Sabine Mahfouz

978 Kata
Café seberang kampus Niko ramai di pagi menjelang siang. Niko dan dua temannya, Bira dan Roy, asyik bercakap-cakap sambil merokok. “Jadi kerjaan lu sedetail itu, bro?” tanya Bira akhirnya. Niko mengangguk sambil menjentik-jentikkan rokoknya, lalu menghisapnya dalam-dalam. Sepertinya dia sedang menceritakan pekerjaannya ke dua temannya. “Iya, ck,” decak Niko. Ternyata menjadi pengasuh anak perempuan tidak semudah yang dia kira. “Haha,” tawa Roy, diikuti tawa Bira. Tak menyangka Niko, sahabat mereka bekerja menjadi pengasuh anak perempuan, yang tentunya sangat jarang dilakukan seorang laki-laki seumuran Niko. Sementara Niko hanya bisa mencibir, sedikit mengutuk nasibnya. “Gile. Cantik amat anaknya. Blasteran ya?” Bira dan Roy melihat foto Sabine yang ada di layar ponsel Niko yang tergeletak di atas meja. “Iya. Jawa Perancis,” “Makanya, lu cepet selesain kuliah. Cari kerja yang lebih baik. Kayak kita-kita, meski gaji nggak segede lu, tapi kerjaan bikin tenang dengan berbagai jaminan. Nggak mungkin lama-lama lu kerja beginian. Tuh anak ntar dah gede, lain cerita … lu bisa naik peringkat jadi gigolo.” Kepala Bira ditoyor Roy. Bira dan Roy sudah bekerja. Bira bekerja di sebuah perusahaan keuangan di Bintaro, dan Roy bekerja sebagai manajer hotel di daerah Kuningan. Wajar mereka mendapatkan pekerjaan, karena kuliah mereka sudah selesai dua tahun lalu. Sementara Niko masih bersusah payah menyelesaikan kuliahnya yang terhambat oleh masalah keuangan. “Ya, makin gede anaknya, job description diubah kali, Birrr,” timpal Roy membela Niko. “Gaji gede lagi, Birrr … tujuh belassss,” lanjutnya. “Ahh, ogah, tiap malam nahan muncrat. Bisa pusing gua, muntah-muntah atas bawah.” Niko senyum-senyum saja melihat tingkah dua sahabatnya. Untung saja dia mengambil keputusan untuk meneruskan pekerjaan menjaga Sabine. Terbayang di benaknya, Sabine diurus pemuda lain yang belum tentu bisa menahan diri seperti dirinya. Sabine memang gadis kecil yang cantik luar biasa. “Menurut gue lu atur waktu berapa lama lu bakal kerja begituan,” usul Roy. “Iya sih,” “Evi tau?” “Ya nggaklah, bisa-bisa nggak jadi kawin gue tahun depan. Yah, lumayan buat bayar SPP sama modal kawin, ya nggak?” “Ya iyalah, setahun aja kalo lu hemat, ratusan juta di tangan. Cukuplah, udah waktunya nikah, Bro. dah lama juga kalian pacaran,” “Lu lu kapan? Jomblo melulu,” “Ya, gimana ya. Niat pacaran aja nggak. Apalagi niat kawin. Haha,” “Bira nih, niatan mau jadi sugar daddy katanya,” “Bacot lu, Roy,” “La lu bilang ke gue saban hari, lu mau nyontoh Akhyar, bos lu. Gonta ganti sugar baby. Hahahha.” Niko geleng-geleng melihat tingkah dua sahabatnya. *** Hari-hari Niko kini berubah seiring waktu. Dia sudah terbiasa dengan pekerjaannya. Tidak terasa sudah dua kali gaji dia terima. Niko bertambah semangat bekerja. Apalagi mengingat sang kekasih yang kian hari selalu mengingatkannya tentang impian hidup bersama selama-lamanya. Mereka memang berencana mengakhiri hubungan mereka dengan pernikahan tahun depan. “Om, kapan mau jalan-jalan sama Tante Evi?” tanya Sabine yang saat itu sedang belajar di kamar Niko. “Ntar. Kita atur waktu. Kan Tante Evi sibuk kerja,” jawab Niko. Malam itu Niko merasa lebih lelah dari biasanya. “Om kayaknya capek banget,” “Iya, Sabine. Ntar nggak usah baca buku sebelum tidur bisa ya?” Sabine cemberut. Dia memang sangat manja. Sejak Tia berhenti, Erni yang menggantikan kerjaan Tia menjelang Niko datang. Erni yang pendidikannya hanya sebatas SD hanya bisa memandikan dan mempersiapkan baju, juga menemani Sabine makan. Tentu berbeda ketika Niko hadir, Sabine merasa Niko paket lengkap. Bisa memenuhi semua kebutuhan sehari-harinya. Apalagi, sikap Niko yang sangat jauh berbeda dibanding Tia. Sangat hangat dan tidak pernah membantah, membuat Sabine sangat merasa nyaman di sisi Niko. Niko melihat wajah Sabine yang berubah murung. “Oke deh. Om baca buku. Tapi jangan bedtime stories yang panjang ya, Sabine?” Sabine mengangguk tersenyum. *** Evi takjub melihat penampakan asli Sabine. Sangat cantik. Dipeluknya Sabine erat. “Akhirnya kita ketemu juga ya, Sabine,” pekiknya sambil mencium-cium pipi Sabine. Sabine senang hari itu dipertemukan Niko dengan Evi. Selama ini dirinya dan Evi hanya berhubungan lewat videocall. Minggu itu mereka bertiga bersenang-senang menyusuri sebuah mall mewah. Niko senang melihat Evi yang selalu memegang tangan Sabine ke mana-mana. Apalagi saat dilihatnya wajah Sabine yang tidak henti-henti menunjukkan kebahagiaan. Sabine memang jarang sekali bersenang-senang ke luar rumah. Karena dia hanya sendiri di rumah. Meski Mama Carmen baik, tapi tetap saja jarang sekali tampak bersenang-senang bersama. Semua di rumah itu sibuk masing-masing. *** “Kasihan ya, Niko. Dia senang banget kita ajak jalan tadi. Apalagi pas antri di bioskop. Senyumnya itu loh, bikin aku terenyuh. Kayak nggak pernah diajak ke luar,” ujar Evi ke Niko yang sedang menyetir menuju rumahnya. Tampak Sabine terbaring lelah di kursi bagian belakang mobil. Dia tidur nyenyak sekali. “Iya, kamu bayangin aja. Mama kandungnya aja kayak nggak acuh gitu. Nggak pernah hubungi dia sejak tinggal bareng sama Bu Carmen. Mana Bu Carmen juga sibuk sekali. Jarang-jarang ketemuan. Dia taunya kebutuhan Sabine cukup secara materi. Nggak begitu peduli apa Sabine hepi atau nggak, apalagi papanya … ah aneh-aneh hidup ini,” “Padahal anaknya cantik banget ya, Niko. Duh. Kalo disia-siain gitu, biar dia ikut kita aja kalo kita menikah nanti,” “Nggak segampang itu, Sayang. Kamu ada-ada aja.” Selama di mall, Evi memanjakan Sabine. Apa yang diinginkan Sabine, Evi belikan. Cerita-cerita Niko tentang anak itu membuat Evi simpati. Meskipun Sabine dari keluarga berkecukupan, tapi sisi sedih dari hidupnya sungguh menyentuh. Wajar saja, Sabine membutuhkan pendamping di rumah, karena dia memang butuh perhatian khusus. Mobil yang dikendarai Niko kini sudah berhenti tepat di depan pagar rumah Evi. “Hm, dia masih nyenyak banget. Pengen nyium,” ujar Evi saat melihat Sabine yang masih tidur. “Cium aku aja,” sela Niko. Evi tertawa manja, lalu dibiarkannya Niko mencium keningnya. “Sampai nanti, Niko. Ntar kalo dah nyampe, telpon aku.” Niko mengangguk. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN