Sifat manusia bisa berubah, begitu pula dengan perasaannya. Namun, ada satu hal yang tidak akan berubah, yaitu kenangan bersama orang yang dicintainya.
*****
Sehan tidak pernah menyangka kalau ia akan benar-benar menapakkan kakinya di SMA Hawon. Setiap sudut sekolah ini menyimpan kenangan tersendiri baginya. Walaupun beberapa bagian sudah direnovasi, ia tidak akan pernah lupa. Bahkan sejak tadi Sehan hanya sibuk bernostalgia daripada mendengarkan penjelasan Yoonho.
“Hei, kau tidak mendengarkan penjelasanku ya sejak tadi?” Yoonho menegur sambil menahan bahu Sehan. Tentu saja hal ini membuat Sehan berhenti melangkah dan menatapnya bertanya-tanya.
Yoonho berdecak. “Kita sudah sampai di kelasmu.”
“Oh?” Sehan refleks mendongak guna memastikan kalau mereka sudah sampai di depan kelas 11-1. Ia tersenyum malu. “Maaf, Kepsek Jung.”
Yoonho mengibaskan tangannya. “Sudah, tidak apa-apa. Aku tahu kau sedang bernostalgia kan, tadi?” Sehan hanya tersenyum.
“Ya sudah kalau begitu—“
“Oh Sehan!”
Tiba-tiba saja ada yang menyerukan nama Sehan dengan cukup lantang. Sehan dan Yoonho menoleh. Mereka sama-sama tampak heran saat melihat seorang siswi melangkah mendekat. Raut gadis itu tampak semringah. Begitu sudah berada di hadapan Sehan, ia melakukan sesuatu yang sangat mengejutkan.
Grep!
Siswi itu memeluk Sehan begitu eratnya. “Aku merindukanmu, Oh!”
Deg! Apa-apaan ini? Sehan membatin aneh. Bagaimana tidak? Gadis itu baru saja menyapanya dengan panggilan yang hanya digunakan oleh satu orang saja di muka bumi ini. Panggilan sayang dari—
“Kim Nara! Apa yang kau lakukan?”
—cinta pertama sekaligus kekasihnya.
Yoonho menarik tubuh gadis bernama Kim Nara itu menjauh dari Sehan. Nara tampak merengut tak suka.
Karena masih terlalu syok, Sehan tampak terdiam. Ia tidak bereaksi sama sekali, hanya memperhatikan Yoonho dan Nara yang kini tampak bertatapan sengit.
“Kepsek Jung!” rengeknya. Caranya menekuk wajah mengingatkan Sehan pada seseorang.
“Apa maksudmu memeluk Guru Oh seperti itu, hm?” Yoonho memicing. “Kau bilang kau merindukannya? Memang kau kenal dengannya?”
“Aku kenal kok!”
Jawaban Nara membuat Yoonho dan Sehan menatapnya terkejut. Nara tampak begitu yakin pada awalnya, namun sedetik kemudian ia kelihatan sedikit panik dan berujar, “Tentu saja aku kenal, bukannya Beliau yang sering Anda ceritakan itu? Yang katanya sering mewakili sekolah kita dalam olimpiade matematika?”
“Ya, itu memang dia. Lalu dari mana kau tahu wajahnya? Dan kenapa kau memeluknya? Tindakanmu tadi sangat tidak sopan, tahu! Kau mau aku memanggil orang tuamu lagi, hm? Aku yakin Junhwan tidak akan senang jika mendengarmu membuat masalah lagi.”
Nara tampak tidak terima. “Kepsek Jung, Anda tidak boleh melakukan itu! Aku kan hanya menyapa Guru Oh saja, apa tidak boleh? Aku begitu mengaguminya, itu sebabnya saking gembiranya aku memeluk Beliau.”
“Tapi tetap saja kau tidak boleh memeluknya sembarangan seperti itu, Kim Nara.”
“Hm, Kepsek Jung, sudah tidak apa-apa,” Sehan berujar mencairkan suasana. Usahanya berhasil membuat kedua orang yang beradu mulut itu mengalihkan atensi padanya. “Bukankah ini sudah waktunya masuk kelas? Lebih baik kita lupakan saja masalah ini. Pelajaran harus segera dimulai.”
“Nah, lihat! Guru Oh saja tidak ingin mempermasalahkannya, tapi kenapa Kepsek Jung yang marah?” Nara tampak tersenyum lebar yang juga merupakan pertanda kalau ia sedang mengejek sang kepala sekolah.
Yoonho mendelik menatap Nara dan hendak melontarkan kata-kata untuk kembali memarahinya, namun urung. Ia memilih untuk mengikuti perkataan Sehan.
"Ya sudah, kalau begitu kalian cepat masuk kelas! Kasihan murid-murid lainnya." Yoonho memfokuskan atensi pada Sehan seraya mengulurkan tangan. "Guru Oh, selamat mengajar! Semoga kau betah."
Sehan membalasnya sambil tersenyum lebar. "Terima kasih, Kepsek Jung."
Lantas, Nara dan Sehan masuk kelas dengan Nara yang berada di depan. Sambil memperhatikan punggung gadis itu, benak Sehan tidak berhenti bertanya-tanya. Ia merasa kalau tingkah laku Nara memang mirip seseorang yang pernah ia kenal di masa lalunya. Pertanyaannya, bagaimana bisa dua orang yang berbeda sikapnya begitu mirip?
*****
Sudah waktunya jam makan siang. Alih-alih pergi ke kantin mengikuti ajakan Chaeyoung, Nara justru pergi ke atap sekolah seperti biasanya. Gerak-geriknya seperti sedang mencari seseorang. Ia berhenti mencari-cari ketika mendapati seorang berdiri di dekat spot favoritnya di atap. Tempat di mana ukiran ‘K love O’ berada.
Senyum manis Nara tersungging dengan begitu lebarnya. Tanpa basa-basi melangkahkan kakinya menuju pria berperawakan tinggi itu. Namun, baru setengah berjalan sang pria sudah berbalik, membuat Nara terpaku di tempat, enggan meneruskan langkah. Si pria ikut terkejut melihatnya berada di sana.
Keheningan dan suasana canggung tercipta untuk beberapa saat. Sampai pada akhirnya pria tersebut bertanya, “Sedang apa kau di sini? Bukannya sekarang jam makan siang? Kau tidak … makan?”
Nara berdeham sebelum tersenyum manis dan menjawab, “Aku belum lapar, itu sebabnya aku ke sini. Ini adalah tempat favoritku. Guru Oh sendiri sedang apa di sini?” Ya, rupanya pria itu adalah Oh Sehan, si guru baru. Sebenarnya Nara sudah tahu alasan Sehan berada di tempat itu dan ia bertanya hanya sebagai formalitas saja.
“Tempat favoritmu?” Sehan justru balik bertanya. Sejenak ia tampak … tidak menyangka? Anggukan yang Nara berikan pada detik selanjutnya membuatnya ikut mengangguk mengerti.
“Aku suka menikmati sepoi angin dan menatap langit dari atas sini.”
Perkataan Nara lagi-lagi membuat Sehan tertegun menatapnya. Nara memang sengaja bicara seperti itu untuk membuat Sehan penasaran terhadap dirinya, sebab ia tidak bisa mengatakan kebenarannya secara gamblang. Ia butuh waktu dan tidak mau membuat Sehan kebingungan jika langsung terus terang.
“Apa ini juga merupakan tempat favorit Guru?” Nara tersenyum miring sembari mendekati Sehan yang masih terlihat sedikit syok.
Sehan tidak menjawab bahkan sampai hitungan kelima. Nara mengambil inisiatif untuk menegurnya, “Guru!”
Sehan terkesiap. “Eh, ya? Tadi apa yang kau bicarakan? Maaf, aku ….”
Nara tersenyum maklum. “Tidak apa-apa, Guru. Lupakan saja pertanyaanku tadi. Aku mengerti. Pasti Guru bernostalgia, kan?”
Sehan tampak ikut tersenyum, walau sedikit canggung. Tidak lama kemudian, pria itu seolah tersadar akan sesuatu. “Oh ya, kalau begitu aku pergi dulu. Ada yang masih harus kuurus.”
Sebenarnya Nara merasa kecewa karena Sehan harus pergi secepat ini, tapi alih-alih menunjukkan kekecewaan yang dirasa, ia justru tersenyum mempersilakan. “Baik, Guru. Oh ya, Guru jangan lupa makan ya sesibuk apa pun itu.”
Raut Sehan berubah aneh dalam sepersekian detik. Secepat kilat pria itu mengubah ekspresi wajahnya dan tersenyum. “Kau juga harus makan setelah ini.”
Nara mengangguk dan mengangkat tangannya, berpose hormat yang sekali lagi membuat ekspresi Sehan langsung berubah. “Siap, Bos!”
Oh Sehan tidak mengatakan apa-apa lagi dan langsung pergi dari atap sekolah. Nara memperhatikan punggung lebar pria itu sampai menghilang di balik pintu. Lantas, senyum lebar kembali menghiasi wajah cantiknya. Ia kelihatan sangat bahagia, bahkan saking bahagianya sampai memegang dadanya sendiri. Rupanya Nara berdebar-debar sejak tadi.
“Aku sangat bahagia bisa bertemu lagi denganmu, Oh. Sayangnya, aku harus menahan diri untuk tidak memelukmu,” ujarnya dengan nada sedih. Namun, tiba-tiba saja ia kembali memasang raut ceria. “Tidak apa-apa. Untuk saat ini aku memang harus menahan diri, tapi suatu saat nanti aku tidak akan tinggal diam lagi.”
Nara melekatkan pandangannya ke arah perginya Sehan. “Suatu saat nanti kau akan tahu siapa aku yang sebenarnya, Oh.”