Heru nggak pernah merasa sekesal ini pada manusia lain sebelumnya. Dia dianggap manusia yang hebat dalam mengontrol emosi, namun sekarang pujian itu dibalikkan sempurna. Heru jadi labil, selabil Chiko ketika bilang cinta atau nggak ke Gigih. Heru jadi agak sensitif, bahkan sekarang dia merasakan bagaimana mood yang awalnya bagus jadi buruk tiba-tiba hanya dalam hitungan menit. Pokoknya Heru belajar banyak soal rasa benci berkat Mas b***t.
Matanya mengerjap beberapa kali. HP-nya terus memekik nyaring. Heru mencoba mengubah pengaturan suaranya jadi silent, namun dia nggak sekuat itu. Dia nggak mau hanya gara-gara Mas b***t, dia nggak bisa dihubungi. Kalau Chiko yang menelepon bagaimana? Heru bukannya masih ingin mengejar-ngejar Chiko, tapi namanya saja baper... dan Heru juga naksir Chiko dengan alami, tanpa bantuan pelet... jadi rasa cintanya nggak bisa secepat itu menghilang. Heru menelan ludah lagi. Hanya gara-gara Mas b***t, mood-nya berantakan meski masih pagi.
Heru punya dua adik. Satunya cowok. Satunya cewek. Yang paling tua, jenis kelaminnya cowok. Meski begitu, adik Heru itu masih manja. Heru sering sekali menjahilinya. Yang paling kecil cewek, masih usia tiga tahun. Hobinya menciumi pipi Heru. Pokoknya Heru itu kakak tercinta untuk si Bungsu. Heru sayang kedua adiknya, tapi kalau adik cowok yang mulai manja, Heru geli sekali!
"Abang mau ke pantai, ya?" Kedua adiknya muncul dari balik pintu, tanpa mengetuk pintu kamar. Heru mengintip dari balik selimutnya dan menjawab malas.
"Hm..."
"Nggak ngajak kami?" Si Nomor Dua mencebik nggak terima. Meski sudah SMP begitu, Hiro selalu menempeli Heru. Bahkan dia nggak segan-segan mencium Heru. Hanya untuk membuat Heru menyerah. Tingkah Hiro itu mirip Heru ketika sedang kesal. Dia akan mencium seenaknya. Ah, dulu Heru juga sering begitu pada Chiko!
Sekarang karena dia tahu kalau Chiko punya orang lain dan hatinya nggak bisa diajak kompromi, makanya dia nggak mau lagi bertingkah begitu. Tingkah asal cium itu mungkin bawaan keluarga. Heru juga sering menjahili teman-teman cowoknya dan mencium pipi mereka, bukan hanya Chiko. Hiro pun gitu! Nggak usah mengira macam-macam!
Meski setelah itu mereka mengernyit jijik.
"Ikut! Ikut!" Si Bungsu ikut protes. Heru menggaruk kepalanya, lalu muncul dari balik selimut dengan tampilan mengenaskan.
"Abang ogah ke pantai. Panas! Besok hari libur, pasti rame di sana."
"Tapi kan enak..." Hiro protes. Hera, si Bungsu mengangguk. "Apalagi ikut sama mobil bagus punya Kak Bejo."
"Ikut! Ikut!" Hera berteriak kencang, telanjur semangat. Dia bersiap menangis, namun setelah itu Hiro meletakkan jari telunjuknya di bibir. Mengisyaratkan Hera agar nggak menangis. Hera menahan air matanya mati-matian.
"Kalian aja yang ikut Mas Bejo ke pantai. Abang mau bobok."
"Bunda bilang kan sama Abang."
"Emang bunda bilang apa?"
"Bilangnya gini, 'Dek, besok abang sama Kak Bejo mau ke pantai. Kalian mau ikut, nggak?' gitu..."
Heru menepuk dahinya. Duh, masalah lagi! Dia pusing sekali. Harusnya dia nggak boleh begitu. Pokoknya masalah yang menyangkut kemaslahatan batinnya harus segera ditangani dengan baik. Nggak mau, ya dia baper sendiri hanya gara-gara masalah begituan! Heru bukan masokis.
"Kalian mau ikut?" Heru menaikkan alisnya. "Kayak ada yang mau ngajak aja!"
"Bang...!"
Si Nomor Dua dan si Bungsu mulai merajuk. Mereka menarik-narik lengan Heru, mengisyaratkan agar si Abang mau ikut liburan ke pantai bareng Mas b***t. Heru menggeleng tegas. Pokoknya dia nggak mau, ya punya masalah dengan Mas b***t!
Kedua adiknya masih mengomel, bahkan mengancam akan menangis semalam suntuk agar Heru mau diajak main ke pantai bareng Mas Bejo. Akhirnya karena sudah nggak tahan lagi, Heru menyerah. Lihat saja! Heru punya rencana licik yang nggak akan bisa orang lain prediksi. Lalu dengan gaya sok ogah khas kakak terpuji, dia mengangguk.
"Horeee! Main ke pantai!" Hiro berteriak senang. Si Bungsu juga berteriak dengan bahasa khas anak kecilnya.
"Horeee!" katanya.
"Telepon Kak Bejo, ah!" Hiro berlari kencang ke arah kamarnya. Si Bungsu ingin ikut, namun Heru lebih dulu menahan si Kecil.
"Siapa besok yang mau ke pantai?" Dia tersenyum lebar.
"Ikut... Ikut!"
"Cium Abang dulu, dong!" Heru mendekatkan pipinya. Si Kecil mengecup pipi Heru sayang. Hiro sedang sibuk di telepon. Ketika Heru nggak sengaja mendengar, ada panggilan Mas Bejo di sana.
Heru mengerjap beberapa kali.
SEJAK KAPAN ADIKNYA PUNYA NOMOR MAS b***t?
***
Heru menggerutu. Wajahnya suntuk setengah hidup. Hidup ogah, mati nyusahin sekarang ini. Dia mengerjap beberapa kali. Jalanan terasa sangat panjang dan juga lama. Sejak tadi mereka nggak sampai juga. Heru sebagai cowok hobi keluyuran sebenarnya nggak masalah dengan perjalanan panjang. Dia senang-senang saja. Tapi beda lagi ceritanya kalau ada dalam satu mobil bersama Mas b***t. Berdua. Iya, hanya berdua!
"Kenapa nggak nyampe-nyampe juga?!" Heru menggerutu. Wajahnya sudah suntuk. Sangat suntuk.
"Butuh pengorbanan dan penantian buat sampai ke tempat yang lebih indah." Mas Bejo menjawab dengan sangat filosofis, melupakan eskpresi Heru yang sudah ingin mengulitinya hidup-hidup.
Kenapa mereka hanya berdua sekarang ini?
Baik, mari kita flashback sebentar!
Semalaman kedua adiknya nggak tidur saking bahagianya. Si Bungsu berkali-kali terbangun dan bertanya jam. Si Nomor Dua sudah terlelap, jadi nggak tahu kalau si Bungsu mengunjungi kamarnya berkali-kali. Mereka sangat bahagia hingga terlalu menggebu. Namun keesokan paginya, nasib bicara berbeda. Hera tiba-tiba sakit. Badannya panas. Demam. Bunda bilang dia berlari ke kamar mandi dan mandi malam-malam, berkata kalau dia mandi dulu biar langsung berangkat lagi tanpa mandi.
Si Nomor Dua lebih parah. Lebih fenomenal lagi. Gebetannya juga sakit. Sebagai cowok yang harus menggebet, dia harus menunjukkan kesan baik. Maka si Nomor Dua lebih memilih mengunjungi gebetan daripada ikut kakaknya ke pantai. Si Bungsu malah nggak memungkinkan pergi ke sana.
Jadi, karena Mas Bejo sudah telanjur menjemput, dan bunda juga merasa nggak enak... akhirnya bunda memaksa Heru dan Mas Bejo saja yang berangkat ke pantai. Begitulah ceritanya!
Sekarang, Heru dan Mas Bejo ada di dalam mobil, berdua. Menuju pantai yang sangat indah katanya. Pantai yang super jauh, melewati sawah-sawah, dan Bejo mengatakan dengan sangat bangga kalau dia akan mengajak Heru ke Teluk Love. Teluk Cinta.
"Dua orang cowok mainnya ke teluk yang pake nama cinta-cintaan! Jijik!" Heru mengomel. Dia bukan cowok tukang ngomel, namun kalau ada Mas Bejo... dia bisa jadi sentimen dan sensitif begitu!
Kan malu!
"Apalah arti sebuah nama..." Mas Bejo tersenyum cerah. Dia nggak peduli dengan mood Heru yang berantakan itu. Dia hanya ingin melihat Heru yang bahagia dan juga ceria ketika sampai di pantai nanti. Bejo sudah mengabaikan semua aura negatif. Pokoknya nanti dia harus ke Teluk Love, lalu foto berdua bersama Heru di sana.
Heru menatap Mas Bejo yang sibuk menyetir. Dia mulai sadar sesuatu. Mas Bejo itu memang mengalami krisis dengan pemberian nama! Mas Bejo itu tipe manusia yang asal memberi nama. Anjing jantannya saja diberi nama Sherly.
"Nggak ada teluk yang lebih normal untuk kita kunjungi?" Heru bertanya pelan. Sedikit sarkas.
"Ada, ada..." Mas Bejo mengangguk semangat. "Namanya..."
Heru menunggu.
"Teluk Hati."
Ekspresi Heru sudah nggak enak. Kalau saja Mas Bejo nggak menyetir, mungkin dia sudah menjambak rambut Mas Bejo dengan penuh dendam. Heru mendengus, namun nggak mengatakan apa-apa. Daripada dia lelah karena mengurusi Mas Bejo, lebih baik dia duduk saja dan menikmati pemandangan sekitar.
Beberapa menit setelah itu, mereka sampai. Heru menapakkan kakinya di pasir, meninggalkan sandal jepitnya dekat mobil. Dia juga nggak memperbaiki penampilannya. Nggak peduli kalau ada mbak-mbak seksi yang mengajaknya kenalan. Ini bukan Bali, jadi mana mungkin ada bule berjemur seperti itu di sini! Karena itulah Heru menyerah. Apalagi ketika tahu Hiro dan Hera nggak bisa ikut. Dia hanya berdua bersama Mas Bejo. Nggak usah tampil ganteng, nanti dikira sengaja senang diajak liburan. Makanya Heru sengaja tampil lusuh begitu. Celana pendek rumahan selutut, kaos oblong, sandal jepit. Sudah.
"Woah! Pantai!" Dan dia lupa dengan tujuan semula ketika melihat pantai itu terhampar di depan matanya. Awalnya dia ingin ogah-ogahan bersama Mas Bejo, asal lihat saja lalu pulang. Begitu rencananya semula. Namun sekarang nggak lagi.
Heru malah termakan oleh omongan sendiri. Justru dia sangat bahagia, terlalu antusias sampai berlari ke arah bibir pantai. Mas Bejo terkikik diam-diam di belakangnya. Sepertinya Heru nggak pernah main ke sini.
Mas Bejo mengeluarkan senjatanya untuk hari ini. Sebuah kamera untuk mengabadikan tingkah manis kesayangannya. Dan... dia mulai bergerak.
"Mas, Mas... kalau ke sana masih jauh, nggak?" Heru menunjuk tempat lain, melompat nggak tahu malu. Mas Bejo tersenyum lebar.
"Mau ke sana?"
Heru mengangguk cepat.
"Katanya, kalau menyatakan cinta di Teluk Love, cinta kita bisa abadi sampe kakek-kakek."
"Idih, masih percaya gituan!" Heru mencibir. "Terserah, yang penting indah!" Dan cowok itu kembali berlari ke sana kemari dengan senangnya. Mas Bejo terkikik diam-diam. Ternyata di balik sifat pedas dan sarkasnya, Heru itu lumayan kekanakan.
Dia sempat membawa kerang-kerang, lalu memasukkannya dalam saku dan berbisik, "Aku mau bikin taman kerang!"
Mas Bejo hanya tersenyum dan sibuk membidik dengan lensanya. Hanya saja Heru mulai sadar dengan sesuatu.
"Mas fotoin aku?" tanyanya. Mas Bejo mengangguk cepat.
"Buat kenangan."
"Hapus!" Heru terusik.
"Kenapa?"
"Tampilanku masih kayak gembel! Kalau tahu bakalan difoto pake kamera mumpuni gitu, dari rumah aku dandan yang cakep."
"Kamu udah cakep meski pake baju gitu, kok!"
"Hapus!"
"Nggak, ah! Udah banyak banget! Masa mau dihapus gitu aja? Sayang sama baterai, lho! Buang-buang daya."
"Yang nyuruh foto aku siapa?"
"Hati nuraniku!"
"Hapus, nggak?"
"Ogah, ah!"
Sekarang Heru bukannya berlarian di pantai, tapi sudah berlari untuk mengejar Mas Bejo di pantai. Heru masih mencoba menggapai baju Mas Bejo, tapi sejak tadi dia nggak bisa. Mereka berkejaran, berlarian tanpa henti.
Hingga akhirnya mereka sampai di tempat itu. Tempat utama dari tujuan mereka. Teluk Love. Bentuknya memang lope-lope begitu.
"Nggak mau nyatain cinta kamu ke aku di sini? Biar cinta kita abadi sampe kakek-kakek gitu!" Mas Bejo tersenyum lebar. Heru menggeleng kencang.
"Jijik! Aku bukan homo, Mas! Lagian aku nggak percaya sama gituan!"
"Kalau gitu biar aku aja yang nyatain cinta ke kamu." Mas Bejo tersenyum lebar.
"Jijik!"
"Lho, katanya tadi nggak percaya kalau di sini bisa abadi?"
Heru menggeleng kencang. Dia nggak mau mendengar yang seperti itu, jadi dia melarang Mas Bejo. Heru memang nggak percaya dengan yang seperti itu, tapi kalau dia ke sini dengan orang yang dia taksir... nggak apa, dia pasti akan percaya. Jadi, kepercayaan Heru dengan yang seperti itu sifatnya kondisional.
"Aku ogah dengernya! Jijik!"
"Kalau gitu tutup kuping aja, Ru!"
"Tetep aja denger!"
"Aku mau nyatain cinta di sini."
"Kalau ditolak ada efeknya, nggak, sih? Kalau emang efeknya jelek buat yang nyatain, boleh, nggak aku tolak aja?"
"Kamu kejam."
"Mas mau apa? Main sama aku juga nggak menghasilkan, Mas."
"Kalau aku seneng main sama yang nggak menghasilkan itu gimana?"
"Masa depanmu adalah dengan wanita-wanita d**a gede yang melambai mirip pohon pepaya."
"Ru..."
"Mas Bejo lagi sakit, ya?" Heru menggaruk tengkuknya.
Bejo nggak mau bahas masalah begini dengan Heru karena dia tahu kalau semua yang telah terjadi nggak akan pernah ada benarnya. Heru akan menolaknya. Heru memang nggak pernah menerimanya. Bejo tersenyum, lalu menyentuh kening Heru dengan jari telunjuknya.
"Mau kamu tolak atau nggak, aku tetep pengen bilang kalau aku suka kamu."
Heru melongo. Dia memang sudah sadar ada yang nggak beres dengan otak Mas Bejo, tapi dia nggak menyangka kalau Mas Bejo akan mengatakan ini sekarang. Masih terlalu dini meski hanya untuk mengatakan suka, tahu!
Tapi, bukan Heru namanya kalau nggak iseng dan juga kurang kerjaan.
"Makasih, jangan repot-repot, Mas! Jangan sungkan-sungkan!"
Mas Bejo tersenyum. Antara miris dan juga terpesona. Meski Heru nggak suka, tapi Heru nggak bicara dengan kasar. Itu jadi hal yang menurut Mas Bejo miris sekali. Biasanya Heru akan bicara kasar kalau memang nggak suka. Karena itulah Mas Bejo terpesona dengan kelakuan Heru.
"Kalau udah lulus nanti, kamu mau nerusin ke mana?" Mas Bejo iseng bertanya. Siapa tahu saja Heru mau curhat. Mas Bejo senang sekali mendengar curhatan Heru yang penuh dengan api itu.
"Aku males cerita."
"Itung-itung buat bayaran aku nganterin kamu ke sini." Mas Bejo tersenyum geli. Heru mengerjap beberapa kali.
"Pamrih, nih ceritanya?"
"Aku pengen dengerin rencana masa depan kamu."
"Bukan urusan Mas."
"Kenapa bukan urusanku?"
"Karena Mas nggak ikut biayain."
Sekarang ini Heru sedang ingin bicara kasar. Mood-nya berantakan, tapi dia nggak mau cepat-cepat pergi dari tempat ini. Dia masih ingin berada di sini. Angin yang menerpa rambut pendeknya begitu menyenangkan.
"Kalau udah lulus nanti, Chiko mau nerusin ke jurusan psikologi katanya." Bejo berbisik pelan.
"Aku tahu."
"Dia udah punya gambaran masa depannya."
"Iya, Chiko emang keren." Heru nggak sengaja memuji. Alis Mas Bejo naik sekian centi. Dia melirik Heru yang tiba-tiba tersenyum.
"Kok tumben muji orang lain?"
"Chiko kan emang keren."
"Kamu suka?"
Heru mengangguk. "Iya, pernah naksir. Tapi dia nolak aku demi kakaknya."
Oh, Heru! Sebentar lagi akan ada gelombang tsunami yang sangat besar menerpa kamu! Kamu nggak akan pernah bisa tenang sekarang karena ada orang yang lebih peka dan sadar. Sekarang kamu mau apa, Ru?
Heru bahkan nggak sadar ataupun peka dengan apa yang sudah dia katakan sebelumnya. Dia mengambil HP-nya di saku, lalu merengut.
"Sinyalnya kenapa sekarat gini, sih?" Dia mengeluh, mengabaikan ekspresi gelap Mas Bejo yang siap menguliti makhluk hidup di sekitarnya.
Mood Heru juga mendadak makin hancur ketika melihat HP-nya. Dia merengut nggak suka karena HP-nya mati suri. Namun, di saat yang sama... Tuhan sedang ingin menganalisis respon Mas Bejo.
Chiko menelepon.
Heru tersenyum lebar. Bejo masih menatapnya tajam. Seharusnya Heru sadar ada yang aneh dengan Mas Bejo. Harusnya begitu! Mas Bejo sejak tadi mengoceh dan tertawa, namun sekarang dia terlihat sangat pendiam. Heru nggak peka dengan perubahan Mas Bejo karena dia sibuk tersenyum karena Chiko menelepon.
"Kangen, yak?" Heru mengawali telepon Chiko dengan pertanyaan yang sangat ambigu. Mas Bejo merengut nggak suka. Dia sudah menganggap Chiko seperti adik kandungnya sendiri, tapi sekarang...
Chiko seperti sedang mengkhianatinya.
Meski Chiko nggak berniat melakukan itu. Bagaimana lagi? Bejo sudah telanjur baper karena mendengar kenyataan yang pahit itu. Dia kira Heru dan Chiko itu hanya teman biasa, tapi nyatanya Heru itu pernah naksir Chiko. Sepertinya Bejo harus mendirikan aliansi yang sangat keras bersama Gigih untuk mengikat orang yang mereka cintai agar nggak bermain terlalu sering.
Apalagi Heru itu berbahaya. Dia lebih angin-anginan dibanding Chiko. Tingkah Heru itu mengejutkan.
"Kamu lagi sibuk, ya?" Chiko tersenyum lebar di sana. Dia mencari Mas Bejo di rumahnya, namun pembantu Mas Bejo mengatakan kalau cowok macho itu sudah pergi sejak pagi. Katanya mau ke pantai.
"Iya, aku lagi liburan, dong! Keren, kan?" Heru terkikik.
"Enak banget! Aku nggak diajak!"
"Enak, dong! Kamu nggak bilang, sih kalau mau ikut! Ah, tapi jangan, deh! Kalau kamu ikut, bonusnya pasti ada. Nggak mungkin kamu berangkat sendiri. Ada bodyguard-nya. Jadi aku mana bisa genit-genitan ke kamu..." Heru terbahak kencang. Niatannya bercanda. Sungguh, hanya bercanda!
Heru sengaja bercanda begitu dengan Chiko, karena dia tahu kalau dia cukup ngenes selama ini. Ditolak cewek sering, ditolak cowok juga pernah! Paling nggak dia merasa itu sebagai bahan candaan, nggak sekaku dan seserius itu.
Sayangnya Heru salah tempat. Sekarang ini baik dirinya maupun Chiko sedang dalam masalah. Gigih mendengar percakapan mereka, begitu juga dengan Mas Bejo. Ekspresi kedua cowok itu terlihat buruk. Bejo mencoba menahan sabar. Marah-marah dan meledak memang bukan gayanya, tapi untuk pertama kalinya dia merasa hatinya sedang diuji. Dia menelan ludah, mencoba mengambil napas agar kesabarannya terjala makin lama.
"Kamu ke pantai, kan?" Chiko masih bertanya pelan.
"Iya, ke Teluk Love. Kapan-kapan aku pengen ngajakin ke sini." Heru terkikik. Keduanya lupa kalau akan ada dua hati yang sedang terluka ketika mereka membahas ini.
TBC