Heru jengah. Bete setengah hidup. Beberapa hari ini dia sudah mulai nggak betah dengan semua yang telah terjadi. Mas b***t masih berkeliaran di sekitarnya, tapi Heru sudah mencoba sedemikian rupa untuk tetap bertahan sekuat hati. Heru nggak akan lemah hanya gara-gara masalah ini. Dia kuat dan tahan banting. Beberapa hari ini dia dihajar oleh banyak hal. Mulai dari video koleksinya yang menghilang, lalu dia yang harus bertemu Mas b***t demi cicilan HP-nya, bahkan harus mendengarkan curhatan dan kasih sayang nggak penting Mas b***t terhadap dirinya. Itu semua dia lakukan untuk kebahagiaannya sendiri, sekaligus sebagai ketentraman hidup lahir dan batin. Bukan Mas b***t namanya kalau nggak keras kepala. Bejo Jatmiko, cowok kedokteran tajir melintir yang masih hobi mengganggu anak bawang yang masih SMA demi tagihan HP yang nggak seberapa.
Ru... Mas b***t itu hanya modus pakai cicilan HP. Padahal dia nggak butuh cicilan itu darimu. Dia hanya butuh bertemu dengan orangnya, bukan uangnya. Tapi kamu kan memang nggak pernah peka! Kalau memang hanya masalah uang, Mas b***t bisa minta transfer via rekening saja nggak perlu ketemu kamu hanya demi uang ini.
Harga HP-mu berapa, sih, Ru?
Nggak sampai tiga juta rupiah, kok! HP standar semarpun yang bisa untuk menyimpan dan download video anu. Tapi nyicilnya rutin banget. Bahkan seminggu itu Mas Bejo sanggup datang ke rumahmu hanya demi uang yang nggak seberapa. Kamu kira Mas Bejo itu nganggur dan kurang kerjaan? Itu semua demi cinta, Ru! Demi cinta!
"Bunda, Heru ngutang, dong!" Heru mendekati bundanya, mengemis demi uang sekian ratus ribu. Cicilannya ke Mas Bejo masih belum seberapa. Heru ingin membayar lima ratus ribu sebulan, jadi nggak sampai setengah tahun HP itu lunas.
"Kok tiba-tiba jadi ngutang?"
"Potong uang saku, deh, Bunda! Heru nggak tahan lagi, nih dikejar-kejar Mas Bejat... eh, Mas Bejo mulu!" Heru mengadu. Dia memasang wajah yang lumayan mumpuni. Sengsara. Terinjak. Terjepit. Ngenes.
"Kemarin ditanyain ayah katanya nggak mau dibeliin."
"Kalau sama ayah nggak mau, ah!"
"Kenapa nggak mau?"
"Ayah perhitungan banget, Bunda. Ntar dibeliin HP, tapi ujung-ujungnya minta dipijetin tiap malam. Trus disuruh bikinin kopi tiap hari..." Heru menggeleng kencang. Dia bukannya nggak mau atau berminat jadi anak durhaka, tapi dia memang nggak berbakat untuk begitu. Dia nggak bisa bertingkah manis di depan ayahnya.
Sudah begitu, ayah itu agak kepoan orangnya! Suka nanya-nanya siapa pacar Heru, lalu hobi mengajak Heru mancing. Kalau memancing keributan, sih Heru jagonya. Tapi kalau memancing perhatian, Heru kalah. Hanya satu cowok yang menyangkut di kailnya. Itu, cowok kedokteran kaya raya yang hobinya menjemput! Cowok kedokteran teman kerja ayah yang lebih tertarik menagih hutang demi modus.
"Jadi kamu pikir Bunda nggak perhitungan gitu?"
Heru curiga mendadak.
"Bunda tega banget..."
"Lagian Bejo juga dulu bilang sendiri ke Bunda kalau dia pengen ngasih gitu aja! Kamu, sih sok-sokan gengsi segala! Sok kebanyakan duit!" Bunda mencibir.
Akhirnya Heru tahu dari siapa bakat bicaranya ini berasal. Bunda bisa mengatakan kalimat sederhana, namun dengan kalimat yang mampu menggores hati. Heru tersindir. Sebenarnya dia nggak masalah, dia suka diberi gratisan. Tapi, kali ini berbeda. Ini Bejo, lho! Mas Bejo! Cowok yang hobinya mengganggu. Heru tahu ada niat apa yang sedang Mas Bejo sembunyikan kalau Heru menerima HP itu dengan cuma-cuma. Kalau orang lain yang memberi... Heru akan menerima dengan sukarela. Senang hati. Berbunga-bunga. Bahagia.
"Bunda... Heru mohon, Bunda. Kali ini bantulah anakmu yang paling kece ini..."
"Bunda beri uangnya, tapi kamu harus janji satu hal!"
"Apa?"
"Kalau nanti Bejo nggak mau nerima uangnya, Bunda nggak mau ikut-ikut. Bunda malah cemas Bejo tersinggung nanti."
"Bundaaaaaa...." Heru merengek. Dia terus menempeli bunda. Si Bungsu ikut menempeli Heru, mencengkeram celana pendek kakak sulungnya dengan raut sayang.
Mereka terus bercengkrama ala ibu dan anak. Ketika mereka begitu, ayah ataupun Mas Bejo nggak tahu sama sekali. Mereka nggak tahu kalau Heru juga bisa bertingkah super manja begitu.
Heru kembali ke kamarnya setelah tahu kalau rayuannya nggak ada gunanya. Bunda nggak mau ikut campur. Bunda bukannya apatis dengan masalah anak sulungnya, tapi bunda hanya bingung. Heru itu aneh. Bejo jelas-jelas ingin bertanggung jawab dengan sangat dewasa, tapi kok malah ditolak. Sekarang, Heru yang kelimpungan sendiri karena menolak kebaikan orang yang sudah bersalah.
Maunya Heru ini apa, sih sebenarnya?
Chiko bilang, Heru itu absurd. Bunda bilang, Heru itu nggak jelas. Sekarang Heru sendiri yang mengatai dirinya bodoh. Kenapa dia malah minta nyicil? Kalau menerima HP pemberian Mas Bejo kan enak. Lagi pula, Mas Bejo itu bukan tipe orang pamrih. Dia hanya akan bersemangat menghubungi Heru karena tahu Heru sudah punya HP.
Seperti sekarang...
Mas Bejo menelepon. Heru menerimanya ogah-ogahan. Dia juga ingin dengar semua hal yang akan Mas Bejo katakan. Siapa tahu saja nanti Mas Bejo mengatakan, "Akan kubebaskan kau dari hutangmu, dan akan kubebaskan kau dari terorku."
Heru sudah ngiler kalau membayangkan yang seperti itu. Ah, Heru jadi galau lagi sekarang ini! Semoga Mas Bejo peka... semoga...
Jadi, Heru menerima telepon Mas Bejo ya salah satunya karena ini!
"Aku kangen masa... Sejak tadi siang pengen nelepon tapi nggak bisa. Banyak pasien..." Mas Bejo itu nggak pernah mengeluh tentang pekerjaannya. Dia hanya mengeluh soal nggak bisa menghubungi Heru dan sejenisnya.
"Kan Mas emang dokter, ya sibuk, lah!"
"Tapi aku kangen kamu..."
Heru merinding. Mas Bejo itu nggak akan terlihat begini ketika ada di depan orang lain. Penampilannya nggak mumpuni untuk jadi cowok manja dan kekanakan. Chiko sendiri yang cerita kalau Mas Bejo itu bijaksana. Taqwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Cinta alam dan kasih sayang sesama manusia. Belum lagi rela menolong dan tabah.
Ruuu...!
"Mas, gimana kalau aku lunasin hutangku dalam bulan ini?" tanya Heru cepat. Sekarang kalau memang bunda nggak mau melunasi hutangnya, salah satu jalan adalah menjual inventaris kamarnya.
Ada sepatu olahraga yang masih lumayan baru. Lalu ada skateboard yang masih bagus kondisinya. Bola basket... lalu... Heru mencoba menghitung pendapatan yang ada di dalam kamarnya kalau laku terjual nanti.
"Nggak usah buru-buru!" Mas Bejo terdengar kesal. Kok malah menolak piutang? Itu piutangnya mau dilunasi, lho!
Heru menggaruk tengkuknya. Mas Bejo pasti sedang sibuk berdelusi sekarang. Dia nggak mau mengurusi hutang sekecil itu. Baginya, woy! Bagi Heru yang masih mengemis pada ortu ini... uang segitu sangat banyak! Padahal untuk Mas Bejo, uang itu hanya lepehan. Holang kaya mah beda!
"Aku nggak bisa tidur kalau nanggung hutang." Heru membuat alasan.
"Aku dongengin sampe tidur mau?"
"Ogah, jijik!"
"Kenapa, sih kamu ngebet pengen lunasin secepatnya? Orang lain malah seneng, tuh hutangnya dibayar lama. Kalo bisa malah waktunya diulur-ulur..."
"Aku nggak betah sama Mas." Akhirnya Heru menyuarakan semua yang dia simpan dalam hatinya. Mungkin Mas Bejo sudah tahu kalau Heru sangat membencinya. Namun Mas Bejo itu nggak mau bertingkah seolah-olah sedang dibenci.
"Eh? Aku kenapa?"
"Aku risih disamperin mulu demi hutang!"
"Ru..." Suara Mas Bejo terdengar manja. Heru mengernyit geli. Mas Bejo itu nggak pernah bisa diajak kerja sama kalau dalam urusan dewasa. Bahkan Mas Bejo juga nggak merasa bersalah karena menghilangkan video dewasa milik Heru.
Pokoknya jangan bicara masalah dewasa di depan Mas Bejo! Nggak akan ada gunanya!
Mas Bejo juga selalu menghubunginya. Meski dia nggak menghubungi untuk menagih hutang, tapi Heru ingin segera menyelesaikan semuanya. Heru ingin segera menyelesaikan pertemuan mereka dengan membayar hutang dan pergi. Tapi Mas Bejo nggak pernah membiarkan Heru semudah itu. Iya, lah! Tujuan utamanya bukan untuk uang, tapi untuk melihat pujaan hatinya yang galak dan juga nyolot ini.
"Mas nggak kasihan sama gelandangan kayak aku?" Heru berbisik tajam.
"Kamu bukan gelandangan."
"Aku tunawisma. Nggak punya rumah. Selama ini aku nebeng rumah ortu..." Heru mengembuskan napas putus asa. Mas Bejo terkikik. Rasa lelah yang menghimpitnya hilang entah ke mana. Hatinya terasa lebih lega sekarang.
Dia senang sekali mendengar suara pujaan hatinya. Pujaan yang sedang OTW jadi apa-apa sekarang. Heru nggak suka bercerita apa pun pada orang lain, jadi dia diam saja. Mas Bejo masih senang bertanya macam-macam.
Namun lebih dari itu, sekarang ini pikiran Heru sedang berkecamuk. Dia sedang sibuk menghitung pendapatan kalau dia memang ingin menjual inventaris kamarnya. Laptop. Tapi dia sangat butuh laptop. Lalu...
Heru memindai seluruh isi kamarnya. Tanpa sadar dia sudah memutus telepon Mas Bejo. Mas Bejo tertidur di sana. Insomnia Mas Bejo sembuh hanya gara-gara Heru.
***
"Tumben amat nggak jajan." Chiko menggoda Heru. Heru menghela napas. Dia hanya menatap sebotol air putih yang dia bawa dari rumah tadi.
"Diet."
"Astaga! Dustamu, Ru!"
"Aku lagi nabung, Ko. Sekarang ini aku juga lagi jual barang-barang di kamarku yang nggak terlalu aku sayang."
"Apa aja?"
"Bola basket, sepatu, lalu ada raket tenis yang dulu pernah aku beli..."
"Bukannya dulu kamu beli itu pake uang tabunganmu? Kamu mau jual gitu aja?"
Heru mengangguk. Chiko nggak tahu kalau Heru akan serius untuk masalah melunasi hutang secepat yang dia bisa itu. Padahal Chiko tahu kalau ayah Heru itu dokter. Ayah Heru bisa melunasi hutang anaknya, tapi anaknya saja yang gengsi.
"Kamu dan ayahmu nggak akur?" tanya Chiko pelan.
"Kami nggak pernah musuhan, kok!"
"Kenapa nggak mau hutang sama beliau?"
Heru menghela napas. Heru nggak mau urusannya jadi makin rumit kalau melibatkan ayahnya. Ayah sudah berteman dengan baik dengan Mas Bejo. Kalau hanya gara-gara hutang ini mereka nggak akrab, Heru jelas merasa bersalah. Lagi pula, Heru juga yang sok kaya! Pasti ayah akan mencibir dan membully-nya habis-habisan kalau tahu ini!
Sekarang Heru harus mengumpulkan uang dan menghindari Mas Bejo sementara waktu.
"Ko... kamu jangan bilang sama Mas Bejo kalau aku jual barang-barangku!" Heru mengancam.
"Aku mau bilang."
"Pengkhianat!"
"Aku bakalan bilang karena aku nggak mau kamu berusaha sekeras ini! Mas Bejo salah waktu itu dan udah seharusnya dia bertanggung jawab. Tapi... kamu juga salah! Ngapain nggak mau nerima segala? Gengsi amat jadi orang!"
"Kalau orang lain aku mau nerima, kalau Mas Bejo nggak."
"Kenapa? Mas Bejo itu bukan orang jahat."
"Tapi dia orang yang punya motif. Orang yang punya motif itu jauh lebih berbahaya daripada orang jahat. Orang jahat mungkin keliatan semuanya, tapi kalau orang punya motif itu kelihatannya manis di depan doang."
"Kamu mau jual barang-barang yang kamu sayangi, Ru?" Chiko menatapnya prihatin. Heru terharu sekali dengan tatapan Chiko. Ternyata Chiko itu teman yang sangat baik, buktinya sampai mengasihani dirinya begini!
Untung saja Heru nggak jadi pacaran dengan Chiko. Kalau Heru pacaran dengan Chiko, nanti kasih sayang ini nggak akan dia dapatkan. Perasaan Heru juga lenyap entah ke mana. Apa itu artinya Heru sudah nggak jadi Chikolover lagi? Heru memang bukan homo! Yes!
Tapi... kenapa harus ada gantinya? Malah kaum atas, pula!
"Kamu prihatin banget, ya sama nasibku?"
Chiko mengangguk. "Jadi, sepatu olahragamu itu mau kamu jual berapa?"
Ternyata Chiko sama saja! Heru menyesal sudah pernah naksir Chiko!
Bel pulang berbunyi. Sudah beberapa SMS dan juga telepon dari Mas Bejo Heru abaikan. Heru ingin membuat sebuah pergerakan. Namanya penolakan diskriminasi hutang. Pokoknya Heru ingin jadi penghutang yang sangat manusiawi. Pihak yang merasa dihutangi nggak perlu repot-repot datang sendiri setiap hari demi menerima uang.
Mas Bejo sudah menunggu di gerbang sekolahnya, tapi Heru nggak bisa menghindar lagi. Mas Bejo menarik lengan Heru. Nggak seperti biasanya, Heru mengisyaratkan Mas Bejo untuk mengikutinya. Mereka terdampar di warung depan sekolah. Heru nggak mungkin mentraktir Mas Bejo sekarang. OS, lah! Ongkos Sendiri.
"Ada apa, Ru?" Mas Bejo kepo sekali sepertinya. Heru sok tenang. Dia menaikkan alisnya dan mulai membuat sebuah deklarasi.
"Aku nggak mau lama-lama ditagih hutang, jadi aku mau lunasin semua hutang itu dalam beberapa minggu."
Mas Bejo melongo. Wajahnya terlihat nggak terima meski begitu.
"Jangan buru-buru! Aku nggak lagi butuh, kok!"
Kamu sudah punya uang banyak, Mas! Kamu bahkan nggak perlu mikir uang karena uang itu sudah lari ke rekeningmu tanpa kamu suruh!
"Aku yang nggak tahan, Mas."
"Di sini?" Mas Bejo nyengir m***m. Heru menatapnya jijik. Mas Bejo selalu berhasil menciptakan topik lain. Heru jengah sekali.
"Aku nggak mau lama-lama sama Mas." Oh, omonganmu itu yang makin ambigu, Ru!
"Jangan cepet-cepet! Nggak enak, dong! Belum puas."
Ini ngomong apa, sih?
Heru sudah nggak tahan lagi. Dia harus menyelesaikan ini. Dia harus mengeluarkan semua beban yang dia simpan sejak lama. Semua hal yang membuatnya terlihat seperti humu. Seperti kaum bawah, lagi! Dia itu humu pilihan, tahu! Kalau mau jadi homo, dia juga maunya pilih-pilih! Mau bagian menggagahi saja karena dia memang gagah.
Mulutmu, Ru!
"Kamu hutang sama ortumu?" Mas Bejo menghela napas. Heru menggeleng.
"Mas tahu dari mana kalau aku pengen hutang sama ortu?"
"Kan ayahmu sering cerita soal anak sulungnya yang keras kepala. Aku juga udah bilang kalau awalnya aku mau beri gratis, tapi anak sulung itu yang gengsi."
Sialan, jadi selama ini ayah sudah tahu masalahnya, ya! Dasar Mas b***t ember! Nggak bisa jaga rahasia! Mau bilang apa sekarang ke ayah? Minta sokongan dana juga percuma. Ayah pasti akan mencibirnya. Minta ke bunda juga nggak mungkin. Bunda sudah dengar versi aslinya. Bahkan bunda menyesalkan sikap Heru kenapa begitu bodoh sampai nggak mau menerima barang gratisan!
Itu gara-gara Mas Bejo, Bundaaaa! Mas Bejooo!
"Aku mau lunasin pake uangku sendiri!" Heru keras kepala.
"Caranya?"
"Aku mau jual apa aja yang kupunya. Bahkan kalau perlu aku mau jual diri!" Heru mengancam. Mas Bejo melongo. Mungkin ucapan Heru itu berniat campuran. Antara serius dan juga ucapan ngelantur. Tapi, Mas Bejo sensitif sekali kalau mendengar Heru ingin jual diri.
Bagaimana kalau Heru sengaja melakukan itu?
"Kamu mau apa?" Mas Bejo terusik.
"Kalau barang-barangku nggak cukup buat lunasin hutang, aku mau jual diri. Aku mau nari bugil di bar-bar."
Mas Bejo mulai menganggap itu serius.
"Nggak usah macem-macem!"
"Aku melakukan itu demi hutang. Mas nggak tahu, ya kalau ada orang yang sengaja jual ginjal demi melunasi hutangnya? Aku juga bisa nekad kalau lagi kepepet. Karena aku nggak mau menjual ginjal, aku mau jual keseksianku." Oke, ini terdengar lucu, tapi Mas Bejo yang sudah emosi dan cemas itu nggak menganggap ini lucu sama sekali!
"Kenapa gitu?" Mas Bejo masih cemas.
"Aku nggak punya apa-apa lagi, Mas."
"Tapi kenapa kamu kepikiran sampe sana?"
"Aku nggak punya cara lain lagi. Mau kerja apa? Aku masih sekolah."
"Kamu nggak serius, kan mau jual diri itu?"
"Chiko bilang aku gila. Kalau orang gila biasanya bisa ngelakuin apa aja, lho!"
Mas Bejo mengepalkan tangannya. Sekarang bukan tempat yang tepat untuk marah. Omongan Heru memang sering membuat orang lain kesal! Tapi kekesalan Mas Bejo malah pada kelakuan Heru yang nggak pikir panjang itu. Heru sering nekad nggak jelas!
"Kamu segitu pengennya pergi dari aku?"
Heru mengangguk cepat.
"Pengen..."
"Kenapa pengen?"
Heru mencoba mencari alasan, tapi malah alasan nggak benar yang melintas di otaknya. Dia menarik napas, dan mulai menceritakan sebuah cerita dusta.
"Aku udah suka sama orang lain, jadi aku nggak mau sibuk ngeladenin mas-mas jones yang haus kasih sayang."
"Chiko?"
"Nggak, lah! Bisa-bisa Mas Gigih bunuh aku kalau sampe berani naksir Chiko lagi!"
"Kenapa?"
"Apanya kenapa?"
"Kenapa kamu naksir orang lain?"
"Karena..." Heru mencari alasan yang masuk akal kali ini. "Mas itu bukan tipeku. Aku suka sama cewek. Cewek yang dadanya gede, yang hobi lari-lari ke arahku dengan wajah cerianya. Aku suka yang kayak gitu."
Mas Bejo mendadak diam.
"Karena Mas udah tahu, jadi lepasin perasaan itu sekarang juga! Aku naksir cewek sekarang. Aku nggak mau kebahagiaanku dirusak sama Mas. Mas itu temen baik ayahku. Jadi aku nggak mau merusak pertemanan ayahku dengan Mas. Jadi, jangan kejar aku lagi! Aku akan coba lunasin hutang secepatnya."
Mas Bejo masih diam. Heru berdiri, lalu pergi. Mungkin ucapannya agak menyakitkan kali ini hingga Mas Bejo nggak menjawab apa-apa. Mungkin Mas Bejo sakit hati, jadi ketika Heru pergi pun... Mas Bejo sama sekali nggak menahannya.
Heru sudah menolak Mas Bejo, bahkan ketika Mas Bejo nggak meminta Heru jadi miliknya. Heru melangkah pelan. Dia memang merasa bersalah, tapi dia nggak akan berbalik lagi. Ru... kamu jahat sekali! Nggak apa, Ru! Tega-tegaan saja! kalau kamu masih lembek, dia nggak akan pernah menyerah! Ini sudah biasa dan pantas dia dapatkan.
Sisi baik dan buruk Heru berebutan sekarang.
TBC