ia menghela napas panjang dan menatapku tajam.     “Jadi, apa yang seharusnya kulakukan untukmu?” pertanyaannya membuatku terdiam selama beberapa saat.     “Tarik apa yang telah kau lakukan sebelumnya dan biarkan kami kembali bernegosiasi dengannya.” jawabku mantap. Aku benar-benar bodoh karena menolaknya. Tapi, aku punya harga diri dalam pekerjaanku dan hal itulah yang membuatku tidak ingin menyerah begitu saja.     “Baiklah, aku mengerti. Keluar.” kata-katanya begitu tajam di telingaku dan menusuk hatiku. Aku langsung keluar dari ruangan itu tanpa memandangnya sama sekali. Aku tahu dia pasti membenciku sekarang. “Melihat ekspresimu, aku menebak bahwa tuan pasti menyuruhmu keluar,” cibir Sean saat melihatku. Aku memandang wajahnya.     “Apa akhirnya kau sudah sadar? Kau dan pangeran memiliki perbedaan yang sangat besar,” Sean memandangku tajam dan kata-katanya benar-benar menyakitkan hatiku. Dia memegang bahuku dan dengan sedikit menunduk, Sean mulai berbisik.     “Jaga jarakmu dengan pangeran. Kau hanyalah seorang penerjemah.” kali ini kata-kata Sean terus membuatku terngiang.                                                                                        ***       Aku memperpanjang masa dinasku di Jepang. Aku masih belum mendapatkan informasi yang cukup mengenai metode terapi kanker dari rumah sakit Jepang. Selain itu, aku masih belum menemukan saudara tiriku yang diam-diam kucari selama ini. Yang mengetahui hal ini hanyalah aku dan ayahku. Informan yang kuminta untuk menyelidiki dimana saudara tiriku masih belum memberikan kabar.     Namun, ada satu hal lain yang muncul tiba-tiba hingga aku menambah masa dinasku. Aku meminta Sean untuk menghubungi Ivonne Clutch, seorang penulis yang sangat disukai Tomoka. Aku ingin membuatnya senang dengan memberikannya kesempatan menerjemahkan buku Ivonne. Tidak sulit bagiku untuk bernegosisasi dengannya. Keluargaku pun cukup mengenalnya dengan baik dari dulu. Hingga dengan sedikit bayaran, ia menerima tawaranku untuk menyerahkan surat izin menerjemahkan bukunya kepada perusahaan Interpretz. Tidak lama lagi, begitu dia mendapat kabar surat izinnya telah selesai, dia pasti akan berterima kasih padaku dengan senyum lebar. Memikirkannya saja sudah membuatku senang hingga tersenyum sendiri.     Hari ini kami kembali mengunjungi rumah sakit Akiyama. Saat aku menoleh sesaat ke arah kursi tunggu, beberapa pasien menarik perhatianku. Kenapa aku tidak pernah menanyakan gejala mereka? Bukankah itu cara terbaik untuk meneliti gejala penyakit ini? Aku tarik tangan Tomoka untuk membantuku menanyai mereka.              Setelah bertanya-tanya dengan pasien-pasien itu, Tomoka malah heran melihatku melakukan hal itu. Padahal dia yang mengajariku. Hahaha...     Saat pulang, ponsel Tomoka berdering dan suaranya keras sekali saking terkejutnya. Aku penasaran apa yang terjadi dengannya. Saat kutanyai ternyata atasannya telah menghubunginya untuk memberitahunya bahwa Ivonne sudah bersedia bekerja sama dengan mereka. Tentu saja! Aku mulai merasa bangga karena hasil kerjaku membuahkan hasil. Saat kukatakan padanya, dia terdiam. Mungkin terlalu senang hingga dia tidak bisa berkata apa-apa, wajar saja. Aku mengerti kalau dia pasti ingin berterima kasih padaku.     Tapi, entah kenapa dia membentakku hingga aku terkejut. Wajahnya tidak menunjukkan dia senang sama sekali, malah tampaknya dia marah. Aku bingung dengan kesalahanku. Tiba-tiba, dia langsung melompat turun dari mobil saat lampu merah. Aku benar-benar terkejut! Belum sempat kukejar, mobil telah berjalan kembali.      Aku benar-benar khawatir ke mana dia akan pergi. Aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentangnya. Dimana dia tinggal? Dimana tempat favoritnya? Kalau dia hilang bagaimana??? Yang aku tahu hanyalah alamat kantornya. Dengan cepat, kuhubungi segera bagian divisinya. Seorang wanita yang mengangkat teleponku dan berjanji akan mencari Tomoka segera.     Begitu aku kembali ke hotel, aku sama sekali tidak bisa tenang. Entah berapa kali aku mondar-mandir memikirkan ke mana dia pergi. Apa salahku hingga dia begitu marah padaku ? Aku benar-benar bingung dan sangat gelisah karena teringat ekspresi kemarahannya saat itu. Malah matanya seperti akan menangis dan itu membuatku semakin merasa bersalah.     Begitu hampir malam, Tomoka akhirnya pulang. Aku tidak tahu harus memberikan ekspresi apa terhadapnya. Kusuruh Sean dan yang lainnya untuk keluar hingga membiarkan kami berdua. Aku langsung minta maaf padanya karena mungkin aku berbuat sesuatu yang salah terhadapnya. Ini sudah kedua kalinya aku minta maaf padanya lagi.      Aku memintanya untuk menjelaskan padaku alasan sebenarnya kenapa dia marah padaku. Pelan-pelan, aku baru mengerti bahwa ia ingin berjuang untuk mendapatkan surat izin itu dengan kerja kerasnya. Aku salah mengiranya akan senang dengan usahaku membeli surat izinnya. Ia mengatakan padaku bahwa ia ingin aku menarik semua yang telah kulakukan dan membiarkannya bernegosiasi sendiri.                                                                                     ***     Kau hanyalah seorang penerjemah. Ingat itu, Tomoka. Kalimat itu terus berputar di kepalaku keesokan harinya. Ya, benar. Xu Qiang dan aku sama sekali bukan teman. Antara kami sama sekali tidak ada hubungan apapun. Aku terus mengingatkan diriku tentang pekerjaanku yang sesungguhnya dan tentang tidak adanya hubungan pribadi antara kami berdua. Tapi, entah kenapa hatiku sama sekali tidak bisa menerima hal itu. Aku mulai merasakan kesepian apalagi semenjak Xu Qiang nampaknya menjauhiku.     Beberapa hari kemudian, kami kembali mengunjungi rumah sakit Akiyama. Kali ini, tujuan kami adalah laboratorium rumah sakit. Setelah berbincang-bincang sesaat, Xu Qiang terlihat sibuk meneliti beberapa alat. Aku hanya berdiri menunggunya saat sebuah tangan menepuk pundakku. Aku menoleh dan melihat dokter muda yang menolongku pada hari pertamaku mengawal pangeran. Ternyata namanya Dr. Hirata.     “Apa ada sesuatu yang terjadi antara pangeran denganmu?” tanyanya padaku. Aku mengernyit heran. Bagaimana dia bisa tahu hal itu?       Dr. Hirata memandangku dengan ekspresi meneliti. Mungkin karena pekerjaannya sebagai dokter, dia terbiasa untuk mengetahui perubahan pada seseorang. “Kalian jarang berbicara satu sama lain seperti biasanya. Dan pangeran terlihat berbeda. Beliau jadi sulit didekati seperti hari pertama bertemu.” kata-kata dokter itu membuatku tertegun. “Mungkin karena negaranya sedang mengalami situasi sulit. Aku mendengarnya di berita.” gumam Dr. Hirata.     Aku termenung mendengar ucapan Dr. Hirata. Aku sama sekali tidak memikirkan tanggung jawabnya sebagai calon kepala negara. Aku malah dengan egoisnya terus memikirkan diriku sendiri. Kupandangi Xu Qiang yang masih meneliti peralatan laboratorium dengan serius. Ada perasaan sedih yang mulai menjalariku.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN