7. Bergoyang

1373 Kata
Bel pulang sekolah pun menggema di seluruh ruangan SMA Agunsa. Semua murid berhamburan keluar kelas secara berebut untuk menjadi yang terdepan. Padahal menjadi yang pertama keluar gerbang pun tidak membuatnya mendapat hadiah. Berbeda dengan kelas XI IPA-1 yang masih sibuk mengerjakan ulangan dadakan pemberian guru killer mereka. Mereka tidak diperbolehkan keluar jika belum menyelesaikan soal matematika dari Adinata. "Let, lihat dong nomor tiga sampai lima." Rangga berbisik-bisik tetangga pada Aletta. "Gue kasih rumusnya saja ya." tawar Aletta berbaik hati. "Yah, gue enggak bisa. Makanya gue minta contekan ke lo." Aleta kasihan juga melihat wajah melas Rangga. "Ya sudah deh, ini." Aletta menyodorkan selembaran kertasnya pada Rangga. "Thank." Rangga langsung menyalin jawaban Aletta ke lembar jawabannya. "Waktu kalian hanya lima menit lagi." seru Adinata membuat semua murid kembali mendesah pasrah. Ini sudah melebihi jam mereka untuk pulang. Dua puluh menit berlalu, arloji pada pergelangan tangan Gama sudah menunjukkan pukul satu lewat dua puluh. Ya, sekolahan mereka baru pulang tepat pukul satu, karena jam masuk pun pada pukul setengah delapan. "Gue punya sobat dekat gue kenapa pada pelit semua sih." gerutu Gama melihat ke arah kursi Nathan dan Kenny sudah kosong. Kirei juga sudah keluar dari tadi. "Yang sudah selesai segera kumpulkan." suara Adinata kembali menggema. Aletta maju ke depan membawa kertas ulangan dan tasnya. Rangga menunggu Aletta sampai keluar dulu baru dirinya menyusul. Vanilla dan Chelsea juga sudah keluar dari tadi. Setelah memastikan Aletta keluar, Rangga pun ikut mengumpulkan lalu berjalan keluar dan memandang remeh ke Gama. "Tumben lo keluar sebelum Adinata bilang waktu habis." cibir Nathan yang ternyata menunggu di depan kelas. "Ada deh." jawab Rangga diiringi cengirannya. "Kenny mana?" tanya Rangga celingak-celinguk. "Sudah pulang duluan." jawab Nathan acuh tak acuh. Rangga dapat melihat Aletta yang masih bercanda dengan Vanilla di tempat lain. "Gama lama banget sih." gerutu Nathan kesal. "Let." panggil Rangga pelan, tapi berhasil membuat Aletta menoleh padanya. Rangga melambai-lambaikan tangannya bermaksud memanggil Aletta supaya mendekat ke arahnya. "Ada apa, Ga?" tanya Aletta bingung. Vanilla pun mengikuti Aletta. "Sebagai ucapan terima kasih gue, gue antar lo pulang deh." ujar Rangga manis. "Gue bisa pulang bareng Chelsea kok. Ini lagi nunggu Chelsea balik dari toilet." jawab Aletta berusaha menolak secara halus. Meski dalam hatinya Aletta sangat senang jika Rangga ingin mengantarnya. "Eh tapi, Let. Chelsea barusan chat gue nih, dia enggak bisa mengantar lo pulang. Sekarang saja dia sudah di perjalanan pulang." sahut Vanilla menunjukkan ponselnya pada Aletta. "Kok tumben sih Chelsea enggak pamit, terus buru-buru lagi." komentar Aletta mengembalikan ponsel Vanilla. "Tuh kan, sudah pulang bareng gue saja." ajak Rangga lagi. "Kumpulkan sekarang!" teriakan Adinata terdengar sampai luar kelas. "Hitung-hitung irit ongkos, Let." usul Vanilla. "Nah, iya itu kata Vanilla." Rangga membenarkan ucapan Vanilla. "Tapi rumah gue di tempat terpencil." "Gue antar, yuk." "Sudah Let, keburu telat loh." Vanilla mengingatkan. "Telat ke mana?" tanya Rangga tak mengerti. "Enggak kok, enggak ke mana-mana." jawab Vanilla dan Aletta bersamaan. "Yuk." "Ya ampun, otak gue ngebul." desah Gama yang baru keluar dari kelas. "Lo lama banget sih, Gama. Jamuran ini gue nunggu lo." gerutu Nathan memandang kesal ke arah Gama. "Eeummm... Gue pulang duluan ya, bye." pamit Rangga kepada Nathan, Gama dan Vanilla. "Hati-hati lo bawa anak gadis orang." sahut Gama melirik ke Rangga. "Gue duluan ya." pamit Aletta mengikuti Rangga. "Ok." balas Vanilla. "Gue duluan ya, Nat, Gama." pamit Vanilla mendahului Nathan dan Gama. "Ok, Van." balas Gama sekenanya. Vanilla meninggalkan mereka berdua. "Lo tumben nungguin gue." "Gue mau minta tolong." Nathan berjalan beriringan dengan Gama. "Apaan?" Gama memicingkan matanya was-was akan apa yang mau diucapkan Nathan. "Tolong antarkan Zeline pulang, gue harus ke lapangan futsal sekarang juga." Mata Gama berbinar mendengar Nathan memintanya untuk mengantarkan Zeline pulang. "Serius lo?" tanya Gama memastikan. "Gue bukan orang yang mau buang-buang waktu buat hal yang enggak penting." "Ok, gue antar adik lo dulu ya. Bye calon kakak ipar." Gama sudah berlari meninggalkan Nathan. Nathan melihat arloji pada pergelangan tangannya. Jarum panjang berada pada angka enam. Itu artinya sudah setengah dua sekarang. Nathan terus berjalan, matanya menangkap sesosok wanita yang tadi sempat bergabung bersamanya. "Cari apa, Van?" tanya Nathan melihat Vanilla sedang melihat semak-semak. "Eh Nat, gue cari cincin gue ini. Barusan jatuh di sini." jawab Vanilla menunjuk ke dekat sepatunya. "Di mana?" Nathan mendekati Vanilla, berniat membantu Vanilla mencari cincinnya yang jatuh. "Ini, di sini." Vanilla mulai mencarinya lagi. "Eh... Eh... Kok goyang sih, Nat." Vanilla merasakan guncangan yang sangat dahsyat melandanya kini. "Gempa, Van. Gempa!" pekik Nathan sambil bergoyang-goyang karena guncangan gempa. "Ya Tuhan, tolong Van. Van belum mau mati." doa Vanilla ketakutan. "Pegangan gue, Van." Nathan mengulurkan tangannya ke Vanilla. Vanilla menerima uluran tangan Nathan lalu berusaha berjalan mendekat ke Nathan. Tubuh keduanya terus bergoyang ke sana kemari. Ketika Vanilla bisa meraih tangan Nathan, tiba-tiba Nathan terjatuh ke belakang hingga menarik Vanilla. Otomatis Vanilla tepat jatuh di atas tubuh Nathan. Wajah mereka sangat dekat, bahkan bibir mereka menempel. Vanilla memejamkan matanya erat-erat karena takut. Berbeda dengan Nathan yang memandang wajah Vanilla dengan jarak sedekat ini. Bahkan tubuh Nathan sudah panas dingin karena merasakan bibir Vanilla yang menempel pada bibirnya. Bukan hanya itu, seluruh tubuh Vanilla menempel pada tubuh Nathan. Nathan sampai lupa jika mereka sedang dilanda gempa. Vanilla merasakan getaran bumi ini berhenti. Vanilla membuka matanya perlahan. Matanya terbuka sempurna ketika menyadari posisinya kini yang sangat dekat dengan Nathan. Bahkan tubuh mereka menempel tanpa jarak. Dengan kegugupan tinggi, Vanilla langsung bangkit dan mencoba menetralkan detak jantungnya yang dag dig dug seperti beduk. Nathan ikut bangkit lalu membersihkan celana seragam dan jaketnya yang kotor karena dedaunan yang menempel. "Sorry Van, gue enggak bermaksud apa-apa sama lo." ucap Nathan berusaha biasa saja. "I-iya... Gu-gue... Juga minta maaf. Gue pulang duluan." Vanilla meninggalkan Nathan setelah mengucapkan maaf. Pasalnya Vanilla sangat malu saat ini. Bahkan Vanilla sampai lupa dengan cincinnya yang jatuh. "Bibir gue." Nathan memegang bibirnya yang baru saja menempel pada bibir Vanilla. "Kan jadi tegang beneran." ucap Nathan tanpa sadar. "Aish... Nathan sadar." Nathan menggeleng-gelengkan kepalanya. Menepis setiap pikiran-pikiran absurd dalam otaknya. Ketika Nathan menggeleng-gelengkan kepalanya, tak sengaja Nathan melihat kilauan emas di dekat semak-semak. "Ini kali ya, cincinnya Vanilla." Nathan mengambil cincin itu lalu memasukkan ke saku celananya. *** "Ga, kok goyang-goyang ya." Aletta memegangi jok motor Rangga. "Iya Let, pusing ini gue." Rangga mutar-mutar tidak jelas sembari memegangi kepalanya. "Yah... Yah..." Bruk! Aletta terjatuh karena guncangan gempa yang sangat dahsyat. Rangga pun sudah bersandar pada mobil di dekatnya. Rangga berjalan pelan-pelan ingin mendekati Aletta yang terjatuh lalu berjongkok di depan Aletta.  "Let, lo enggak apa-apa kan?" Rangga berusaha meraih tangan Aletta. "Pusing gue juga, Ga." Aletta memegangi kepalanya sendiri. "Sini lebih dekat ke gue." Rangga berusaha menarik tangan Aletta. Semuanya masih bergoyang seperti sedang ada pementasan dengan lagu dangdut. Aletta menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri. Sampai pada gempa berhenti, Aletta masih mencoba menetralkan rasa pusingnya. "Masih pusing?" tanya Rangga memastikan. "Iya ini, pusing banget." Rangga mengulurkan tangannya ke arah puncak kepala Aletta lalu mengusap ubun-ubun Aletta sangat pelan. Membuat Aletta mematung seketika atas perhatian tak diduga Rangga padanya. Matanya pun susah untuk dikedipkan. "Masih pusing?" tanya Rangga manis menatap Aletta. "Sudah mendingan kok." jawab Aletta berusaha menutupi kesaltingannya. "Ya sudah, gue antar pulang sekarang saja." ajak Rangga membantu Aletta berdiri. Aletta hanya mengikuti saja, senyumnya tak bisa pudar. "Yuk naik." ajakan Rangga membuyarkan lamunan Aleta. Aletta mengangguk lalu naik ke motor Rangga. "Pegangan, Let." "Ini sudah pegangan kok." jawab Aletta memegangi behel motor Rangga. "Di sini, Let." Rangga menarik kedua tangan Aletta lalu melingkarkan pada perutnya. Wajah Aletta tambah merona dibuatnya. Hatinya tergelitik oleh perlakuan manis Rangga kali ini. *** Berbeda dengan kedua sahabatnya yang sedang mengalami kegugupan. Kirei malah dilanda suasana mencekam dalam mobil Kenny. Brak! "Aw... Sakit woy." gerutu Kirei memegangi keningnya yang terkena dashbord mobil Kenny. Brak! Tiba-tiba saja mobil Kenny menabrak mobil di depannya. Bahkan belakang mobil Kenny juga ditabrak oleh pengendara lain. "Ken, kepala gue pusing banget. Goyang-goyang begini." Kirei memegangi keningnya yang benjol. "Gempa, Rei." ujar Kenny santai, seolah-olah bukan masalah serius. Padahal guncangannya membuat Kirei ketakutan. Semua orang berhamburan keluar mobil mereka masing-masing kecuali kedua orang ini. "Keluar yuk, Ken." ajak Kirei panik. "Enggak usah." larang Kenny membuat mata Kirei melotot. "Tapi gue takut." "Di sini saja." Kenny menyandarkan badannya pada jok mobil. "Ya Tuhan selamatkan hamba." doa Kirei ketakutan. Tak berapa lama, gempa pun berhenti. Sungguh mengerikan merasakannya, semua orang kembali memasuki mobilnya masing-masing. "Ish... Mobil gue lecet." gerutu Kenny membuat Kirei tercengang. Bagaimana tidak tercengang. Kenny lebih mementingkan keadaan mobilnya ketimbang keadaan Kirei yang masih shock. Hal itu membuat hati Kirei mencelos. "Macet lagi, argh...!" Kenny membanting setir mobilnya. "Sabar dikit kek." cibir Kirei melirik ke arah Keny yang sangat kesal. Kenny mengembuskan nafasnya kasar. "Gue enggak betah lama-lama di dalam mobil sama cewek gatel kayak lo." ucap Kenny tajam. "Itu congor kalau ngomong disaring dong. Enggak ngaca apa, kayak sendirinya yang paling terhormat saja." Kirei memalingkan wajahnya menatap jendela. Hati Kirei ngilu mendengar penuturan Kenny barusan. Meski Kirei bersikap tak acuh, tapi jauh di dalam hatinya merasa sakit akan ucapan Kenny. *** Next...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN