"Kak.. Apa yang kamu lakukan?" geram Ana. Dia mulai menyadarkan dirinya. Mendorong tubuh Miko sangat keras.
"Apa yang kamu lakukan, jangan mencoba untuk menciùmku." pekik Ana. Dia beranjak dari tempat kerja Miko. Dengan wajah penuh emosi dan amarah yang mulai membakar dirinya. Meski dalam hati, dia merasakan hal aneh yang mulai terjadi padanya. Ana melangkahkan kakinya pelan, tangan kanan menyentuh bibir mungilnya. Mengingat apa yang terjadi tadi dengan Miko. Dia masih merasa bibir Miko ada di bibirnya.
Sementara Miko dia hanya diam. Menatap kepergian Ana. Senyum tipis terukir di bibirnya. membayangkan hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
"Ana... Jika seandainya kamu tahu. Jika aku mencintaimu. Apa kamu akan menerimaku?" kata lirih Miko. Sudah lama Aku menaruh rasa padamu. Dan, perasaan ini timbul begitu saja tanpa sebab. Tapi, sekarang aku hanya bisa menjaganya. Aku tidak akan membiarkan laki-laki manapun menyakitimu." lanjutnya.
Miko beranjak duduk di kursi kerjanya. Bayangan wajah Ana selalu menghantui pikirannya.
****
Di sore hari. Ana terdiam diri di depan ruang tamu. Pikirannya benar-benar sudah kacau. Dia hanya diam, dengan bibir sedikit terbuka. Tubuh hanya diam dengan satu posisi seperti sebuah patung hidup. Dia mengerjapkan matanya, tanpa menggerakkan tubuhnya. Mengingat kejadian kemarin membuatnya begitu sakit hati. Ira dan Edward. Mereka benar-benar sangat menjijikkan baginya. Ana mencoba untuk melupakan hal itu. Tetapi, dia selalu memikirkannya lagi dan lagi.
Ana mengepalkan tangannya, Menatap tajam ke depan. Bayangan wajah Edward selalu ada di dalam pikirannya.
"Non Ana kenapa? Apa dia sedang patah hati?" Bi Ratna menghela nafasnya. Bagi, Miko dan Ana. Bi Ratna sekarang adalah orang tuanya. Karena memang sudah lama menjaga dirinya.
Melihat majikannya terlihat murung sendiri. Seperti mayat hidup. Bi Ratna tidak bisa tanggal diam. Dia berjalan mendekatinya. Dan, mencoba berbicara padanya.
"Non, mau buah? Atau, non mau makan? Biar bibi siapkan." Ana hanya diam, tanpa menjawab satu katapun.
"Non, mau bubur? Atau, Apa non, saya akan buatkan. Atau, non mau beli sesuatu?" tanya Bi Ratna terus mencoba berbicara pada Ana. Masih saja tidak ada jawaban dari Ana. Bi Ratna segera berjalan menuju ke dapur. Dia sengaja langsung memberikan beberapa buah untuk Ana. Membersihkannya, lalu memotongnya kecil.
"Bi.. Dimana Ana?" tanya Miko pada pelayannya. Bi Ratna menoleh, melihat Miko berdiri di belakangnya.
Dia seketika tertunduk, memberikan hormat padanya. Dengan cepat, kedua tangan Miko mencegahnya melakukan hal itu.
"Sudah, jangan kebiasaan menghormatinya. Harusnya saya yang menghormati bi Ratna. Tak hanya lebih tua. Bi Ratna juga sudah menjaga kamu dari kamu masih anak-anak." Miko memegang kedua lengan Bi Ratna.
"Baik, tuan!" ucap Bi Ratna gugup.
"Oh, Ya. Dimana Ana. Apa dia sudah makan? Dari tadi siang dia belum juga makan? Di panggil juga tidak mau keluar." ucap Miko.
Bi Ratna menghela nafasnya. Dia teringat jika Ana belum makan sama sekali. Dia juga mengangkat kepalanya menatap ke arah ruang tamu. Bi Ratna menunjuk ke arah ruang tamu. Miko mengerutkan kedua alisnya. Dia mengamati telunjuk Bi Ratna mengarah.
"Non, Ana sepertinya dia sedang tidak baik-baik saja. Dari tadi saya mencoba memanggilnya. Tetapi, dia malah diam. Tanpa menatap sama sekali ke arah saya." jelas Bi Ratna.
Miko menggelengkan kepalanya pelan. Dia menatap ke depan. Melihat potongan buah yang sudah bersiap di atas piring. "Bi, ini buat Ana?" tanya Miko memastikan.
"Iya, tuan. Untuk siapa lagi jika bukan Non, Ana." ucap Bi Ratna. Sembari tersenyum tipis. .
"Aku yang akan berikan padanya." ucap Miko. Mengambil potongan buah di atas piring. Tepat berada di atas meja dapur miliknya.
Dengan langkah cepat. Miko berjalan menghampiri Ana. Lalu, duduk di sampingnya. Sembari meletakkan satu piring buah di atas meja ruang tamu.
"Ana..." panggil Miko. Dia menepuk pundak Ana. Mencoba menyadarkan Ana dari lamunannya.
"Kak... Kenapa Edward menyakitiku? Apa aku kurang cantik, atau memang aku kurang seksi dari ira?" tanya Ana. Seketika Miko terdiam, dia paham sekarang apa yang dipikirkan oleh adiknya. Miko menghela nafasnya, dia menarik punggungnya duduk lebih dekat dengan Ana, mengangkat tangan kirinya penuh keraguan. Dia menepuk pundak Ana. Mengusapnya lembut. Diiringi helaan nafas segar yang keluar dari sela-sela bibirnya.
"Lupakan semuanya." ucap Miko.
Ana menarik nafasnya dalam-dalam. Air mata yang semula tidak ingin keluar dari bibir nya. Kini dia hanya butuh ketenangan darinya. Ana meluapkan emosi dirinya. Dia terus menangis tersedu-sedu. Kedua telapak tangan menutup dengan kedua tangannya.
Aku harap kamu benar-benar melupakan kejadian Ira dan Edward. Jangan pikirkan dia lagi. Gosip hari ini cukup jadikan pelajaran. Jangan sampai kamu ikut jadi orang tidak waras sama seperti mereka." geram Miko.
"Hikss.... Kak... Apa karena aku memang sudah tidak menarik lagi.. Jujurlah jawab padaku." Ana meluapkan semua emosi dalam hatinya dengan tangisan yang semakin dia mendekap erat tubuh Ana. Masuk ke dalam dekapan hangat tubuhnya. Miko mendekapnya sangat erat. Kedua tangan di belakang punggungnya. Siapa yang menyakiti kamu. Maka aku akan mencoba untuk selalu ada untukmu.
"Kak Miko, aku boleh tanya satu hal. Jika menyebarkan hal berhubungan untuk mencopot jawab Miko. Miko mendekapnya semakin erat. Menyembunyikan wajahnya di balik d**a bidang miliknya.
"Arrggg..." teriak Ana. Memukul d**a bidang Moko dipukul habis oleh Ana. Meluapkan emosi yang masih belum sepenuhnya bisa lepas dalam dirinya.
"Aku benci kamu, aku benci sama kamu... Aku benci kamu.." Ana menaikan nada naik turun. Suara kecil dan imut itu dia seperti anak kecil yang manja. Miko mengusap lembut rambut Ana yang di ujung kepalanya.
"Jangan pernah pergi dariku? kata Miko.
"Ana menautkan kedua alisnya. Dia perlahan mengangkat tangannya. memberikan satu tusuk buah pada Ana.
"Aku gak mau makan." Ana menyingkirkan tangan Miko di depannya.
"Makanlah sedikit saja. Setelah itu kamu boleh pergi. Atau, jika memang kamu siap bertemu para wartawan yang sudah siap untuk melayangkan sejuta pertanyaan padamu." kata Miko. Di balas dengan gelengan kepala pelan. Dengan bibir manyun seperti anak kecil.
"Aku gak mau, aku masih terasa kenyang."
"Sedikit saja."
"Aku bilang sudah kenyang. Ana melepaskan pelukannya.
"Sedikit."
"ENGGAK!" tegas Ana mengeraskan suaranya. ada memang tidak dengan hatinya. Sepertinya memang benar
Miko menghela nafasnya kesal. Dia memutar otaknya mencari cara agar wanita di sampingnya mau makan. Miko, memegang dagu Ana. Memberikan paksa buah di mulutnya. Merasa begitu enak, dia mengunyah perlahan.
"Sekarang makan, jangan banyak alasan lagi untuk tidak makan. Jika kamu sakit, tidak hanya aku yang mengkhawatirkan dirimu. Tetapi, orang tua kita juga sama. Dia juga sangat peduli.
"Makasih." ucap Ana. Kedua matanya menatap lekat wajah Miko. Sembari mengatupkan bibirnya. Mengunyah dengan wajah yang begitu imut saat dia kesal, Menahan tangis, sembari mengunyah makanan.
Miko tersenyum tipis. Dia mengusap ujung kepala Ana. "Kamu terlihat sangat lucu." ucap Miko.
"Lucu? Aku kesal dibilang lucu?" geram Ana, memalingkan wajahnya acuh.
"Eh.. Emang kamu lucu." Miko mencolok pipi Ana yang memerah seperti kepiting rebus.
"Jangan sentuh aku." pekik Ana.
"Oke.. Aku tidak akan menyentuhmu." Miko membenarkan duduk Ana. Dia membaringkan tubuhnya meletakkan kepalanya di atas kedua paha Ana. Sembari menatap wajah Ana dari bawah. Terlihat lipatan di lehernya.
"Gendut!" ejek Miko.
Ana mengerjapkan matanya. Dia menarik sudut bibirnya tipis. Menyentuh bawah dagunya. "Memangnya aku beneran gendut?" tanyanya mulai panik.
"Iya... Tapi, lucu." goda Miko.
"Udah, basi. Kakak jangan mencoba merayuku. Aku sama sekali tidak tertarik dengan kakak." Ana memalingkan wajahnya acuh. Melipat kedua tangannya di atas dadànya.