12th

2582 Kata
            Mas Bejo sudah belajar banyak hal sejak kecil, sejak orang tuanya mengatakan kalau dia harus mandiri. Bejo harus punya prinsip dan nggak boleh ada seorang pun yang boleh melanggarnya. Namun Bejo juga punya cara sendiri agar orang lain nggak melanggar prinsipnya. Cowok itu bersikap bijak dan membatasi orang lain untuk nggak masuk dalam ranah pribadinya. Karena itulah, meski Bejo sering bermain dengan cewek, mereka nggak pernah berani mengatur Bejo. Bejo itu sudah mutlak berdiri sendiri. Kalau dalam jajaran werewolf, Bejo itu alpha dan juga pemimpin suatu pack. Hingga saat ini Bejo bisa hidup dan bersosialisasi dengan orang lain tanpa perlu menggunakan uangnya untuk membeli pertemanan mereka. Tapi sekarang... "Mas bilang gitu ke Heru? Ya nggak bakalan mau, lah dia!" Chiko mengedikkan bahu. Gigih mengangguk meski nggak mengerti. "Aku nggak punya pilihan lain, Ko." "Mas yang salah karena nyoba beli dia pake HP. Dia tersinggung, tuh!" "Aku nggak bermaksud gitu, Ko. Aku cuma nggak betah aja karena dia nggak bisa dihubungi. Kalau ada HP kan enak..." "Mas emang sengaja biar bisa terus berhubungan sama Heru, kan?" tanya Chiko cepat. Mas Bejo menghela napas putus asa. Nasi sudah jadi bubur. Tadi siang di sekolah, Heru mengumpat padanya. Dengan wajah kesal, Heru melotot ganas padanya dan mengatakan, "Kamu kira aku bisa dibeli pake HP? Mungkin HP itu terlihat murah di matamu, tapi manusia itu juga punya harga diri! Harganya nggak akan bisa kamu beli pake uangmu!" Heru serius dalam emosinya. Semua murid menatapnya. Heru nggak sungkan sama sekali. Bejo mengangkat tangan, menyerah tanpa syarat. Dia menyerah untuk nggak memaksa Heru menerima pemberiannya, tapi tetap saja dia ingin melakukan sesuatu untuk Heru. "Aku udah dengerin saran kamu, Ko." "Tapi Mas terlalu jauh." "Aku geregetan, sih..." Mas Bejo kembali mengacak rambutnya gusar. Gigih di sebelahnya hanya tersenyum. Sepertinya Bejo sangat mencintai Heru, jadi nanti Bejo nggak akan punya waktu untuk mengganggu Chiko. Lah, sejak dulu Bejo mana pernah ganggu Chiko, Gih? Chiko yang sering datang untuk konsultasi. Itu hanya hubungan biasa, bukan hubungan yang akan menciptakan percikan cinta. Lagi pula Chiko menganggap Mas Bejo hanya sebagai kakak. "Mas mau apa sekarang?" "Kalau aku mundur, aku nggak bisa, Ko. Aku masih pengen beri ini ke Heru." " Mas keras kepala banget..." "Gimana lagi..." Mas Bejo sepertinya sudah bertekad untuk nggak mundur meski Heru mengusirnya jauh-jauh. Kalau dia meninggalkan Heru, dia takut Heru akan melupakannya. Mas Bejo takut kalau ada orang lain yang akan merebut Heru darinya. Jadi, Mas Bejo nggak mau patah semangat hanya gara-gara masalah ini. Mas Bejo akan kembali menghampiri Heru di sekolah, di rumah, atau di mana pun! Nggak peduli apa yang akan Heru katakan nanti. Kalau Heru nggak mau menerima pemberiannya, Mas Bejo akan menjualnya dengan harga murah. Kenapa ini jadi terdengar lucu? Ah, pokoknya Mas Bejo nggak mau terpisah dan terlepas dari Heru! Apa pun yang terjadi, Mas Bejo akan terus menghampiri Heru, hingga Heru mau menerimanya. Hingga Heru terbuka padanya. Sebenarnya diam-diam Bejo menyesal. Kenapa nggak dari dulu dia bertemu Heru? "Heru pernah main ke sini, nggak, sih?" Mas Bejo bertanya. Sepertinya dia pernah melihat salah satu teman Chiko berkunjung. "Pernah. Dulu pernah jemput aku, Mas." Bejo memejamkan mata. Dia mencoba mengingat sesuatu. Chiko itu nggak pernah punya teman setahu Bejo. Chiko nggak punya teman bukan karena Chiko tertutup, tapi karena kakak sepupu tercinta nggak memperbolehkan dia main dengan teman-teman yang lain. Namun suatu hari Bejo pernah melihat seseorang menjemput Chiko dengan motornya. Tunggu dulu! Kalau nggak salah, dulu Bejo juga sempat melihatnya. Mereka berpandangan dan Heru tersenyum ramah padanya, berniat menyapa. Posisinya adalah dia sebagai tetangga Chiko, jadi Heru menyapa semua orang yang lewat. Waktu itu Bejo juga tersenyum padanya. Mereka damai, njiiiirrr! Mereka baru berseteru setelah kejadian nggak disengaja di rumah sakit waktu itu. Itu hanya kecelakaan, namun sensasinya hingga ke tulang-tulang. Belum lagi Mas Bejo sengaja mengolok Heru dengan pura-pura jadi cewek. Heru terusik sekaligus tersinggung. Dia memang jones, tapi dia nggak mau diolok-olok begini! Dia juga punya harga diri meski begitu! *** Puncaknya, Heru masih nggak menerima HP pemberian Mas Bejo. Alasannya sederhana, namun harga diri Heru dipertaruhkan di sini. Dia belum punya uang untuk beli HP baru, meski ayahnya merayu agar Heru pinjam uang beliau lebih dulu. Tapi Heru itu aneh sejak dulu. Pada orang tua saja dia bisa sungkan begitu, apalagi pada orang lain! Nah, karena Bejo sudah dengar cerita lengkapnya dari ayah Heru, maka cowok jurusan kedokteran itu sepakat dengan hatinya kalau dia akan membuat sebuah pergerakan yang antimainstream. Dia mau jadi satu-satunya orang yang bisa meluruhkan prinsip keras kepala Heru itu. Dan sekarang, Mas Bejo sudah berdiri di depan rumah Heru. Chiko sudah memberitahu Mas Bejo kalau Heru langsung pulang hari ini, nggak mampir-mampir seperti biasanya. Mas Bejo muncul, lalu disambut ramah oleh bunda Heru. "Heru di kamar, tuh! Masuk aja, Jo! Nggak dikunci, kok!" Dengan ramahnya bunda menyuruh Bejo masuk ke kamar Heru. Bejo mengerjap beberapa kali. "Beneran nggak apa, Tante?" "Nggak apa, kok! Dia dipanggil juga nggak bakalan denger. Telinganya pasti disumpal sama headphone." Bejo menelan ludah, tersenyum, dan akhirnya mengangguk pasrah. Kepasrahan ini jadi makin ambigu karena Bejo sangat bahagia dengan saran itu. Jadi, cowok macho kaya raya itu pergi ke kamar Heru. Awalnya hanya mengetuk pintu kamarnya, tapi nggak ada sahutan dari dalam. Bejo nggak tahan lagi. Lalu dengan nada gugup, cowok itu kembali berbicara. "Aku masuk, ya!" Pintu kamar Heru terbuka. Di dalam sana, ada sebuah gundukan mencurigakan di pojok kamar. Bejo mengernyit. Kasur masih tertata rapi, dengan bantal dan guling yang masih tertata. Namun selimut yang biasanya jadi pelengkap di sana nggak ada di posisinya. Selimut itu ada di pojok ruangan, membungkus sebuah gundukan mencurigakan yang membuat Bejo bingung mendadak. Itu makhluk apa di pojokan? Serius itu manusia? Kok malah memilih pojok kamar yang dingin daripada kasur empuk? Bejo nggak habis pikir, tapi dia melangkah mendekat juga pada akhirnya. Ketika kakinya sampai di depan gundukan itu, jemarinya terulur. "Heru..." panggilnya. Dia mencoba membangunkan Heru dengan cara mengguncang tubuhnya. Gundukan itu memang berisi manusia. Gundukan itu juga bernapas, namun nggak bergerak sedikit pun. "Bangun!" Bejo kembali mengguncang tubuhnya. Dia kira, Heru sengaja mengabaikannya karena masih marah dan kesal. Namun nyatanya, Heru memang masih molor, masih tertidur pulas dengan baju minim. Celana pendek rumahan yang pendeknya nggak sampai lutut, juga kaos dalam ala anak sekolahan yang ogah ganti baju. "Woy!" Bejo kembali membangungkan cowok itu. Tapi semua usaha Bejo gagal. Bunda yang nggak sengaja lewat akhirnya melongokkan kepala ke balik pintu. "Cara banguninnya nggak kayak gitu, Jo. Coba bisikin sesuatu di telinganya! Ntar dia bangun tiba-tiba." Bunda memberi saran. Bejo melongo, namun dia nggak akan tahu hasilnya kalau nggak dicoba. Bunda mengangguk, terkekeh, lalu pergi dari tempat itu. Bejo berdehem, mendekatkan wajahnya ke telinga Heru, lalu bibirnya berbisik, "Ru... aku lamar, ya!" Mata Heru terbuka spontan. Menyeramkan karena terlalu mendadak, tapi Bejo justru menganggap itu imut. Astaga! Pasti Bejo sudah terbentur sesuatu ketika ingin berangkat ke rumah Heru tadi. "Ngapain Mas di sini?" Heru mengerjap beberapa kali. Matanya terlihat merah, khas cowok baru bangun tidur. Meski dia baru bangun, namun kewaspadaannya terhadap Mas b***t itu masih tinggi. Ah, sudah lama sekali Heru nggak memanggil Mas Bejo dengan nama sayang itu! "Mau beri kamu HP." "Itu lagi?" Heru jengah. Dia nggak tahu kalau Mas Bejo akan sebebal ini. Orang kaya memang beda, ya! Apalagi orang kaya yang uangnya terlalu banyak. Mungkin Mas Bejo ini nggak punya tempat untuk membuang uangnya, jadi menggunakan uangnya untuk mengganggu orang lain begini! Heru kok jadi terlihat miris, ya! Daripada disumbangkan untuknya yang lumayan gengsi, lebih baik uangnya disumbangkan untuk orang yang lebih membutuhkan. Heru itu butuh, tapi dia bisa berusaha sendiri. Orang tuanya juga cukup mampu untuk memenuhi keinginannya, hanya saja Heru itu memang aneh! Pokoknya aneh! Dulu ketika anak lain sudah pamer karena punya HP tipe terbaru, Heru masih punya HP tulalit yang hanya bisa untuk SMS dan teleponan. Meski begitu, Heru itu bangga sekali dengan HP jadulnya. HP itu dia beli dengan uangnya sendiri, hasil merayu kakek di kampung yang baru panen. Pokoknya Heru harus mendapatkan sesuatu karena usahanya sendiri. "Aku nggak akan pulang sampe kamu mau." "Lah? Kok malah maksa, sih?" "Aku juga merasa bersalah, Ru! Karena aku, HP kamu rusak. Sudah sepantasnya kamu nerima ini." "Tapi HP-ku yang rusak itu kan nggak semahal ini." "Anggap aja ini bonus dariku karena udah nyita semua waktu kamu." Mata Heru berbinar. "Apa setelah ini Mas nggak akan ganggu waktuku lagi?" "Ya tetep, lah! Mana bisa digantiin pake kayak gini? Waktuku buat kamu tuh nggak akan terganti oleh apa pun juga, tahu!" Heru mendadak linglung sekarang. Bejo tersenyum dan akhirnya mengulurkan kotak HP itu ke arah Heru. Heru mikir. Dia nggak semurah ini harus menerima barang dari orang lain. Lalu dengan dalih yang luar biasa, dia memutuskan sesuatu yang cukup adil. "Aku nggak mau nerima ini gratisan..." katanya. "Kamu mau bayar? Sebulan lima puluh ribu? Boleh, boleh!" "Aku nggak mau selama itu! Karena aku juga udah kehilangan satu HP yang sangat kucintai, aku mau nerima HP ini tapi nggak gratis. Aku bayar setengahnya. Anggap aja ganti biaya perbaikan HP-ku." Heru, kamu lumayan bijak, ya! "Sebulan bayar sepuluh ribu, ya!" Mas Bejo tersenyum, merayu. Sebenarnya motif utama Mas Bejo adalah agar Heru makin lama berhubungan dengannya. Semakin lama semakin baik. Bayangkan saja, untuk melunasi seratus ribu saja Heru membutuhkan waktu sepuluh bulan kalau itu memang terjadi! Bejo pasti sangat bahagia. Tahu begitu dia pilih HP yang agak mahal saja agar cicilannya makin lama dan dia bisa lebih lama bekerja sama dengan cowok SMA sarkas itu. "Aku nggak semiskin itu meski jadi murid! Aku kan juga punya tabungan. Kalau inget punya hutang gini, aku bisa puasa di sekolah. Nggak jajan biar uangnya bisa buat lunasin hutang. Semakin cepat semakin baik!" "Aku nggak pengen cepet-cepet biar lama ketemu kamu." Heru mengernyit jijik. Mas Bejo itu nggak tahu tempat, padahal sekarang posisinya ambigu sekali. Heru masih duduk di pojok kamar, di lantai yang dingin. Selimutnya berserakan di lantai. Dia hanya pakai celana pendek dan kaos dalam. "Emang Mas butuh duit banget, ya?" "Aku nggak segitunya butuh duit." "Orang kaya mah beda, ya!" "Aku nggak kaya, Ru! Aku juga sama kayak kamu. Aku juga harus usaha kalau pengen punya duit. Orang tuaku kerja keras bukan buat bikin anak-anaknya jadi manja. Makanya aku juga harus kerja kalau pengen dapat duit. Meski belum resmi, tapi aku juga datang ke kantor dan ngerjain ini-itu kayak karyawan lainnya." "Maaf kalau aku udah salah sangka!" Heru menghela napas. Mas Bejo mengangguk. Cowok itu sudah duduk nyaman di depan Heru. Posisi intim dan juga ambigu itu nggak membuat Heru canggung. Cowok itu dari dulu sudah seenaknya, jadi posisi apa pun pasti dia jalani. "Data di HP lama gimana?" Ekspresi Heru berubah. "Sebenernya aku masih baper gara-gara data yang ada di HP lama itu! Mana aku simpennya di memori telepon, lagi!" "Gimana caranya biar aku bisa balikin data yang itu?" "Aku belinya juga pake uangku sendiri..." "Aku tahu..." "Tapi alasan lain yang nggak bisa dimaafin ya gara-gara data itu. Aku belum sempat mindahin data itu ke laptop." "Data sekolah?" Heru menggeleng kencang. "Kalau data sekolah sih udah aku kirimin salinannya ke email-ku yang satunya. Data lain juga bisa minta ke temen lain. Tapi kalau data yang di HP-ku itu nggak ada yang punya salinannya. Data super penting!" Mas Bejo jadi merasa makin bersalah. Sepertinya nggak ada yang bisa menggantikan data yang sudah hilang itu. Kalau uang masih bisa diganti, tapi kalau data itu... bagaimana? Pakai uang juga nggak akan ada gunanya! "Emang data apaan?" Mas Bejo bertanya pelan. "Koleksi videoku!" Mas Bejo curiga mendadak. "Video apa?" "Video bokep yang aku download sejak zaman dulu, yang pasti udah dihapus sama website-nya. Padahal itu satu-satunya website yang belum kena gusur! Itu langka! Ceweknya yang main di sana aja udah pada tua sekarang. Padahal pas mudanya hot banget! Dadanya gede. Aku begadang download itu dulu! Mana Chiko belum aku bagi, lagi! Kalau Chiko udah punya kan enak tinggal minta ke dia." Heru menggerutu. Mas Bejo melongo sempurna. Setelah dia mikir lama dan merasa bersalah karena data di memori HP Heru menghilang, sekarang dia dihadapkan pada kenyataan ini. Ternyata kekhawatirannya soal data itu nggak berdasar sama sekali. Bahkan Heru jauh lebih mementingkan video yang ada di dalamnya. Kok miris sekali, ya rasanya ketika Bejo mendengar itu! Tapi lebih dari itu, Mas Bejo justru bersyukur. Dia memang nggak bisa jawab apa-apa selain melongo dan menepuk dahinya sendiri, tapi jauh di lubuk hatinya... dia merasa sangat bahagia. Heru nggak akan bisa berfantasi kotor gara-gara nonton video bokep itu! Ah, sebenarnya Bejo hanya cemburu, kok! Dia nggak suka kalau Heru membayangkan orang lain. "Jangan suka nonton yang kayak gitu lagi, Ru!" Mas Bejo menghela napas. "Mas juga pernah, kan?" Dulu jarang, sekarang sering. Mas Bejo bungkam. Sebenarnya dia jadi seperti itu gara-gara Heru. Dulu dia jarang sekali nonton. Itu juga karena dia kepo dan nggak ada kerjaan. Sekarang dia selalu ingin nonton dan membayangkan Heru. Kadang juga Mas Bejo nakal sekali. Kemarin-kemarin dia menelepon Heru dan tangannya bermain di dalam celana. Nah, kan! "Pernah..." "Makanya ngaca, dong!" "Tapi nggak sesering kamu." "Aku nggak sesering itu, lah! Tapi aku nyesel karena koleksiku kena hapus dan menghilang." "Kamu pasti bakalan nonton itu berkali-kali kalau pengen..." tebak Mas Bejo kusut. "Kayak yang situ nggak pernah muda aja! Masa iya baru dilahirkan langsung jadi dokter." Mas Bejo tersenyum geli. Heru masih menggerutu. Dia masih baper jelas. Bahkan dia sudah mengadakan transaksi gelap dengan teman-teman yang lain. Dia ingin minta video seperti itu lagi, tapi mereka nggak punya seperti yang Heru punya! "Adegannya bagus, nggak?" Mas Bejo mulai lagi. Heru mengangguk semangat. Mas Bejo menelan ludah. Kok malah ekspresi Heru jadi begitu? Mas Bejo senang dengan ekspresi semangat Heru, namun agak kecewa karena alasannya agak menyebalkan. Masa iya Heru jadi begitu karena video bokep? "Bagus, Mas! Langka! Karena zaman dulu masih langka alat bantu, mereka dituntut buat kreatif. Udah gitu alat syutingnya juga apa adanya, nggak ada editan dan juga macam cut segala! Pure, apa adanya... bahkan pas ditindih, ceweknya teriak sambil bilang... 'Ittai, ittai... Ah, moou...' gitu sambil gesekin anunya." Mas Bejo h***y mendadak. Dia jadi begitu bukan karena membayangkan adegan yang Heru ceritakan, namun dia terangsang karena mendengar suara Heru. Oh, ayolah! Bejo, kenapa otakmu jadi di s**********n sekarang? "Trus? Trus?" Mas Bejo tergagap. Dia bertanya seperti itu karena berharap Heru meneruskan aktingnya barusan. Suara dan juga ekspresi Heru itu begitu mumpuni untuk membuat Bejo jadi Mas b***t yang sebenarnya. Tapi, Bejo masih punya kontrol diri yang bagus. Dia nggak mau merusak hari yang sudah agak damai itu kembali panas. "Ini salah siapa? Kalau emang data di HP-ku nggak hilang, mungkin aku bisa bagi-bagi sama Mas juga!" Heru jadi baik, ya kalau sudah sharing soal bokep! Padahal awalnya sangat kesal dan juga memasang pagar tinggi di depan Mas Bejo! "Tapi kalau kamu mau adegan yang lebih indah, ntar kita bisa maen sendiri." Mas Bejo menelan ludah. Jakunnya naik turun karena nafsu. Heru menatapnya jijik. "Mana enak kita main berdua!" "Aku bisa bikin kamu jadi enak, kok!" Ah, dirty talk ini nggak akan selesai kalau dua orang itu bertemu! Heru yang memang ceplas-ceplos melawan Mas Bejo yang m***m namun berkedok ilmu. Dari sudut mana saja, dua-duanya memang menjurus pada adegan yang sangat frontal dan juga begitu. "Kayaknya emang sama. Di video lurus juga banyak yang milih anal." "Nah, kamu mana tahu enaknya kalau belum coba!" "Mas pasti udah pernah dan ketagihan. Tapi ukuranku kan gede, mana muat ke lubang Mas." Heruuuu! Mulutmuuuu! Heru itu nggak pernah ada sisi canggung dan sungkannya sekarang ini. Dia terlalu santai sampai membuat orang di sekitarnya berkeringat dingin karena ucapannya yang frontal dan ceplas-ceplos itu. "Aku nggak tercipta buat ditusuk. Aku maunya nusuk kamu, lah!" Mas Bejo akhirnya menyuarakan ideologi mutlak dalam otaknya. Mas Bejo itu dominan. Seme. Top. Atasan. Bagian menggagahi! "Aku?! Ogah! Ntar aku jadi kaum bawah kayak Chiko!" "Kaum bawah kan disayangi, dijaga, dilindungi... aku bahkan bisa mengorbankan nyawaku kalau ada kaum atas, cewek, atau makhluk mana pun yang berniat merebut kamu." "Ogah! Jijik! Nggak sudi!" "Kamu pasti lebih jijik kalau lihat aku yang di bawah, Ru!" "Tapi kan rambut Mas gondrong, kayak cewek!" "Tapi yang mumpuni buat digagahi itu kamu. Aku kan emang lebih gagah!" Obrolan itu jadi makin berantakan. Padahal keduanya hanya mengobrol asal, tanpa ada niatan apa-apa. Ah, Bejo ada, kok! Bejo punya niatan sungguh-sungguh untuk jadi penguasa atas dirimu, Ru! Mereka masih berdebat nggak jelas. Hingga akhirnya Heru kembali terusik dan bertanya galak. "Emang siapa yang mau main esek-esek sama situ?! Nggak sudi!!" TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN