Bejo dan Heru pulang setelah itu. Mereka nggak beli apa-apa karena memang nggak ada yang bisa dibeli. Bejo masih memasang wajah kesal dan ketus andalannya. Cowok di sampingnya masih nyengir dan tergelak geli. Semakin menjauh dari pantai, sinyal semakin bagus. Dengan begitu, Heru juga semakin bersemangat mengobrol bersama Chiko.
Bejo?
Dia telanjur sakit hati. Lihat saja nanti! Setelah dia pulang dari pantai, dia akan menemui Gigih dan membocorkan semuanya. Duh, Bejo! Dulu kamu nggak pernah begitu, lho! Sejak kapan kamu jadi tukang mengadu begitu? Biar saja, lah!
Nggak bisa!
Chiko sudah menghancurkan masa bahagianya bersama Heru. Kalau tahu begitu, dia lebih memilih membawa Heru ke tempat yang nggak ada sinyal sama sekali!
"Aku lagi di jalan, Ko. Ntar lagi, ya aku telepon lagi! Kita bahas yang belum-belum." Heru tersenyum geli.
Bejo mencengkeram kemudinya. Matanya melirik Heru yang sedang menunduk menatap HP-nya. Dalam beberapa detik, cowok SMA itu menghela napas.
"Kamu masih naksir sama Chiko?" Bejo keceplosan. Maksud hati ingin mencairkan suasana, namun dia sudah telanjur membuat semuanya makin runyam.
"Kok kepo?" Heru merasa nggak suka.
Mau dia naksir siapa juga itu bukan urusan Bejo. Kok jadi ingin tahu begitu? Bejo nggak perlu jadi sensitif begitu! Heru merengut nggak suka. Ketika matanya menoleh ke arah Bejo, wajah mas-mas kedokteran itu begitu aneh. Tadi ketika mereka berdua di dalam mobil, ketika berangkat itu, lho... dia malah bahagia sekali. Sekarang? Bejo terlihat seperti ingin memutilasi seseorang.
Heru menelan ludah gugup. Takut juga. Bagaimana kalau Mas Bejo kerasukan siluman atau penunggu Teluk Love?
Dengan sisa keberaniannya, Heru berbisik pelan. Sangat pelan. "Mas kenapa?"
Bejo menyunggingkan senyum sinis. Heru melongo. Nah, benar, kan! Bejo memang sedang kerasukan sesuatu yang aneh! Buktinya cowok itu terlihat berbeda dari sebelumnya. Mas Bejo terlihat galak. Mungkin kalau disenggol bisa pecah.
Heru menelan ludah. Sunyi menyergap keduanya. Padahal sejak berangkat tadi, Mas Bejo selalu bernyanyi dengan ceria. Pokoknya ramai sekali. Bahkan dia nggak membiarkan Heru tidur sebentar. Dia akan berteriak dan bernyanyi sepanjang perjalanan, nggak ada lelahnya. Sekarang malah sunyi begini! Kan aneh!
"Kenapa?" Heru bingung.
"Nggak apa."
Lah?
Heru itu nggak suka kalau ada orang yang ditanya kenapa jawabnya nggak apa. Kalau dibalas ya udah malah protes dibilang nggak peka. Pokoknya Heru itu bukan tipe orang yang punya toleransi tinggi mengenai masalah itu.
"Ya udah..." Heru mencoba menjawab mainstream, menunggu apa yang akan Mas Bejo katakan sekarang. Namun nyatanya Mas Bejo masih tutup mulut, nggak mengatakan, "Kamu tuh nggak pernah peka!". Heru menghela napas lega.
Ketika dia tahu kalau sudah nggak ada yang perlu dibahas, jarinya iseng. Dia menelepon Chiko lagi. Daripada mati kutu, batinnya. Padahal dia nggak punya urusan sepenting itu dengan Chiko. Dia hanya ingin mendengar suara Chiko agar dia nggak canggung gara-gara bungkam begini. Perjalanan masih jauh, lagi!
"Kenapa lagi, Ru? Kamu masih di jalan?" Chiko menguap malas di sana.
"Kamu bangun tidur?"
"Malah aku lagi tidur, lalu denger kamu telepon? Aku ngantuk, tahu!"
"Aku pengen telepon." Heru memaksa. Dia nggak berani menatap Mas Bejo. Jangankan menatap, melirik saja dia nggak berani. Matanya mengerjap beberapa kali, sementara dia bingung juga. Kalau makin lama begini dengan Mas Bejo, maka dia nggak akan pernah selesai.
Bejo merasa terganggu ketika mendengar suara Heru yang memaksa itu. Diam-diam dia mengirimi Gigih SMS.
"Gih, Chiko lagi teleponan sama Heru. Mereka mesra-mesraan."
SMS Bejo terkirim. Dalam beberapa detik saja Heru sudah protes.
"Halo? Ko? Kok malah dimatiin, sih?" Heru bingung. Juga kesal. Ketika sedang sibuk tertawa, HP Chiko mati tiba-tiba. Bejo tersenyum licik, namun puas sekali. Kalau begini, Gigih sangat berjasa.
Nanti Bejo harus membalas jasa Gigih. Bejo tersenyum puas dalam hati. Heru merengut. Dia bingung harus bagaimana sekarang. Ah, telepon yang lain saja! Heru nggak kapok rupanya. Dia mencoba menghubungi teman lainnya, hingga suara Bejo menginterupsi.
"Jangan telepon-teleponan! Berisik!" katanya.
Heru sok cuek dan menjawab, "Sekarang aku percaya kalau karma emang ada."
"Maksudnya?"
"Ngerti, kan gimana rasanya terganggu sekarang?" Heru puas sekali ketika mengatakan itu. Bejo diam saja.
Puncaknya adalah ketika Heru mulai menelepon salah satu temannya dengan nada mesra. Bejo melotot nggak terima. Lihat itu! Kenapa Heru genit sekali? Dia naksir Chiko, tapi main genit sana-sini! Heru itu memang benar-benar...
"Kamu lagi apa sekarang?" Nah, nadanya juga jadi menjijikkan begitu, khas cowok kurang kerjaan yang sedang menelepon gebetannya!
"Aku lagi di mobil, nih!" Heru sok pamer. Heru itu bukan tipe manusia jumawa, tapi kalau dia bertingkah begini, artinya dia sedang muak dan juga sedang kesal karena sesuatu. Ekspresinya saja nggak terlihat ingin pamer begitu.
"Ah, bukan aku yang nyetir, lah! Supir, dong!" Heru membuat Mas Bejo makin emosi. Mas Bejo emosi bukan karena dia diolok sebagai supir, namun karena Mas Bejo mendengar suara cewek manja di telepon Heru.
Mas Bejo cemburu!
Meradang. Emosi. Murka. Baper.
Segala aura negatif sedang menguar dari tubuhnya, tersebar ke seisi mobil. Heru merasa aura nggak enak ini sejak awal, tapi sekarang dia makin merasa tertekan. Heru mencoba untuk bertahan dan nggak cari masalah. Dia kuat. Dia harus kuat.
Heru mencoba memejamkan mata daripada merasa tertekan. Dia menutup mata, namun sayangnya dia sama sekali nggak bisa tidur sekarang. Mas Bejo masih memberikan efek negatif hingga kantuk nggak mau mampir. Heru mencoba bertahan. Tinggal sejam lagi mereka sampai, jadi tahan saja, Ru!
Ah, jangankan sejam, satu menit saja terasa super lama! Heru mules tiba-tiba. Perutnya terasa sakit. Bukan karena dia ingin buang air, tapi karena dia merasa tertekan begitu besar. Dia menelan ludah gugup sekali lagi.
Heru memutuskan untuk memejamkan mata, pura-pura tidur. Mas Bejo menghidupkan musik yang agak kencang, namun Heru sudah bertekad untuk terus tidur dan nggak mendengarkan Mas Bejo yang sedang emosi. Heru nggak tahu apa yang membuat Mas Bejo jadi emosi tiba-tiba begitu. Mungkin dia sempat salah bicara.
Heru memejamkan matanya meski nggak tidur selama sejam. Ini rekor terlama dia berhasil pura-pura tidur. Padahal sejak tadi dia terus tersiksa. Matanya terasa pedih karena dipaksa untuk terpejam. Mas Bejo melambatkan laju mobilnya. Heru mengintip perlahan. Dia melotot spontan.
"Kok ke sini? Ini udah lewat dari jalan rumahku! Kenapa nggak bangunin aku?" tanya Heru kencang. Mas Bejo masih bungkam.
Apalagi ketika cowok itu berbelok ke sebuah perumahan. Lah? Ini perumahan Chiko. Tepatnya juga perumahan Mas Bejo. Heru menoleh spontan dan kembali mengeluarkan protes.
"Kenapa ke sini? Kalau emang nggak mau nganterin aku, turunin aku di jalan besar!"
Mas Bejo masih bungkam. Dia memang nggak bisa mengungkapkan emosi dengan mengomel. Mas Bejo lebih suka bungkam, namun lebih suka membunuh mereka dengan tatapan kejamnya. Heru menelan ludah. Sepertinya pertengkaran ini serius sekali!
Bejo memarkir mobilnya di halaman, lalu membuka pintu depan. Heru juga melakukan perbuatan serupa. Dia membuka pintu dan bersiap pulang tanpa kata. Namun bukan Bejo namanya kalau nggak bisa memaksa Heru masuk ke dalam markas.
"Masuk atau aku bakalan ngelakuin sesuatu yang lebih gila besok!" ancam Bejo. Heru menelan ludah, namun akhirnya memilih untuk menurut. Dia melangkah mengikuti Bejo.
Heru melangkah mengikuti Bejo, masuk ke dalam kamarnya. Markas yang paling berbahaya. Tempat yang sangat menakutkan bagi Heru. Bejo menutup pintu kamarnya, lalu melempar kuncinya ke sembarang arah. Dia menatap Heru dengan tatapan menyeramkan. Sekarang mau apa, Jo?
"A... Ada apa?" Heru tergagap panik, tapi dia nggak mau menunjukkannya pada Mas Bejo. Kalau Mas Bejo tahu dia sedang takut, pasti Mas Bejo akan makin semangat membuatnya takut dan terancam.
"Duduk!"
Bodohnya, Heru menurut.
"Kita mau bahas apa?" Heru peka kalau soal ini. Mas Bejo nggak mungkin marah-marah tanpa sebab. "Aku salah apa? Salah ngomong, ya?"
Heru percaya diri ketika mengatakan itu karena dia memang selalu salah dalam hal omongan. Sarkasnya terlalu tinggi. Bahkan dia bisa membunuh hanya dengan satu kalimat. Membunuh secara mental.
"Kamu emang nggak pernah peka, ya!"
Lah?
Heru menggaruk tengkuknya. "Kata gebetan-gebetanku dulu sih gitu! Makanya aku jones mulu."
"Kita nggak lagi bahas gebetanmu!"
"Trus?"
"Bahas kita!"
Heru melongo. "Sebutkan masalah apa yang ada di antara kita hingga aku harus bahas itu bareng Mas Bejo!"
Bejo sudah benar-benar marah dan ingin menginterogasi. Dia sudah menahan diri sekian jam untuk nggak mengomeli Heru. Nyatanya, Heru memang senang sekali bermain-main dengan hatinya. Nggak, Heru memang berhak nggak baper karena memang itu bukan urusannya! Ini hanya one side, Jo!
"Kamu masih naksir Chiko sampe sekarang?!"
Heru melongo. "Kok malah bahas Chiko?"
"Kamu bilang masih naksir Chiko, kan?"
"Urusannya sama Mas apaan?"
"Aku berhak tahu!"
"Kenapa berhak tahu? Emang Mas siapa?"
Rahang Bejo mengerat sempurna. Sekarang ini dia sedang dalam mood paling amburadul dalam hidupnya. Ini pertama kalinya Bejo diuji oleh seorang manusia yang benar-benar... ah, Bejo mencoba menghela napas sekarang. Dia nggak boleh baper sekarang! Kalau dia baper, maka semuanya bisa runyam.
"Kenapa harus Chiko?" Mas Bejo bertanya frustasi.
"Mana aku tahu? Emang naksir bisa diatur?" Heru melawan.
"Kamu juga sok mesra sama cewek lain."
Kok Heru jadi makin muak, ya kalau begini terus? Heru menatap wajah Mas Bejo sekali lagi. Ingin sekali dia mengumpat, namun dia nggak bisa melakukan itu. Kalau dia bicara kasar, maka Mas Bejo akan makin bahagia dan senang sekali. Jadi cara satu-satunya adalah dengan sok cuek dan pedas.
"Urusan Mas apaan emangnya? Sebutkan satu aja alasan kenapa aku harus dengerin Mas!"
Bejo sebagai cowok yang sudah dewasa akhirnya harus tahu apa yang sudah terjadi belakangan ini. Hatinya sedang diuji, jadi dia nggak boleh terlalu membawa masalah ini ke jenjang serius. Dia kuat. Pasti kuat!
"Aku nggak suka kalau kamu deket-deket Chiko." Mas Bejo berbisik tajam. Heru makin yakin untuk menyatakan penolakan dan protesnya. Dia sadar kalau sejak tadi Mas Bejo pasti ingin membahas dan juga menginterogasi tentang Chiko.
Heru bungkam. Perasaannya sedang nggak enak sekarang. Kalau dia bicara lebih banyak lagi, maka hanya akan ada ungkapan kebencian yang muncul. Jadi dia diam saja, daripada menciptakan masalah. Kalau Mas Bejo jadi makin tersinggung bagaimana? Hubungan keluarganya dan Bejo sangat baik. Heru sudah diajari sejak kecil kalau dia nggak boleh memutus hubungan baik dengan seseorang. Makanya, meski Heru sudah ditolak Chiko, dia akan tetap berteman dengan cowok manis itu.
"Harusnya aku yang bilang kalau aku dan Mas itu yang masih baru."
Bejo mengerjap. Heru memalingkan wajahnya, menatap sesuatu yang menarik dari jendela kamar Bejo. Ada Chiko dan Gigih di halaman rumah mereka. Gigih tertawa bahagia, sementara Chiko sibuk mengomel. Gigih menempeli Chiko, bahkan mereka akhirnya berpelukan begitu. Dari sudut mana saja sudah jelas kalau ada sesuatu yang aneh di antara mereka.
Heru jadi trenyuh tiba-tiba. Dia jadi sadar diri tiba-tiba. Lihat itu, Ru! Bahkan meski Gigih nggak ada, Chiko nggak akan pernah memberikanmu tatapan sayang seperti itu. Tatapan Chiko sangat berbeda. Ketika menatapnya dan Gigih, tatapan Chiko jelas terlihat sangat berbeda. Meski Chiko marah-marah pada Gigih, namun mata itu terlihat sendu dan penuh kasih sayang.
Bagaimana bisa kamu menyelip dan menghancurkan kebahagiaan besar mereka, Ru? Kamu memang nggak memaksa, kamu merasa jadi korban karena sudah ditolak... tapi kamu merasakan sakitnya sekarang, kan? Bagaimana jika posisi Gigih ada padamu? Bagaimana kalau ada orang yang berniat merebut orang yang kamu sayangi? Pasti kamu jadi gila. Makanya, jangan berbuat jahat kalau nggak ingin dijahati orang lain!
Bejo menatap Heru tajam. Dia mengikuti arah pandang Heru. Hati Bejo sakit tiba-tiba. Tatapan Heru juga terlihat sedih. Bejo mengira Heru sedang baper dan juga cemburu karena kemesraan Chiko dan Gigih. Bejo cemburu! Sangat! Parah! Bahkan dia ingin sekali mematahkan kaki Heru dan mencongkel kedua mata Heru agar nggak bisa melihat orang lain lagi!
Pemikiran aneh, mirip psikopat! Dulu Bejo merinding ketika mendengar pengakuan Gigih serupa itu, tapi sekarang dia tahu bagaimana rasanya jadi Gigih.
"Cemburu sama mereka?" tanya Bejo tajam. Heru menoleh, lalu menggeleng pelan.
"Nggak."
"Tatapanmu nggak bisa bohong." Bejo sok menganalisis.
"Aku bilang nggak." Sekali lagi Heru mengingkari ucapan Bejo. Memang Heru nggak cemburu, kok! Dia hanya merasa... bagaimana, ya? Kalau cemburu karena ingin merebut Chiko sih nggak, tapi ini lebih pada... rasa trenyuh.
Bagaimana bisa dia berniat merebut Chiko dari Gigih? Gigih itu sudah nggak punya apa-apa selain Chiko. Gigih memang ganteng, tapi itu bukan jaminan Gigih bisa mendapatkan cinta setulus dengan Chiko.
Pokoknya sekarang ini Heru lebih memilih rasa sedih daripada cemburu. Sedih karena keterbatasan Gigih dan juga persamaan mereka, keduanya nggak bisa bersatu.
"Ngaku aja!"
Heru jengah. Bagiamana sekarang? Bilang nggak, malah nggak dipercaya. Bilang iya, malah salah. Heru mencoba menghela napas, lalu mengerjap beberapa kali.
"Aku emang suka Chiko. Aku naksir dia! Emang kenapa? Apa urusan Mas b***t? Chiko emang manis, pantes ditaksir meski aku cowok." Heru terlihat sangat menggebu. Antara kesal, marah, dan juga nggak sabar lagi. Dia menatap wajah Bejo tajam, menantang.
Bejo makin terusik. Cemburu yang awalnya berada pada stadium awal kini sudah mulai berkembang lebih jauh lagi. Bejo jadi lebih menakutkan daripada sebelumnya. Dia mendekat ke arah Heru, dengan langkah gontai namun terlihat penuh emosi. Mirip zombie.
"Ke... Kenapa? Jangan deket-deket!" Heru mencoba menghindar. Dia merogoh HP-nya di saku dan mencoba menghubungi Chiko untuk minta bantuan. Namun sebelum teleponnya tersambung dengan Chiko, Bejo lebih dulu merampas HP itu dan membuangnya. Nggak, Bejo membantingnya.
Bejo sudah telanjur kalap, cemburu, lalu membanting HP Heru. HP yang sudah dalam keadaan sekarat itu makin mengenaskan. HP itu hancur. Casing dan baterainya berceceran di lantai. Bahkan ada retakan yang sangat besar di bagian layar.
Heru melongo, tapi dalam sekejap napasnya naik-turun karena emosi. Dia sudah belajar tentang banyak hal. Tentang bagaimana jadi jahil namun nggak merusak barang orang lain. Dia sudah mencoba sebisa mungkin untuk nggak bertingkah begitu. Namun sekarang semuanya percuma. Dia sudah kalah. Bahkan sebelum Bejo melakukan perbuatan seperti ini, hatinya sudah cukup diuji.
"Kenapa...?" bisiknya pelan. Bejo menunduk. Dia sadar dengan apa yang sudah dia lakukan. Apalagi ketika melihat ekspresi Heru begitu aneh. Nggak ada ekspresi marah dan menantang yang cowok SMA itu tunjukkan.
Yang ada malah ekspresi terluka. Bejo panik. Nggak, nggak! Jangan ekspresi itu! Bejo lebih senang melihat Heru yang sangat emosional dan kesal. Bejo lebih senang melihat Heru yang sangat jujur dengan kemarahannya, bukan Heru yang sedang menahan tangis begitu!
"Kenapa kamu bikin orang makin muak?! Aku udah nggak mau cari musuh, tapi kamu masih bertingkah menjijikkan kayak gini! Maumu apa?!"
Bejo terpaku. Ekspresi Heru begitu aneh. Wajahnya memerah. Tangannya terkepal, bahkan badannya gemetar. Matanya nggak fokus. Bejo pernah melihat gejala panik dalam diri Chiko, tapi kalau Heru... Bejo nggak pernah tahu. Namun ekspresi Heru yang seperti ini jauh lebih menakutkan daripada serangan panik yang Chiko alami. Iya, Jo! Itu karena kamu menganggap Heru lebih berharga!
"Kamu nggak tahu gimana aku belinya?! Sekarang kamu hancurkan perjuangan orang dengan semena-mena! Puas kamu?!" tanya Heru sekali lagi. Bejo melongo dan menelan ludah. Sekarang dia sedang nggak ingin melawan Heru.
Dia merasa kalau ada hal yang sangat berbahaya ketika Heru marah. Memang benar kata mamanya dulu. Orang pendiam itu kalau marah berbahaya, namun lebih menyeramkan ketika orang humoris yang marah.
Heru sudah telanjur kalap.
"Ma... Maaf..." Bejo tergagap.
Heru menunduk, memungut HP-nya yang berantakan. HP itu mati dan hancur. Heru lupa kalau masih ada data yang tersimpan di memori telepon dan belum sempat dia pindah ke komputer.
"Mau hancurin apa lagi sekarang? Sekalian aja semuanya!" Heru menurunkan nada suaranya, namun ucapan itu malah makin membuat Bejo panas-dingin nggak keruan.
"Heru..."
"Kamu nggak akan pernah tahu gimana perjuangan orang lain mendapatkan sesuatu karena kamu udah punya segalanya. Kamu tinggal minta sama orang tuamu yang tajir melintir. Harusnya aku bisa minta ganti ke kamu, dan kamu juga pasti akan mengabulkannya. Tapi, nggak... nggak... aku nggak sepicik itu. Aku nggak akan minta ganti karena ini juga gara-gara aku yang teledor." Heru tersenyum pahit. "Tapi bisa, nggak kalau kamu menjauh sebagai gantinya?"
Bejo melongo. Dia sudah sering mendengar Heru mengusirnya. Dia sudah sering dengar ungkapan marah cowok SMA sarkas itu. Tapi kenapa hanya dengan cara seperti itu Bejo bisa dibungkam sempurna?
Heru menelan ludah lagi. Dia bukan cowok cengeng, tapi juga bukan cowok yang gampang emosi. Dia lebih menang dengan ucapan daripada fisik. Tapi sekarang HP-nya hancur. HP itu berbentuk fisik, Ru.
"Ru..."
"Aku anggap kita nggak pernah ketemu dan kenal. Itu harga yang harus kamu tanggung kalau masih ingin lihat aku sebagai manusia." Heru melangkah, menendang pintu kamar Mas Bejo. Pintu itu rusak seketika. Jangan pernah remehkan kekuatan orang yang sedang marah!
Heru keluar dari rumah Mas Bejo, melangkah keluar perumahan untuk mencari bus. Dia pulang dengan kendaraan itu saja. Sementara itu Bejo hanya terpaku. Dia menyesal!
TBC