6. Hom Pim Pah

1538 Kata
Pagi-pagi sekali Kenny sudah diceramahi oleh Mr. Tan untuk menjemput Kirei di rumahnya. Apalagi tujuannya kalau bukan membuat mereka lebih dekat. "Kalau bukan karena Ayah, enggak akan gue mau jemput cewek rese bin ngeselin bin cerewet bin galak bin menjengkelkan bin bin bin, argh...! Pokoknya seluruh kata kasar buat dia." Kenny memukul setir mobilnya merasa kesal atas wasiat yang wajib dia jalankan. Kenny berhenti tepat di depan rumah baru Kirei. Kenny malas sekali untuk turun dan berbasa-basi pada kedua orang tua Kirei. Kenny hanya membunyikan klakson mobilnya. Berharap gadis itu mengerti akan tanda isyarat. Kenny melihat Kirei keluar dari rumah diantar oleh Jenny sampai depan pintu. Kirei semakin mendekati mobil Kenny sampai kini Kirei sudah masuk ke dalam mobil berwarna merah milik sang tunangan. "Ini, dari Mama." Kirei menyodorkan kotak berisi brownies ketan kesukaan Kenny. "Thank buat Mama lo." Kenny menerima kotak itu lalu menaruhnya di dashbord mobilnya. Tanpa ba bi bu lagi, Kenny langsung menggas mobilnya menuju tempat di mana mereka sekolah. Waktu lima belas menit untuk sampai ke sekolah terasa sangat lama. Hanya kebisuan yang mengiringi perjalanan mereka. "Turun." titah Kenny tanpa perasaan. Kirei melotot melihat di mana dirinya. Ini tepat berada di depan gang masuk ke sekolahnya. Berjalan kaki pun lumayan membuat kaki Kirei pegal-pegal. "Cepat turun! Lo budek atau congek sih?!" bentak Kenny tanpa perasaan pada Kirei. Kirei mendengus mendengar bentakan Kenny. Amarahnya sudah hampir memuncak jika Kirei tidak mengingatkan dirinya lagi bahwa Kenny itu tunangannya. Brak! Kirei membanting pintu mobil Kenny secara brutal untuk melampiaskan kekesalannya. Baru juga Kirei akan mengomel, Kenny sudah melajukan mobilnya meninggalkan Kirei. “Enggak punya perasaan banget sih itu orang jadi cowok." gerutu Kirei memandang beringas ke mobil Kenny. "Rei, kok lo di sini sih?" Kirei menengokkan kepalanya ke arah sumber suara. "Let? Lo jalan kaki?" tanya Kirei bingung. "Enggak kok, naik angkot hehehe..." jawab Aletta jujur sembari menampilkan deretan gigi putihnya. "Oh... Gue kira jalan kaki. Ke kelas yuk bareng." ajak Kirei dengan tampang cerianya. "Yuk." Aletta merangkul bahu Kirei senang. Ternyata Kirei menerimanya apa adanya. Meski Kirei tahu kalau Aletta ke sekolah naik angkutan umum, tidak diantar mobil mewah seperti Vanilla atau Chelsea bahkan Kirei. Mereka berjalan beriringan menuju sekolah mereka yang hampir terlihat. Masih membutuhkan beratus langkah lagi untuk benar-benar sampai ke kelas XI IPA-1. "Lo sudah sarapan, Let?" Kirei menengokkan kepalanya ke arah Aletta. "Sudah kok, lo sendiri?" "Mama selalu memastikan gue buat sarapan sebelum ke sekolah dari kecil." jawab Kirei merasa bangga memiliki seorang Jenny yang sangat mementingkan keluarga. Aletta terdiam sebentar, senyumnya berubah menjadi senyuman masam. Untunglah Kirei tidak menyadari perubahan raut wajah Aletta saat ini. Mereka terus berjalan beriringan sampai mereka tidak sadar kalau mereka sudah sampai di jalan masuk ke halaman sekolah. "Sudah berdua saja ini." goda Vanilla baru saja tiba di depan mereka. "Ya ampun Van, lo mengagetkan gue tahu enggak." dumel Aletta melihat Vanilla yang cengar-cengir kuda tak jelas. "Maaf deh maaf, kelas yuk." ajak Vanilla menarik lengan Aletta dan Kirei menggunakan kedua tangannya. "Chelsea belum datang ya?" tanya Kirei. "Paling bentar lagi, atau enggak lagi di kantin." "Maksudnya?" kening Kirei mengerut mendengar jawaban Vanilla dan Aletta dengan kompaknya bisa sama. "Chelsea itu bisa datang paling siang kalau kambuh malasnya. Tapi Chelsea bisa datang paling pagi juga kalau lagi sehat dari sakit jiwanya." Aletta berusaha menjelaskan. "Buahaha... Aneh banget si Chelsea." tawa Kirei meledak seketika. "Ya itulah Chelsea." Vanilla mengedikkan bahunya tak acuh. *** "Lo kalah bego!" Gama menjitak kepala Rangga tanpa ampun. "Main lagi deh. Ulang-ulang, masa gue kalah mulu. Gue ganti yang biru ah biar menang." protes Rangga tak terima. "Lo kalau kalah ya kalah saja, Ga." ucap Nathan mewakili Gama. "Enggak, pokoknya gue mau diulang. Gue mau yang biru, enggak mau yang merah." Rangga mengibas-ngibaskan tangannya tak terima jika kalah. "Bukannya dari dulu lo ingin warna merah terus ya? Pas main berubah-berubahan sih lo nangis kalau enggak dapat peran power rangers merah." ledek Gama membuat wajah Rangga malu. "Gue sudah gede, pokoknya gue mau biru. Main pertama biar jadi pemenang." kekeuh Rangga membuat Nathan dan Gama geleng-geleng kepala. "Kita hom pim pah saja bagaimana? Tapi peraturannya di balik. Biasanya kan yang menang duluan, nah sekarang yang menang jadi terakhir." usul Gama membuat Rangga berpikir keras. "Ok, gue mau." sahut Nathan antusias. Gama menowel-nowel paha Nathan yang memang duduk di sebelahnya. Gama membuka telapak tangannya ke arah Nathan memberi isyarat agar Nathan mau bekerja sama dengannya. Setelah Nathan melihat tangan Gama, Nathan mengacungkan jempolnya tanda setuju. Tentu saja mereka melakukannya di samping meja supaya Rangga tidak melihatnya. "Bagaimana, Ga? Lama banget mikirnya." tanya Nathan mendesak. "Iya deh, gue mau." Rangga langsung menaikkan tangannya ke atas meja. Nathan dan Gama ikut menaikkan tangannya ke atas meja mengikuti Rangga. "Tangan kanan, Pit." "Gue yang punya tangan." Rangga mendegus akan jawaban Nathan. "Kita mulai." pandu Gama. Hom pim pah alaihum gambreng. Mpok Ipah pakai baju rombeng. Nyanyi mereka bertiga sambil membolak-balikkan telapak tangan masing-masing lalu berhenti pada akhir lagu. "Lo kalah, Ga." Rangga melengos melihat telapak tangannya mengarah ke bawah. Sedangkan Nathan dan Gama ke atas. "Curang lo berdua, ulang deh ulang." gerutu Rangga tak terima. "Ish... Lo kan sudah kalah." tolak Nathan. "Pokoknya ulang." pinta Rangga kekeuh. "Ya sudah ulang." serah Gama setelah memberi kode pada Nathan terlebih dahulu. "Ngeselin tahu enggak lo." decak Nathan menaikkan tangannya ogah-ogahan. Hom pim pah alaihum gambreng. Mpok Ipah pakai baju rombeng. "Ish... Kok gue kalah lagi sih." desah Rangga melihat tangan Nathan dan Gama ke bawah. Sedangkan tangan Rangga ke atas. "Fiks, lo kalah. Enggak ada diulang lagi." "Ulang sekali lagi dong, Nat." mohon Rangga membuat Nathan bergidik ngeri. "Yuk Gama, giliran kita berdua. Siapa yang dapat biru." ajak Nathan antusias. "Gue mau yang biru." rengek Rangga menjijikkan. Hom pim pah alaihum gambreng. Mpok Ipah pa...  Bugh! Bugh! "Aw... Sakit gila!" ringis Nathan tiba-tiba. "Aw... Pala gue gegar otak." sahut Gama seperti Nathan yang memegangi kepalanya. Bugh! "Aw... Sakit bangsuy." marah Rangga setelah mendapat lemparan tas ketiga dari pelaku yang sama. "Otak lo di mana sih, Ken?" marah Nathan masih mengelus-elus kepalanya. Kenny duduk di bangkunya tanpa mengindahkan umpatan-umpatan dari ketiga sahabatnya. Matanya melihat pada ponsel yang menyala di tengah-tengah ketiga sahabatnya. "Otak lo bertiga bisa enggak sih enggak penuh sama ludo? Sepet tahu enggak gue tiap lihat lo bertiga adu mulut cuma gara-gara permainan itu." decak Kenny mendapat lirikan sinis dari Rangga, Nathan dan Gama. "Lo enggak tahu sih, bagaimana sensasinya kalau main ludo. Bikin tegang tahu enggak." gerutu Nathan kesal. "Memang lo bisa tegang?" "Pertanyaan lo ambigu, bangke..." Nathan memukul bahu Kenny. "Lo yang ambigu oon. Gue tanya benar, wajah lo itu selama ini datar-datar saja. Gue belum pernah lihat wajah lo serius atau kaget, bego sih otak lo." Kenny balas memukul kepala Nathan. "Gue kira itu, Ken." sahut Gama di dekat Nathan cengengesan. "Itu apaan?" tanya Rangga tak mengerti. "Itunya Nathan enggak bisa tegang." jawab Gama tanpa dosa. "Buahaha..." tawa Gama, Rangga dan Kenny menggema di seluruh penjuru ruangan. Jtak! Jtak! Jtak! "Kepala gue kayaknya beneran gegar otak ini." desah Gama menahan perih di ubun-ubunnya atas jitakan dari Nathan. "Lo kira-kira dong Nat, sakit ini kepala gue." ringis Rangga tak kalah sakit oleh kepala Gama dan Kenny. "Bangke tahu enggak kalian." dengus Nathan. Tangannya meraih ponselnya lalu memasukkan ke dalam saku celananya. "Sudah ah, gue mau ke toilet dulu." Nathan bangkit meninggalkan ketiga sahabatnya. "Mau cek bisa tegang apa enggak ya, Nat." goda Kenny membuat Rangga dan Gama kembali tertawa terbahak-bahak. "Bibir lo busuk." geram Nathan melajukan langkahnya dengan cepat. Bruk! "Ah... Punya mata enggak sih." marah suara siswi yang Nathan tabrak. "Nat, lo enggak apa-apa kan?" Kirei dan Aletta berjongkok dekat Vanilla yang jatuh karena ditabrak oleh Nathan ketika sampai di ambang pintu. "Sorry Van, gue enggak sengaja." Nathan mengulurkan tangannya ingin membantu Vanilla. "Lo punya mata enggak sih? Sakit ini p****t gue." meski pun mengomel, Vanilla tetap menerima uluran tangan dari Nathan sampai kini berdiri. "Ya maaf, gue enggak sengaja." Nathan menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. "Bohong Van, Nathan sengaja tabrak lo biar bisa tegang." teriak Rangga membuat Vanilla, Aletta dan Kirei menengok ke arah Rangga. Mereka bisa melihat Rangga, Gama juga Kenny sedang tertawa begitu kencang sambil memegangi perutnya. Nathan memandang kesal ke arah tiga sahabatnya. Hidungnya sudah kembang kempis menahan amarah. "Apanya yang mau lo buat tegang, Nat?" tanya Vanilla polos mengarah ke Nathan. "Buahaha..." Rangga, Kenny dan Gama semakin mengencangkan tawanya. Hal itu membuat ketiga gadis di hadapan Nathan ini bertambah bingung. Terutama Vanilla, keningnya mengerut mencoba berpikir apa yang sedang dibicarakan oleh mereka. Nathan semakin bingung akan menjawab apa kepada Vanilla. "Apa sih, Nat? Kok mereka ketawa sampai segitunya? Memang ada yang lucu ya?" tanya Vanilla lagi karena Nathan tak kunjung menjawab pertanyaannya. "Em... Enggak kok, Van. Iya enggak, bukan apa-apa kok. Mending lo duduk saja deh. Dari pada lo tambah bingung. Mereka memang enggak waras kan." jawab Nathan mencoba biasa saja. "Ya sudah deh, gue juga enggak mengerti." "Sorry ya, gue tadi sudah nabrak lo." "It's ok, gue juga enggak sampai patah tulang kok." balas Vanilla tersenyum pada Nathan. Vanilla langsung meninggalkan Nathan menuju tempat duduknya diikuti oleh Aletta. Nathan sendiri sudah pergi menuju toilet. Kirei berjalan menuju tempat duduknya di sebelah Kenny. Rangga sudah pergi menuju tempat duduk barunya di samping Aletta. "Pagi, Rei." sapa Gama manis ke Kirei. "Pagi juga, Gam." balas Kirei tersenyum pada Gama. Kirei maupun Kenny bersikap biasa saja ketika Kirei sudah benar-benar duduk di kursinya dekat Kenny. Beralih ke meja Vanilla juga Aletta yang sudah ada Rangga. Vanilla membalikkan badannya ke belakang mengarah ke Rangga. "Ga, yang lo maksud tadi apa sih?" tanya Vanilla penasaran. "Yang mana?" Rangga menaikkan sebelah alisnya tak mengerti. "Yang tadi, yang pas lo bilang Nathan sengaja nabrak gue biar bisa tegang." ucap Vanilla memperjelas. "Oh tadi? Bukan apa-apa kok. Enggak usah dipikirkan, enggak penting juga." jawab Rangga menahan tawanya. "Tapi gue juga penasaran loh." sahut Aletta ikut nimbrung. "Bukan apa-apa Aletta, Vanilla. Sudah deh, enggak usah dipikirkan." "Ya sudah deh." Vanilla memutar badannya lagi mengarah ke depan. Aletta sendiri sudah sibuk dengan buku paketnya. *** Next...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN