9th

2772 Kata
            Selama sekian tahun Chiko berteman dengan Heru, dia nggak pernah melihat Heru seperti ini. Wajah Heru terlihat sangat kusut. Bahkan sudah terlipat hingga berantakan. Chiko curiga. Sekarang dia sudah mulai paham apa yang membuat Heru jadi begini. Nggak ada orang yang berhasil membuat Heru kesal selain Mas Bejo. Heru terus bercerita soal Mas Bejo, meski Chiko hanya menimpali dengan canggung. Chiko nggak bisa memosisikan dirinya karena dia benar-benar ada di tengah. Mas Bejo itu kakaknya, Heru teman dekatnya. Dua-duanya penting. Kalau Chiko membela salah satunya, dia nggak bisa. "Aku benci sama dia, Ko!" Heru kembali menggerutu. Pasalnya, sudah beberapa menit berlalu, namun inti yang Heru ucapkan tetap kalimat itu. Aku. Benci. Sama. Dia. "Kamu beneran ngambek, ya?" tanya Chiko pelan. Heru mendengus. "Apa aku pernah ngambek ke kamu?" Dia bertanya balik. "Nggak, sih! Meski aku udah ngomong kasar, kamu tetep cengengesan. Ini pertama kalinya aku lihat kamu kayak gini." Heru memang benar-benar tipe bom waktu. Dia akan meledak ketika waktunya sudah habis. Dan sekarang Heru jadi begini karena Mas Bejo. Mereka... cocok. Seperti Chiko dan Gigih, saling melengkapi begitu. Ketika satunya agak angin-anginan, satunya lagi bertingkah dewasa. Ketika satunya agak iseng, satunya lagi bijaksana. Jadi Chiko mulai paham ke mana alur dan lari kedua pasangan baru ini. "Dia orang pertama yang bikin aku muak, Ko! Aku menghindar, tapi dia ngejar." "Kok aneh, ya? Mas Bejo itu bukan tipe orang yang kayak gitu. Dia itu legowo, lho! Kalau nggak bisa dapat ya dia nerima dengan lapang d**a. Dulu dia pernah daftar sekolah di luar kota dan nggak dibolehin sama orang tuanya. Dia nggak berontak atau protes. Pas aku tanya, dia jawab kalau semua itu ada hikmahnya. Orang tua Mas Bejo pengen yang terbaik, dan Mas Bejo hanya harus mendengarkan yang terbaik untuknya." "Njiiiirrr... pasrah banget!" "Makanya aku bingung, Ru!" Heru mencoba mencari cara agar terlepas dari Mas Bejo sekarang. Nggak lucu kalau dia harus main kejar-kejaran karena masalah sepele begini. Dia nggak mau Mas Bejo makin berkuasa dan membuat semuanya jadi runyam. Lagi pula, Heru masih ngambek karena kejadian kemarin. HP-nya hancur, namun bukan itu yang jadi alasannya marah. Heru benci dengan sikap Mas Bejo. Kalau HP, dia sudah bisa menerima. Lagi pula dia nggak punya gebetan yang bisa dihubungi. Kalau ada PR, dia bisa menelepon Chiko pakai telepon rumah. Malah dia senang karena dengan begitu Mas b***t nggak akan bisa menghubunginya lagi. Rasa muak yang sekarang membuncah dalam hatinya. Dia nggak akan ngomel-ngomel pada Mas Bejo lagi. Dia mau cari aman. Heru akan diam. Sediam HP-nya yang kini hanya jadi bangkai. Ah, dia nggak mau beli yang baru. Nanti-nanti saja, lah! Dia juga bukan orang yang sangat penting hingga harus dicari orang lain seperti Chiko. "Eng.. Ru..." Chiko kembali berdehem. Meski Chiko nggak ikut bermasalah dengan mereka, tapi dia kebagian bingungnya. "Apa?" "Mas Bejo kirim BBM, nih! Nanyain kamu." Heru menghela napas. Emosi yang tadi sempat Chiko lihat kini seolah menghilang entah ke mana. Ekspresi Heru jadi makin menyeramkan sekarang. Heru yang diam itu jauh lebih berbahaya daripada yang penuh ekspresi. Lagi pula, cowok itu juga bungkam dan nggak marah-marah seperti tadi. "Kamu jawab terserah, Ko. Aku nggak peduli." Kok gitu? Heru benar-benar sudah berada pada ambang batas kesabaran rupanya. Chiko menelan ludah. Dia menunduk, mengetik sesuatu di HP-nya. Isinya sangat singkat, namun bisa membuat Mas Bejo panas dingin di sana. "Heru ngambek. Dia nggak mau ngomong apa2, Mas." Bejo kelimpungan. Dia nggak bisa minta maaf. HP Heru sudah hancur dan nggak bisa dihubungi. Kalau pergi ke rumahnya, Heru pasti melarikan diri. Bejo menyesal. Dia sudah berbuat sesuatu yang terlalu jauh. Padahal sebelumnya dia pintar mengontrol emosi. Lalu kenapa ketika menyangkut masalah Heru, pikirannya kosong dan nggak terkendali? Heru itu hanya murid SMA biasa, yang kelakuannya hiper dan juga iseng. Dari sudut mana pun, Heru itu biasa saja. Dia maskot kelas, menonjol kalau dalam hal dihukum, tapi itu bukan sebuah kelebihan. "Ru, Mas Bejo ngajakin kamu ketemu. Katanya ada yang mau dia sampaikan." "Kapan?" "Katanya nanti, pulang sekolah. Dia ngajakin ketemu di mana gitu, terserah kamu katanya." "Dia aja yang tentuin tempatnya." Chiko menelan ludah. Jawaban Heru datar sekali. Chiko merasa sangat sungkan karena sudah terseret dalam masalah mereka secara nggak langsung. Padahal dia harus menjemput Gigih nanti. Chiko hanya kurir pengantar pesan, jadi Heru nggak akan pernah mengerti apa yang akan terjadi selanjutnya. Chiko serba salah sekarang. "Dia ngajakin ketemu di tempat makan. Kamu bebas milih restoran mana aja." Makan dan Heru itu nggak bisa dipisahkan. Chiko menelan ludah. Dia juga ingin ikut. Syukur kalau Heru meminta bertemu di restoran mahal. Chiko berbinar, menatap Heru dengan tatapan pengen. "Kamu maunya di mana?" tanya Heru pelan. "Restoran Jepang. Aku pengen makan takoyaki yang paling mahal." "Minta aja ke sana!" "Beneran? Yuhui!" Chiko bersorak, namun dalam beberapa detik, dia berhenti. Heru menyerah semudah ini? Nggak mungkin! Nggak mungkin Heru mau-mau saja dirayu begini ketika sedang emosi. Meski Heru itu lemah dalam hal makanan, namun kalau Heru sedang emosi, makanan selezat apa pun pasti nggak ada harganya. "Kamu datang?" tanya Chiko lagi. Curiga. "Nggak. Ngapain?" Nah, kan! "Kok nggak datang? Kan kamu setuju sama restorannya." Heru menggeleng kencang. Dia masih nggak banyak bicara seperti biasanya. Chiko menelan ludah. Sekarang dia tahu betapa seramnya Heru ketika sedang emosi. "Aku nggak mau ketemu dia. Males banget!" Chiko kembali menunduk. Harapannya makan di restoran Jepang gratisan pupus begitu saja. Dia kembali menghubungi Mas Bejo, mengatakan kalau Heru nggak mau. Setelah itu, dia melihat Heru keluar kelas. Heru kabur entah ke mana. *** Heru itu keras kepala. Kalau dia bilang nggak, artinya memang nggak. Meski dipaksa mati-matian, namun dia tetap nggak goyah. Chiko nggak mau ikut campur, jadi dia juga nggak merayu Heru. Untuk apa? Heru dan Mas Bejo itu sudah cukup dewasa untuk mengatasi masalah mereka sendiri. Lagi pula, keduanya cowok. Jantan. Batangan. Kalau mau perang dan main anggar sampai mati, Chiko nggak boleh ikut-ikut. Bel pulang berbunyi setelah itu. Setelah obrolannya tadi, Heru lebih banyak diam selama pelajaran. Bahkan ketika guru memancing Heru untuk berpendapat seperti biasa, Heru malah diam saja. Ketika ditanya, "Kok tumben diem? Sakit gigi?" Heru menjawab dengan sangat datar, "Mesin aja kalau kelamaan dipake kan rusak, Pak." "Kamu mesin yang rusak?" "Bisa dibilang gitu. Udah lama nggak dilumasi, nih!" Seisi kelas terbahak kencang, tapi Heru masih tetap santai di kursinya. Chiko hanya mengusap dahinya. Dia tahu masalah Heru, karena itulah dia nggak tertawa seperti teman-teman yang lain. Bahkan ketika guru bahasa hari itu memerintahkan Heru untuk bercerita dan berisik seperti biasa, Heru malah tersenyum dan menggeleng. "Kalau nggak ada celoteh Heru kok ya sepi sekarang!" Guru bahasanya kembali berkomentar. Heru hanya diam saja. "Lagi sakit gigi, Buuuukkk!" Teman-temannya yang lain kompak menjawab. Guru sebelumnya juga mengira begitu. "Udah ke dokter?" Heru tersenyum saja. Biasanya dia menjawab ngawur, namun sekarang dia nggak menjawab sama sekali. Kelas hari itu memang berjalan efektif, tapi nggak ada semangat seperti biasanya. Ketika bel pulang berbunyi, Heru masih malas bergerak. Chiko sudah bergerak lebih dulu. Dia terburu-buru ingin bertemu kakak tercinta katanya. Jadi, Heru sengaja tinggal di kelas lebih lama. Dia melangkah gontai, hingga akhirnya kakinya berhenti. Matanya mengerjap beberapa kali. Seseorang berdiri di depan gerbang. Heru menelan ludah. Kalau hanya sekadar abang-abang ojek, dia nggak akan sebaper ini. Heru berbalik spontan. Untuk saat ini dia nggak mau ketemu orang itu! Dia masih belum cukup mental. Dia berani, tapi dia nggak mau mencari masalah dengan bertengkar seperti anak kecil di sekolah. Kalau dia terpaksa ikut Mas b***t, maka mereka berdua akan terdampar pada kecanggungan lagi. Jadi, untuk saat ini memang lebih baik dia menghindari Mas Bejo. Untung saja tadi dia cukup peka dan juga memprediksi ini. Jadi Heru menitipkan motornya di belakang sekolah agar bisa melompat dan kabur dari gerbang belakang. Dia sudah memprediksi ini akan terjadi. Dia sengaja melakukannya agar bisa kabur sewaktu-waktu. Gerbang belakang memang jarang dibuka, namun bukan berarti nggak bisa dilompati. Ketika jam pulang, banyak murid yang lebih memilih melompat dari sana. Terkadang ada guru piket yang bagian ngomel-ngomel macam, "Udah ada gerbang yang bener dan buka, masih aja cari yang tutup!" Padahal kan mereka bisa saja lewat belakang karena fungsinya memang jalan lain, selain gerbang utama. Heru juga ikut nakal kali ini. Dia melompat dari sana hanya untuk menghindari Mas b***t yang sedang menunggunya di depan sekolah. Bahkan ketika dia sudah berhasil melompati gerbang belakang, kakinya kembali melangkah menjauh. Dia harus segera mengambil motornya dan kabur. Dan lagi, Heru sudah memprediksi sesuatu. Mas b***t pasti akan menghampirinya di rumah. Karena itulah, Heru sengaja nggak pulang lebih dulu. Dia berputar, mencari gang-gang sempit untuk pulang. Dia nggak peduli dengan Mas b***t yang menunggu di sana. "Kita lihat aja mau sampe jam berapa nunggu di sekolah! Tunggu aja hal yang nggak pasti!" Heru tersenyum puas. Lebih beruntungnya lagi, dia nggak bawa HP. Dia nggak punya. Aman. Sore mulai menjelang. Mas Bejo gelisah. Dia mencoba meminta izin pada satpam untuk masuk ke dalam sekolah. Dia sedang menunggu adiknya, namun nggak keluar juga. Karena itulah satpam sekolah mengantarnya. Bejo sudah tahu Heru kelas berapa, dan ketika mereka sampai di kelas... kelas itu kosong. Bahkan nggak ada siapa pun di lorong dan juga laboratoriumnya. Hanya ada anak-anak ekskul karate yang sedang berlatih dan juga anak basket. Lainnya nggak ada. "Ada dua kemungkinan, Mas kalau emang nggak ada di kelas. Dia udah pulang. Mungkin Mas datangnya telat." Bejo menggeleng. "Saya datang sebelum bel pulang bunyi, kok, Pak. Bahkan temen adik saya itu bilang kalau mereka masih ada di kelas. HP adik saya rusak, jadi saya nggak bisa menghubungi dia." "Mungkin dia udah keluar pas Mas nggak memperhatikan." "Saya selalu menatap pintu gerbang. Saya hafal adik saya. Lagian dia juga bawa motor kalau ke sekolah. Saya hafal motornya." Pak satpam melongo. Kalau memang adiknya sudah bawa motor, kenapa cowok ini malah repot-repot menjemputnya dengan mobil? Pak satpam masih bingung, namun ketika ingin menyuarakan kebingungan itu, tiba-tiba Pak satpam teringat sesuatu. "Ah, bisa jadi dia lompat lewat gerbang belakang, Mas." Mas Bejo curiga. Iya, Heru itu seperti kancil. Dia pintar sekali kalau dalam urusan kabur begitu. Akhirnya karena sudah merasa sungkan, Mas Bejo pamit pulang. Dia harus segera ke rumah Heru sekarang. Bejo mencoba mencari keberadaan Heru di rumahnya, namun ternyata sia-sia. Hiro muncul dan membuka pintu. Adik Heru yang pertama itu hanya mengerjap dan menggaruk tengkuknya. "Abang belum balik, Kak." "Kira-kira dia ke mana?" Hiro menggeleng pelan. "Kan nggak bisa dihubungi. HP-nya rusak. Padahal udah ditawarin dibeliin yang baru, tapi dia nolak. Katanya nggak mau jadi kekinian." Duh, Heru itu selalu punya jawaban ngelantur yang membuat orang kangen! Itu hanya kamu yang menganggap begitu, Jo! Sebenarnya tujuan Bejo menghampiri Heru adalah untuk meminta maaf. Tapi Heru malah nggak mau ketemu. Sekarang Bejo kelimpungan. Ketika didatangi ke sekolah, Heru kabur. Di rumahnya malah belum pulang. "Dia selalu balik lama, ya?" Bejo bertanya pelan. Hiro menggeleng. "Kalau dia main dulu biasanya lama, Kak. Tapi kalau nggak ada urusan, pasti pulang cepet. Dia kan gampang lapar orangnya, pasti pulang buat cari makanan." "Boleh Kakak tunggu Heru sampe balik, nggak?" "Boleh, lah, Kak! Jangan sungkan gitu! Anggap aja rumah sendiri." Hiro lebih ramah daripada Heru. Duh, calon adik ipar yang baik! Bejo duduk. Hiro menemaninya sambil membawa buku pelajaran. Ternyata mereka itu memang bertolak belakang. Heru nggak suka belajar, itu kata Chiko. Kalau Hiro rajin juga ternyata. "Kalau dia nggak balik biasanya pergi ke mana dulu?" Bejo mengulik informasi dengan cara modus. "Dia tuh nggak pernah punya basecamp. Dia kan mager orangnya. Kamar adalah istananya, tapi kalau udah nggak pulang ya nggak pulang sampe malam." "Trus pergi ke mana dia?" "Kalau lagi bawa motor biasanya dia keluyuran nggak jelas. Dulu aja pernah sampe malem banget dan masih pake seragam. Pas ditanya juga nggak jawab." Sepertinya Bejo tahu masalah itu. Sekarang ini Heru sedang menghindarinya. Heru kabur daripada harus bertemu dengannya. Bahkan ketika azan maghrib sudah berkumandang, Heru belum balik juga. "Kok dia lama, ya?" Bejo cemas kalau lama-lama begini. Hiro mengerjap dan menggeleng pelan. Hari sudah mulai malam, namun abang tersayang masih belum pulang juga. Hiro juga jadi cemas dan nggak tahan lagi. Dia menelepon ayahnya. "Yah, Abang belum balik." Ayah Heru di sana mengomel tanpa henti. Anak sulungnya itu harusnya lebih dewasa, tapi hobinya malah aneh sejak dulu. Kalau dimarahi selalu saja bisa menjawab dengan cara jahil. Bahkan ketika Hera dan bundanya datang, Heru masih belum balik juga. Bejo merasa sungkan karena sudah lama menunggu, tapi hatinya nggak bisa berbohong. Dia benar-benar cemas dengan keadaan Heru. "Bunda, Abang ke mana?" Si Bungsu juga ikut menangis. "Abang masih di jalan, Sayang." Bundanya terpaksa berbohong. Bejo coba menghubungi Chiko, sekiranya tahu Heru ada di mana. Chiko yang sedang mengajari Gigih mengerjakan PR juga bingung dan mengatakan nggak tahu apa-apa. "Biasanya dia main ke mana, Ko?" Mas Bejo terdengar super panik. "Heru itu suka main ke games center, Mas. Tapi aku nggak tahu di mana. Dia sukanya pindah-pindah." Bejo tanggap lebih dulu. Kalau dia menunggu di sini saja, Heru nggak mungkin ketemu. Jadi, ketika ayah Heru pulang, mereka berdua mencari Heru dan berpencar. Bejo mencoba mencari di tempat games center yang ada di kota mereka, sedangkan ayah Heru mencoba menghubungi guru dan juga teman-teman anak sulungnya itu. "Duh, punya anak sulung cowok kok ya malah jadi yang paling mengkhawatirkan!" Ayah berkomentar dan masuk ke dalam mobil. Bunda nggak ikut dan menjaga Hera. Hera menangis ketika melihat ayahnya pergi bersama Hiro. "Ayah hati-hati, ya! Kalau Heru ketemu jangan dimarahin dulu di jalan, Yah! Denger dulu apa penjelasan dia." Bunda berpesan. Ayah mengangguk dan akhirnya pergi bersama Hiro. Sementara itu Mas Bejo sudah berkeliling sejak tadi, mencari keberadaan Heru. Logikanya, Heru itu cowok. Dia juga nggak polos. Anak SMA memang rasa ingin tahunya tinggi, tapi Heru itu bukan tipe cowok yang suka berbuat nakal. Tapi sikapnya yang diam ini justru lebih menakutkan. Bejo lebih suka Heru yang ngomel-ngomel tanpa henti daripada yang diam dan menghilang begini. Semua orang jadi kelimpungan dan panik, tapi hati Bejo jauh lebih tercabik. Bejo lebih cemas dan nggak tahan lagi. Berkali-kali dia hampir menabrak kendaraan lain karena terlalu mengebut dan gagal fokus. Apalagi ketika banyak orang yang melongokkan kepala dan mengumpat, Bejo juga balas mengumpat. Biasanya dia akan meminta maaf kalau memang salah, namun sekarang dia malah balik emosi. Ini bukan Bejo yang biasanya. Ini bukan dirinya. Nggak ada yang tahu Heru ada di mana sekarang. Kedua orang tua Heru panik, adiknya cemas, Bejo... berantakan. "Heru ketemu, Mas?" Chiko menghubunginya, menelepon Mas Bejo. Dia juga ikut panik. Heru itu lebih berbahaya ketika begini. "Belum, Ko." "Mas di mana sekarang? Aku coba hubungi temen-temen yang lain, nih! Kalau mereka lagi di luar dan ketemu Heru, biar dia disuruh balik dulu." "Ko..." Suara Mas Bejo terdengar menyiksa. "Iya, Mas?" "Hubungi siapa aja, Ko! Tolong temukan Heru, Ko! Gimana caranya aku nggak peduli, Ko! Tapi... kalau... kalau sampai Heru luka... aku nggak tahu harus gimana, Ko! Cuma kamu yang bisa bantu sekarang, Ko! Aku mohon, Ko! Aku nggak pernah minta apa pun sama kamu, tapi sekarang aku cuma minta ini..." Suara Mas Bejo terdengar kacau. Chiko melongo. Ini kali pertama dia mendengar Mas Bejo seperti ini. Chiko mencoba menguatkan Mas Bejo sekarang. Bahkan Gigih juga ikut bicara. "Heru pulang, Bejo. Nanti Heru pulang. Bejo jangan nangis, nanti kalau nangis nggak bisa lihat jalan! Heru pasti pulang, Bejo!" Chiko bergerak. Dia menghubungi teman-temannya. Bahkan dia juga mengirimi broadcast chat dengan kalimat yang menggelikan. "Guys, Heru ngilang. Kalau kalian lihat dia di jalan, tahan dia! Ntar biar dijemput." Chiko ingin tertawa sebenarnya, tapi dia sudah telanjur panik. Dia nggak memperhatikan lagi apa yang dia kirimkan tadi. Bejo masih mencari ke seluruh games center yang ada di kota, namun hasilnya nihil. Sebenarnya Heru pergi ke mana? Heru memang sempat bermain di games center, namun setelah itu dia bosan. Dia ingin pergi ke tempat lain yang pemandangannya bagus. Tapi hari itu dia sedang sial. Ban motornya bocor. Heru terpaksa terdampar di tukang tambal ban. Di sebelah tukang tambal ban itu ada warung kopi sederhana. Heru mampir dan dia terpesona dengan rasa kopi di warung itu. Heru betah dan akhirnya sibuk mengobrol dengan bapak-bapak yang ada di sana. Bahkan hingga ban motornya sudah benar. Setelah puas ngopi, Heru kembali melanjutkan perjalanannya. Dia pergi ke pemandian. Meski dia nggak mandi, tapi dia sibuk melihat binatang yang ada di sana. Ada kebun binatang mini di dalam pemandian itu. Setelah pemandian itu tutup, Heru memutuskan untuk pulang. Namun di jalan, minatnya pulang pupus tiba-tiba. Heru mampir ke bioskop setelah itu. Dia baru pulang setelah jam menunjukkan pukul sepuluh. Heru itu memang lebih menyeramkan ketika sedang suntuk. Pelampiasannya berbahaya. Dia bisa berkeliling tanpa tujuan yang pasti. Ketika Heru sampai di rumahnya, bunda mulai mengomelinya. Bunda menelepon ayah kalau Heru sudah pulang. Ayah dan Hiro sampai di rumah, namun penderitaan Heru belum selesai. Ayah yang mengomelinya. Heru? Dia diam saja. Nggak biasanya dia diam begitu ketika ditanya. Bunda menghela napas, ayah juga menyerah. "Jangan kayak gitu lagi, Nak! Kami semua panik sampe hampir gila tadi." Ayah menutup omelan hari itu dengan kalimat tersebut. Heru mengangguk tanpa suara. Ayah dan bunda berpandangan. "Kenapa dia, Bun? Kok tumben diem gitu?" Ayah bertanya pelan. Bunda menggeleng. "Ah, Bejo harus diberitahu, Yah!" Bunda tersentak dan menelepon Bejo. Bejo menjerit gusar ketika suara bunda Heru terdengar di telinganya. "Bejo, Heru barusan pulang. Tadi habis diomelin sama ayahnya. Dia diem aja pas diomelin dan ditanyain dari mana. Wajahnya juga kelihatan capek banget. Sekarang dia udah tidur. Makasih, ya, Bejo! Maaf kalau ngerepotin kamu tadi!" Bejo menghela napas. Hingga dini hari, Bejo nggak bisa tidur lagi. TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN