13th

2362 Kata
Semenjak punya HP baru, Heru jadi agak nggak bersemangat. Meski kata orang, kalau punya barang baru itu selalu disayang, tapi nyatanya nggak seperti itu. Tiap kali melihat HP-nya, dia selalu ingat Mas Bejo. Mas-mas dokter yang sudah mulai agak sibuk itu sekarang getol sekali menghubunginya. Heru bukannya orang yang nggak tahu diri. Dia tahu dari siapa HP miliknya, jadi dia harus mengerti. Nggak bisa galak ketika menerima panggilan yang nggak biasa dari sang Pemilik. Kalau sudah lunas, Heru berjanji akan jadi kembali galak pada Mas Bejo! Drrr... Drrr... Heru harap-harap cemas. Ada dua kemungkinan. Kalau nggak SMS dari operator, ya pasti SMS dari Mas b***t. Heru belum pasang sosmed apa pun di HP barunya. Dia masih ingin damai dulu. Dan dugaan terakhir Heru cukup jitu. Mas Bejo mengiriminya SMS seperti biasa. SMS sok manis yang membuat Heru mengernyit bingung. Kenapa cowok ini nggak bosan-bosannya mengirimi SMS sama tiap hari? Apa HP-nya sudah diatur hingga bisa mengiriminya SMS di hari dan jam yang sama? Iya, pasti begitu! Mas b***t nggak akan mau repot-repot hanya demi dirinya. Tapi, kan... kan... tiap hari kalimatnya ada saja yang berbeda. Seperti... "Pagi, Heru. Jangan lupa makan!" Lalu siangnya ganti lagi. "Siang, Sayang. Gimana tadi pelajarannya?" Terus begitu hingga malam. Ketika Heru menjawab dengan balasan jutek seperti biasa, Mas Bejo malah semakin bersemangat mengiriminya SMS. Mas Bejo ternyata lebih nganggur daripada yang dia duga. Heru merengut. Mas Bejo itu mirip teroris. Hobinya meneror dengan kalimat manis. Heru menggeleng jijik. Dia nggak mau terkena dampak yang nggak baik sekarang. Heru yang jones itu merasa punya fans yang nggak diharapkan. Sejak punya HP baru hasil kredit separuh hati ini hidupnya jadi nggak tenang. Awalnya Heru kira Mas b***t akan bosan. Iya, dia kan nggak menarik. Cuek, judes, belum lagi kadang nggak punya pulsa. Pasti Mas b***t lebih bisa mengandalkan wanita atau pria lain yang lebih mumpuni untuk menerima uluran kejonesannya. Tapi dugaan Heru itu nggak terjadi. Mas b***t masih bertingkah menyebalkan, bahkan mendeklarasikan diri sebagai bodyguard yang rela mati demi kekasihnya tercinta. Heru, lah... siapa lagi! Mas Bejo di sana tersenyum lebar. Dulu dia nggak pernah bertingkah begini, tapi sekarang dia jadi agak menyebalkan. Beberapa orang mengatakan Bejo terlalu banyak tersenyum akhir-akhir ini. Dia jadi lebih ganteng dan cewek-cewek makin bersemangat untuk naksir. Bejo membatin. Orang yang membuatnya tertawa itulah yang hebat. Dia bisa menciptakan senyuman yang kontinyu di bibir Bejo. Berkelanjutan. Padahal dulu Bejo dikenal sebagai pribadi yang sangat kaku dan juga bijaksana. Sekarang, dia jadi gampang nyengir dan bodoh. Bodoh dalam artian yang lebih aneh. Bejo masih pintar, otaknya masih cerdas. Tapi... kelakuannya yang bodoh. Tiba-tiba saja dia nyengir ketika melihat HP-nya. "Akhir-akhir ini kamu jadi banyak nyengir, Jo." Teman-teman yang lain berkomentar. Bejo mengedikkan bahu nggak peduli. "Emangnya aku nggak boleh bahagia?" "Katanya kamu punya pacar." "Belum, ah!" "Jadi kamu lagi pedekate?" "Bisa dibilang gitu!" Bejo begitu percaya diri ketika mengatakan kalimat itu. Dia sama sekali nggak merasa malu seandainya ketahuan sedang SMSan dengan seorang cowok SMA. Lagi pula kalau teman-temannya nggak bisa menerimanya, dia akan bekerja jadi CEO. Dia di atas. Mutlak. Dan ketika itu terjadi, mereka semua hanya bisa melongo. Coba saja hujat Bejo sekarang! Tapi, Bejo itu bukan tipe yang akan memukul telak pada tempat yang sakit. Dia berbeda dari Heru yang ceplas-ceplos. Bejo lebih suka bermain lembut. "Aku denger gosip, katanya pacarmu anak SMA, ya?" "Calon..." "Iya, calonmu anak SMA, ya? Kok bisa, sih?" "Denger gosip dari mana?" "Fikri kan punya adik di SMA, pas dia jemput adiknya itu dia nggak sengaja lihat kamu nunggu seseorang di sana. Dia nggak sempat lihat gebetanmu, sih... makanya dia nggak cerita lagi." Bejo tersenyum geli. Coba saja kalau mereka tahu gebetannya cowok. Bejo nggak peduli dengan respon mereka. Hatinya jauh lebih penting. Dia cuek kalau untuk respon orang lain. Dia terlalu bahagia untuk dirinya sendiri. Dulu dia nggak pernah bahagia demi orang lain, namun sekarang... dia siap bahagia. Karena dia sudah menemukan orang yang tepat! Dulu Bejo sangat apatis dengan yang namanya pacar. Dia pikir, untuk apa punya pacar? Dia nggak suka dengan yang namanya hubungan tanpa kejelasan di masa depan. Tapi sekarang dia tahu alasan kenapa orang ingin pacaran. Dia ingin mengikat orang yang sudah merebut hatinya. Tapi... apa Heru mau jadi pacarnya? Bejo jadi naif sekali sekarang ini! Kenapa dia bisa jadi orang yang nggak beralasan dan main-main begini? "Kayaknya kamu lagi kasmaran, deh!" Teman yang lain menimpali. "Kali ini aku beneran cinta, nggak kayak kemarin-kemarin." "Eh? Seriusan? Tumben..." "Aku juga bingung kenapa..." Bejo mengerjap dan tergelak geli. Dia kembali fokus dengan SMS Heru yang baru dia terima. SMS yang sangat indah. Isinya? "Y" *** Chiko melongo ketika melihat Heru menggila di kelas. Ini bukan pertama kalinya Heru begitu, tapi sekarang ada yang aneh. Heru berdiri di depan kelas. Dia membawa sapu dan bertingkah absurd mirip gitaris abal-abal. Sebenarnya nggak masalah, sih... Semua teman-teman di kelas juga pernah bertingkah gila. Heru juga sudah terbiasa bertingkah mirip gitaris musik rock dadakan begitu. Hanya saja... Kepala Heru memang bergerak bak gitaris band rock yang sedang kebagian job live, manggut-manggut ke depan dengan sangat menghayati. Namun, kalau nggak absurd bukan Heru namanya. Meski musiknya rock, tapi Heru sedang bergoyang. Bokongnya ngebor mirip penyanyi dangdut. Kepalanya masih mirip gitaris musik rock, tapi bokongnya sudah bergoyang hingga Chiko melongo. Satu pukulan melayang tepat di b****g Heru. Heru menghentikan goyangannya, lalu mengusap bokongnya sendiri. "Apa, sih? Nggak tahu aku lagi konser?" Heru menggerutu. Biasanya dia nyengir dan mengajak mereka ikutan, tapi sekarang... "Kamu kenapa?" "Lintas genre." "Nggak lagi nanya kamu bawa lagu apa! Aku lagi nanya kamu kenapa!" "Aku nggak apa-apa." "Kamu lagi kesurupan?" "Setan mana yang mau merasuki rajanya? Durhaka dia, nggak aku gaji ntar!" Heru mengedikkan bahu cuek. Chiko menghela napas, lalu menunjuk wajah Heru sekali lagi. "Kelakuanmu ini udah mulai nggak umum, Ru." Heru mengangguk bangga. Sekarang ini dia nggak ingin membahas banyak hal tentang hidupnya yang rumit. Dia hanya bingung dengan semua orang di sekitarnya. Ada mas-mas ganteng kaya yang hobi mengganggunya. Heru itu jones, tapi nggak berharap juga yang seperti itu. Lalu... Sekarang Chiko. Chiko sepertinya nggak kooperatif. Chiko jadi persuasif. Chiko mulai hobi merayu dan mengajaknya berbaikan dengan Mas b***t. Padahal Chiko tahu sendiri kalau Heru itu nggak sudi berteman dengan Mas b***t. Alasannya? Karena Mas b***t memang nggak bisa diajak berteman. Mas b***t itu suka main, tapi mainnya dewasa. Heru mana berani begitu! Heru sukanya masih main polos, main ala anak kecil. Heru minder kalau melihat teman-teman Mas Bejo. Mereka terlihat sangat elegan, pintar, dan juga kaya. Heru nggak mau berteman dengan mereka, nggak nyaman. Chiko sekarang malah memaksanya ikutan! Ogah, ya! "Aku nggak mau temenan sama Mas Bejo lagi, Ko." "Kenapa nggak mau?" "Dia nggak bisa diajak main ala aku." "Trus? Mau kamu gimana?" "Tunggu aja sampe kreditan HP-ku lunas, aku nggak bakalan ngomong sama dia lagi." Heru tersenyum puas. Chiko mengusap dahinya sendiri. Akhir-akhir ini Heru jadi agak sensitif, jadi Chiko nggak boleh membuat gara-gara. Kalau Chiko berani, maka sarkasme Heru akan jauh lebih menakutkan daripada sebelumnya. "Kamu akan terus nyuekin dia, Ru?" "Dia pasti bosen suatu hari nanti! Kamu lihat aja, Ko!" Heru mengangguk yakin. Chiko sangsi. Mas Bejo itu tipe orang yang ikhlas, tapi kali ini Mas Bejo nggak terlihat begitu. Mas Bejo jadi agak anarkis. Juga agresif. Belum lagi obsesif. Mas Bejo jadi agak maksa. Bahkan Chiko pernah mendengar Mas Bejo begitu kacau hanya gara-gara Heru menghilang nggak pulang-pulang. "Kamu yakin dia bakalan bosen sama kamu?" Heru mengangguk mantap. "Sekarang dia udah kelihatan bosen, nggak?" Chiko masih ragu. Meski Heru membalas singkat dan terkadang mengabaikan SMS Mas Bejo, namun Mas Bejo nggak pernah putus asa. Capek saja nggak. Aneh, kan? "Kamu kenapa jadi galak gitu ke Mas Bejo? Padahal aku kira kamu dan dia udah baikan karena tragedi HP itu udah lunas." "Videoku, Koooo!" "Jadi masih dendam dan baper gara-gara video?" Chiko menepuk dahinya sendiri. Heru mengangguk mantap. "Kamu tahu, kan perjuanganku gimana dapatin video-video itu? Bahkan aku rela begadang meski besoknya ulangan!" Dulu Chiko sampai menghujat dan mengatai Heru bodoh hanya gara-gara alasan itu. Heru nyengir nggak bersalah. Akibatnya? Dia minta sontekan pada Chiko. Chiko juga nggak sepelit itu, jadi dia memberi sontekan seadanya, meski pada akhirnya Heru dipindah duduk di depan. Di kursi guru. Lantaran dia berisik dan rusuh. "Mas Bejo aja suruh download..." "Mana dia mau!" "Kamu, sih nggak beri ke aku duluan!" "Siapa yang bilang memorinya udah penuh pas itu?" "Kamu juga nggak simpen copy-annya ke laptop atau ke mana gitu..." "Nasi udah jadi kerupuk beras, Ko!" Chiko dan Heru kembali membicarakan masalah video, mulai dari yang lama hingga yang baru. Heru nggak peduli dengan getaran di HP-nya. Nanti saja dia install sosmed, lalu membiarkan Mas Bejo berisik di sana. Dia sudah coba melakukan segala cara untuk membuat Mas Bejo diam dan nggak mengganggunya, tapi semua itu gagal. Mas-mas itu nggak terlihat bosan atau lelah. Padahal Mas Bejo bukan pengangguran. Dia juga bekerja. Dia juga praktik, mengurusi pasien-pasien yang butuh sentuhannya. Heru menggeleng kencang. "Ko, kayaknya aku butuh dukun sekarang!" Chiko menggaruk tengkuknya. Ketika Heru jadi begini, artinya Chiko harus pergi. Semakin direspon, maka Heru akan jadi makin gila. Chiko menelan ludah. Heru sudah bergerak. Kali ini dia bergoyang random di depan kelas, menempeli whiteboard dan bergoyang erotis di sana. Sepertinya pasien RSJ ada yang keluar sebelum sembuh! Heru terus menggila hingga bel pulang sekolah berbunyi. Dia masih belum diperbolehkan membawa motor. Ayahnya sebenarnya sudah nggak ada masalah, tapi bunda marah besar ketika tahu ayah mengizinkan. Jadi, daripada ayah mengalami ketakutan karena diomeli bunda, ayah mendukung kemarahan bunda. Heru pergi ke sekolah naik ojek. Terkadang naik bus. Dia tersiksa, tapi dia nggak mau mengeluh. Bunda pasti akan bahagia ketika dia mengeluh dan merasa kalah. Heru nggak bisa begitu. Demi harga diri lelaki katanya. Tapi... harga diri seorang lelaki itu sepertinya harus pupus sekarang. Sudah sejak beberapa hari lalu, Heru juga punya masalah tambahan karena nggak bawa motor. Sudah ada supir yang setia menunggunya. Dan timing-nya selalu pas. Apa "supir" itu nggak punya pekerjaan? Dia kan lumayan sibuk! Apa dia menunda pekerjaan hanya untuk menjemputnya? Heru menggaruk tengkuknya lagi. Dia ingin melarikan diri, tapi Chiko nggak mendukung. "Ingat, HP-mu belum lunas, lho!" Chiko bangga sekali ketika mengatakan kalimat itu. Heru menahan lengan Chiko. "Kamu ikut juga! Kita naik mobilnya." Chiko menggeleng. "Nggak, ah!" "Kenapa nggak? Kan enak kamu nggak capek! Kamu juga harus jemput Mas Gigih katanya." Chiko masih menggeleng. "Takut ganggu!" Chiko biadab! Heru siap marah kalau saja Chiko nggak melambai santai ke arahnya. Chiko begitu pasti hanya alasan! Ada tiga alasan sebenarnya. Pertama, Chiko nggak mau ganggu Mas Bejo dan Heru. Kedua, Chiko ingin menjemput Gigih dan berjalan. Biar lebih lama. Biar ngobrolnya panjang. Lalu yang ketiga, Gigih mana suka kalau Chiko bermain begitu dekat dengan Mas Bejo dan Heru! Jadi, daripada menimbulkan masalah, Chiko lebih baik menghindar saja. Lagi pula jarak rumahnya ke sekolah nggak terlalu jauh. Jarak rumah Heru dan sekolah lumayan, karena itulah lebih baik Mas Bejo mengantarkan Heru saja. Kalau Chiko ikut, dia makin lama nggak sampai di rumah. Malas, ah! Halah, alasan kamu, Ko! Heru melangkah gontai ke arah gerbang. Awalnya dia mau pura-pura nggak lihat saja, tapi Mas Bejo rupanya cukup peka. Cowok itu langsung membuka pintu mobilnya. Heru menghela napas. Karena nggak mau jadi pusat perhatian, dia langsung masuk tanpa berdebat seperti sebelumnya. Mas Bejo melajukan mobilnya pelan-pelan. Heru diam. Mas Bejo masih tersenyum, lalu jarinya bergerak. Daripada mobilnya sunyi, dia mengisinya dengan musik. Lagu-lagu love song koleksi jadul. Mereka mirip di acara nikahan sekarang. "Jadi, kenapa Mas mulai hobi jemput? Profesi baru?" Mas Bejo mengangguk. "Profesi mencintai dan menjagamu." Heru menatap Mas Bejo jijik. Mas Bejo masih tersenyum. Dia senang sekali dengan profesi barunya. "Kenapa?" Heru bertanya sekali lagi. Mas Bejo mengedikkan bahu. "Karena suka." "Nggak ada alasan lain yang lebih manusiawi?" "Karena cinta." Astaga! Heru sudah mulai risih dengan perlakuan Mas Bejo yang ini. Mas Bejo SMS, Heru bisa tahan. Tapi kalau soal yang ini... Heru harus bagaimana? Menolak? Mas Bejo itu pemaksa. Jadi daripada semua orang melihat tontonan "aku tuh nggak mau dijemput!" di depan gerbang sekolah, lebih baik Heru mengalah. Lagi pula, hemat di ongkos, kan! Hanya saja... Suasana dalam mobil itu nggak enak. Biasanya dua cowok dalam mobil itu punya hal berarti yang dibicarakan. Atau kalau nggak begitu ya diam. Satunya menyetir, satunya tidur. Hanya saja, dua hal itu nggak terjadi dalam kamus Heru. Mau bicara apa dengan Mas Bejo? Heru nggak suka dengan jawaban cowok macho itu! Selalu saja ada hal yang membuat Heru emosi ketika mendengar jawabannya. Lalu... opsi yang kedua adalah Heru tidur. Nggak! Jangan! Heru mana tahu apa yang akan terjadi kalau dia tertidur! Bisa-bisa Mas Bejo melakukan perbuatan yang nggak-nggak. Jelas bukan dalam hal perampokan. Heru mana punya uang. Uang Mas Bejo sudah melimpah begitu! Ah, yang paling memungkinkan adalah... Ginjal! Bisa saja ginjal Heru dijual oleh Mas Bejo! Lah? Kok alasannya absurd, Ru? Katanya Mas Bejo itu sudah kaya. Untuk apa dia menjual ginjalmu! "Serius! Kenapa Mas jemput aku? Aku nggak terbiasa dijemput!" "Nggak pernah dijemput sungguhan?" "Pernah. Sama tukang ojek. Ayah kalau pulang agak siang juga jemput." "Aku orang pertama yang bukan tukang ojek dan juga bukan ayah kamu yang jemput, ya?" Mas Bejo menepuk dadanya bangga. Apa yang membuatnya bangga, coba? Nggak ada sisi yang bisa dibanggakan sekarang ini! "Karena... aku pengen." "Kenapa pengen?" "Eng... emang pengen harus ada alasannya, ya?" Mas Bejo nyengir nggak bersalah. Heru mencoba untuk nggak mengumpat sekarang ini. Dia mengembuskan napas. Pokoknya semua hal yang membuatnya pusing harus dijauhkan. Heru nggak boleh emosi. Mas Bejo malah senang ketika melihatnya emosi, tahu! Mungkin Mas Bejo itu tipe sadis. Heru merinding. "Harus. Aku nggak suka dijemput." "Mulai sekarang harus suka." "Kenapa harus suka?" "Kan enak. Kamu nggak perlu panas-panasan di dalam bus, nggak perlu panas-panasan di belakang tukang ojek." "Aku nggak semanja itu sampe nggak mau panas segala!" Heru mencibir. Mas Bejo tersenyum. Heru masih menempati tempat tertinggi untuk seseorang yang nggak akan pernah membuatnya kecewa. Heru itu luar biasa, tahu! Bahkan meski Heru mengatakan kalau dirinya nggak ganteng, tapi menurut Mas Bejo... Heru itu sempurna! Mas Bejo nggak akan pernah bosan untuk memuji Heru. "Kalau kamu terlalu banyak panas-panasan, ntar sakit." "Sekian tahun aku nendang bola di lapangan, panas-panasan, tapi nggak pernah sakit." Heru sombong sekali hari ini! "Kalau sakit datang ke aku, ya! Aku sembuhin." "Ogah! Kayak yang ortuku nggak bisa nyembuhin anak sendiri aja!" "Ya masa kamu disuntik pake suntikan inseminasi sapi, Ru!" Mas Bejo separuh menyindir, tapi juga berharap Heru berobat padanya. Heru menggerutu. Dia nggak mau mendengarkan ucapan Mas Bejo yang terdengar kompor itu. Panas. "Aku risih kalau dijemput terus. Mulai besok, jangan jemput aku, Mas!" "Aku nggak keberatan, kok!" "Mas nganggur?" "Aku izin sebentar. Lagian rumah sakit kan lebih deket kalau dari rumah kamu." Halah, itu hanya alasan! Heru sudah nggak mentolerir segala alasan yang Mas Bejo ciptakan untuk melawan alasannya. Heru ingin terlepas dan terbebas dari segala kungkungan Mas Bejo. Heru nggak bisa bernapas karena kelakuan Mas Bejo ini, tahu! "Please, Mas! Jangan jemput aku lagi!" Heru memohon kali ini. Matanya menoleh ke arah Mas Bejo, namun Mas Bejo hanya bungkam. "Aku juga pengen ikut ekskul. Pulangnya pasti agak sore. Kalau Mas jemput, aku jadi nggak enak..." TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN