Ada kalanya kita seolah merasa familiar dengan sesuatu, baik orang maupun tempat. Perasaan itu disebut déjà vu.
*****
Sehan tidak pernah menyangka kalau hari pertamanya mengajar akan dipenuhi hal-hal aneh seperti tadi. Pikirannya terus saja tertuju kepada Kim Nara, si murid 11-1 yang bersikap seperti orang dari masa lalunya yang cukup kelam. Seorang gadis yang merupakan penyebab dari rasa traumanya terhadap Seoul.
Rupanya, kejadian aneh yang ia alami berlanjut hingga tepat satu minggu ia mengajar. Tiada hari tanpa rasa aneh sekaligus takjub dengan tingkah laku Kim Nara yang semakin mengingatkannya kepada seseorang. Sosok yang pernah membuat hari-harinya terasa menyenangkan, lalu meninggalkannya begitu saja bersama luka batin yang bahkan belum sembuh hingga detik ini.
Sehan menceritakan perihal Nara kepada Baekwon saat diajak pria berwajah imut itu makan malam bersama di apartemennya. Omong-omong, Baekwon itu tinggal di sebelah apartemen Sehan. Dulu mereka satu kampus di Columbia University dan menjadi sahabat sejak itu. Berbeda dengan Sehan yang menetap di New York, Baekwon kembali ke Seoul dan membangun keluarga kecilnya di sini. Istri Baekwon bernama Nana, sedangkan putrinya yang baru berusia lima tahun bernama Luna.
“Kau ini ada-ada saja, Han!” Begitulah respons Baekwon begitu Sehan selesai bercerita. Makan malam telah usai dan saat ini keduanya sedang berada di balkon, berbincang. Nana dan Luna sedang menonton televisi di ruang santai.
Sehan menghela napas lesu dan memperhatikan Baekwon yang saat ini sedang menyeruput kopinya. “Aku serius, Byun Baekwon. Tingkah laku mereka persis sekali, hanya wajahnya saja yang berbeda.“
Baekwon tidak lagi merespon. Pria yang berprofesi sebagai seorang dosen di Seoul National University itu tampak berpikir. “Tapi aneh juga sih. Setiap manusia itu diciptakan dengan unik. Kepribadian dan sikap mereka berbeda, jarang sekali bisa sama persis seperti itu.”
Sehan mengangkat bahunya. Sungguh, ia pun bingung kenapa Nara semirip itu dengan gadis dari masa lalunya. Caranya berjalan, berbicara, dan menatap seseorang sama persis. Selama seminggu ini diam-diam Sehan mengamati gadis itu.
“Mereka tidak mungkin bersaudara, kan?”
Celetukan Baekwon membuat Sehan tergelak. “Kau bercanda? Aku tahu persis bagaimana keluarga Kim-ku dan dia hanya memiliki satu saudara laki-laki.”
“Lho, bukannya muridmu itu marganya Kim juga? Bisa saja mereka memang ada hubungan keluarga, kan?”
Sehan menggeleng. “Tapi itu tetap tidak masuk akal, Baek. Kau sendiri kan yang bilang kalau setiap manusia berbeda? Kakak beradik saja bisa berbeda sifat dan tingkah lakunya seratus delapan puluh derajat, jadi mana mungkin kalau mereka bersaudara?”
“Kalau begitu apa kau punya teori lain tentang hal ini?”
“Ada, tapi aku tahu kalau itu semakin tidak masuk akal lagi.”
Baekwon memicing. “Jangan bilang kalau kau berpikir mereka orang yang sama?”
Sehan tidak mengiyakan atau menyangkal dugaan Baekwon terhadap dirinya. Membuat kedua pria itu bertatapan dalam diam sampai pada akhirnya Sehan memutus kontak lebih dulu.
“Aku tahu ini gila, tapi hanya itu yang terlintas di pikiranku,” gumam Sehan sebelum menghembuskan napas berat.
Kim Nara, sebenarnya siapa kau sebenarnya? Kenapa kau membuatku begitu penasaran?
*****
Seorang pria bertubuh tinggi tampak sedang sibuk memeriksa ponsel. Ia baru saja mendapat pesan dari sang adik tercinta yang menyuruhnya segera pulang karena rindu. Well, si tampan ini baru saja tiba dari Tokyo. Ia sudah lama tinggal di sana, terhitung sejak lulus kuliah sampai mengurus hotel keluarganya selama lebih dari sepuluh tahun. Ya, pria itu memang kaya raya. Keluarganya memiliki jaringan hotel di seluruh Asia.
Pria itu adalah Park Chanyoung.
“Dasar!” gumam Chanyoung setelah membalas pesan dari adik perempuannya. Ia memasukkan kembali ponselnya ke saku mantel kemudian melanjutkan kegiatan berbelanjanya. Sejatinya Chanyoung sudah sampai di Seoul sejak satu jam yang lalu, tapi ia tidak langsung pulang ke rumah dan memilih untuk mampir ke suatu tempat. Lebih tepatnya di lingkungan sekitar sekolah lamanya. Itu sebabnya sang adik mencari-cari dirinya.
Sekarang Chanyoung sedang berada di sebuah minimarket untuk membeli beberapa barang. Sebenarnya dia bisa saja menyuruh Paman Shin untuk melakukan semua itu, tapi dia tidak mau. Walaupun kaya, rupanya Chanyoung hidup dengan sederhana. Jika bisa dilakukan sendiri, kenapa harus menyuruh orang lain? Itulah prinsipnya. Lagi pula, saat ini Chanyoung memang jalan-jalan seorang diri. Ia meminta sang sopir untuk menunggu saja di mobil.
Chanyoung baru saja akan keluar dari minimarket saat bulir-bulir hujan turun dengan derasnya. Pria itu berdecak dan berbalik guna membeli payung. Beruntung, payung yang tersisa tinggal satu buah saja. Chanyoung segera membawanya ke kasir.
Baru saja mengeluarkan dompet untuk membayar sesuai dengan harga yang tertera di layar mesin kasir, Chanyoung justru dikejutkan oleh ulah bar-bar seorang gadis yang langsung membayar payung itu kemudian membawanya pergi.
“Tuan, aku ambil ya! Terima kasih!”
“Hei, tunggu!” Tanpa disangka, Chanyoung langsung pulih dari keterkejutannya dan mengejar gadis itu. Dengan sigap menarik tangannya agar berhenti berjalan. Tentu saja sang gadis mengelak, tapi cekalan Chanyoung yang cukup kuat membuatnya mau tak mau harus tetap tinggal.
“Ck! Tuan, tolong biarkan aku pergi! Aku buru-buru.”
Chanyoung tergelak sinis. “Pergi katamu? Tidak semudah itu! Kembalikan dulu payungku!”
“Enak saja payungmu! Aku sudah membayarnya, jadi payung ini milikku.”
Chanyoung mengeluarkan kembali uang yang sejatinya akan ia gunakan untuk membayar ke kasir tadi dan memberikannya ke gadis itu. Menaruhnya di telapak tangan sang gadis yang ada dalam cekalannya. “Ambil ini dan kembalikan payungnya padaku sekarang juga!”
Gadis itu masih tidak mau mengalah dan menyerahkannya kembali kepada Chanyoung. “Tidak mau! Aku butuh sekali payung ini. Kalau saja payungnya tidak tinggal satu, aku juga tidak akan mengambilnya darimu kok.”
“Terserah apa alasanmu yang penting aku duluan yang mengambilnya, jadi kau harus mengembalikannya padaku!”
“Aku tidak mau!”
Adegan tarik-menarik payung pun terjadi untuk beberapa waktu. Namun rupanya kemenangan berada di tangan sang gadis yang tanpa basa-basi menendang tulang kering Chanyoung dengan begitu kuat.
“Argh!”
“Rasakan itu!” Gadis itu menjulurkan lidahnya sebelum keluar dari minimarket. Meninggalkan Chanyoung yang merasa kesakitan sambil memegang kakinya.
Sambil menahan rasa sakitnya, Chanyoung pun buru-buru keluar minimarket. Ia ingin melihat ke mana perginya gadis tengik itu. Akan tetapi, ia dibuat tercenung saat melihat pemandangan unik di seberang jalan. Rupanya gadis itu memperjuangkan payung yang hendak ia beli tadi untuk seorang nenek yang tidak membawa payung. Sang nenek terjebak di emperan toko seberang jalan.
Hati Chanyoung menghangat. Ia masih tidak menyangka kalau gadis yang dianggapnya bar-bar itu justru melakukan hal yang begitu mulia. Bahkan, gadis itu rela menerobos hujan dan basah kuyup demi sang nenek. Tanpa sadar Chanyoung tersenyum melihatnya.
Drrt! Drrt!
Chanyoung terkesiap pelan saat merasakan ponselnya bergetar pelan. Rupanya itu Paman Shin, sopirnya.
“Ya, Paman?” jawab Chanyoung. Ia diam dan menyimak perkataan Paman Shin di ujung sambungan. “Oh, aku berada di minimarket dekat sebuah restoran kecil yang jaraknya kira-kira satu kilometer dari sekolah lamaku, Paman … Oke, aku akan menunggumu di sini. Terima kasih, Paman.”
Chanyoung mengakhiri panggilan dan kembali melihat ke arah perginya gadis tadi. Lagi-lagi, ia tersenyum tanpa sadar.
Siapa ya gadis itu? Kenapa aku jadi penasaran?
Dan tanpa sadar dia pun teringat akan masa lalu. Kenangan dengan seorang gadis cilik yang masih dia ingat walau puluhan tahun telah berlalu. Kenangan pahit sekaligus manis yang tidak akan pernah Chanyoung lupakan seumur hidupnya.