Hari pertama mengantar Sabine ke sekolah berjalan lancar. Tidak ada kendala yang berarti. Sabine pagi-pagi sudah siap diantar. Dia anak yang cukup disiplin. Hal ini tentu membuat pekerjaan Niko jadi lancar. Dan pagi itu mobil mewah yang dikendarai Niko pun tidak terkena macet parah.
Nikolaus Loudin adalah anak laki-laki kedua dari empat bersaudara. Keluarganya tinggal di Bantul, Yogyakarta. Sedari SMP sudah merantau ke Jakarta, ikut pamannya. Setamat SMA, dia tidak lanjut kuliah. Niko memutuskan mengumpulkan uang untuk biaya kuliah, yaitu menjadi supir taksi biru. Hanya setahun. Begitu uang terkumpul, Niko langsung mendaftarkan diri di sebuah perguruan swasta di Jakarta Selatan. Saat kuliah, Niko juga terbiasa menjadi tenaga pengajar di berbagai bimbel di Jakarta. Jadi, pekerjaan barunya ini sangat sesuai dengan pengalamannya sebelumnya.
Sekolah Sabine ternyata tidak begitu jauh dari rumah. Sekitar lima belas menit dari rumah ditempuh dengan mobil. Setelah mengantar Sabine ke sekolah, Niko kembali ke rumah. Sebenarnya dia diperbolehkan ke mana saja oleh Bu Carmen, asal kebutuhan dan kegiatan Sabine dipastikan terlaksana di tiap-tiap harinya.
“Gimana sih ceritanya, Erni. Bu Carmen itu dulu istri pertama Pak Baskoro Mahfouz. Trus sekarang jadi istri kedua? Membingungkan.”
Sepertinya Niko masih penasaran dengan keluarga Sabine yang baginya punya cerita unik. Dia duduk-duduk di teras depan sambil mengamati Erni yang sedang membersihkan lantai teras depan rumah.
“Sik sik. Gini to, Mas Niko. Dulu Pak Baskoro itu menikah dengan Bu Carmen. Ceritanya Bu Carmen ini anak wong sugih. Jadi Pak Baskoro iki hidupnya yang tergantung dengan Bu Carmen. Tapi bertahun-tahun kawin, nggak punya anak.”
Erni menghentikan pekerjaannya dan duduk di atas lantai sambil memeras pel lantai.
“Trus ya ... Pak Baskoro selingkuh sama teman kantornya yang janda dua anak. Namanya Bu Lita. Bu Carmen yo nggak nerimo to … akhirnya yo cerai. Nah, Pak Baskoro yo kawin sama Bu Lita. Nggak sampe setahun perkawinan, Sabine lahir. Lima tahun umur Sabine, Pak Baskoro minta rujuk sama Bu Carmen.”
Niko menggelengkan kepalanya.
“Kayaknya ya CLBK gitu, Mas. Nggak ngerti juga, hehe … nah Bu Carmen yang masih sayang ini ya mau balikan lagi. Mereka menikah lagi. Jadi posisinya Bu Carmen ini jadi istri kedua to.”
Niko terkekeh. Ada-ada saja.
“Pernikahan ini, Mas Niko, tentu saja nggak disukai sama keluarga Bu Lita. Terutama anak-anaknya yang sudah remaja itu. Yah…, malu kali ya? Mungkin Bu Lita ini kesal atau gimana, trus ditambah anak-anaknya yang nggak suka sama Sabine, akhirnya Sabine ya tinggal di sini. Untungnya Bu Carmen baik, mau merawat Sabine. Lagipula dia juga nggak punya anak.”
Napas Niko tertahan. Kasihan juga Sabine, batinnya. Kok tega ibu kandungnya menyerahkan dirinya ke keluarga lain.
“Tunggu tunggu, Erni. Mama Carmen baik sama Sabine?”
“Iya, Mas. Sayang banget dia. Meski ya, jarang sama-sama karena Bu Carmen memiliki banyak kegiatan sana sini.”
Niko semalam mengingat kata-kata Sabine yang terlihat kecewa dengan sikap mamanya.
“Semalam Sabine cerita ke aku, Mbak. Dia nggak suka mamanya yang suka berkhianat.”
Erni mencibir.
“Pastiin mama yang mana? Wong Bu Carmen nggak pernah nyakitin Sabine. Malah dia sebel sama yang namanya Ika itu yang sering nyakitin hati Sabine, dibilang Sabine itu anak yang dibuang,”
“Ooh, trus Pak Baskoro sekarang di Melbourne sama Bu Lita?”
Erni mengangguk.
“Iyalah sama istri pertama. Sama anak-anaknya Bu Lita dari mantan suaminya terdahulu juga.”
Ooo… pantes Bu Carmen bilang Australia itu Asutralia, mungkin bentuk kekesalannya saja, ah ada-ada saja, batin Niko.
Niko akhirnya mengerti. Ternyata kisah hidup Sabine cukup sedih. Tapi sepertinya anak itu sabar dan tenang.
***
Malam pukul tujuh, Niko kembali membantu Sabine mengerjakan PR dari sekolah.
“Jadi, kamu kursus Balet itu sore Selasa dan Kamis, les Biola Senin ama Rabu, les piano Jumat. Hm, oke,” ujar Niko.
Sabine yang sedang mengerjakan PR di kamar Niko mengiyakan.
Niko kembali membolak-balik lembaran-lembaran job description dan perjanjian yang baru dia terima dari Bu Carmen sore tadi.
Niko menelan air ludahnya saat membaca pekerjaan-pekerjaan yang harus dia lakukan di rumah itu. Dia melirik Sabine yang masih mengerjakan PRnya. Niko sedikit bergidik. Dia tidak pernah mengurus anak perempuan sedetail yang dia baca di lembaran yang diberikan Carmen kepadanya. Kakak dan dua adiknya laki-laki semua. Kalau mengurus adiknya sih, dia pernah, tapi tidak memandikan. Selalu ibunya yang memandikan adiknya.
Niko menggeleng.
“Napa, Om?” tanya Sabine pelan.
“Nggak papa.” Niko tersenyum kecut.
***
Selesai belajar, Niko lalu ikut ke kamar Sabine.
“Baju yang mana?” tanya Niko sambil membuka lemari baju Sabine.
“Cari aja baju tidur di situ. Kan bisa bedain,” ujar Sabine.
“Pakein, Om,” pinta Sabine manja. Dia sudah berdiri di hadapan Niko.
Niko lega setelah melihat Sabine sudah berpakaian lengkap. Dia senang karena Sabine anak yang penurut, meski manja.
“Buku apa yang mau Om bacain malam ini?” tanya Niko sambil memilah-milah buku-buku cerita yang ada di atas meja belajar Sabine.
“Hm, three little pigs aja, Om. Lucu,” tanggap Sabine yang sudah duduk selonjoran di atas tempat tidurnya. Sepertinya dia tidak sabar lagi ingin mendengarkan suara Niko membacakan buku cerita malam itu. Tampak dua kaki Sabine bergerak-gerak senang.
Niko lalu ikutan selonjoran di samping Sabine.
Sekarang perasaan Niko berubah saat berada di samping Sabine yang melihat wajahnya dengan manja. Sambil mengusap-ngusap kepala Sabine, Niko pun memulai ‘pekerjaan’nya.
“Once upon a time, there was an old Sow with three little pigs….”
Sabine pun tertidur saat Niko masih membacakannya dongeng menjelang tidurnya. Kali ini hati Niko benar-benar terenyuh ketika melihat wajah Sabine yang tertidur di sampingnya. Sungguh sedih hidup seorang Sabine. Mama kandung yang sepertinya tidak peduli dengannya, ‘Mama’ yang sibuk, Papa yang sekarang berada di luar negeri. Sabine memang benar-benar sendiri.
Perlahan dia benarkan posisi tidur gadis kecil itu.
Dengan perasaan gamang, Niko kembali ke kamarnya.
Dan Malam itu Niko tidak tidur nyenyak. Sebentar-sebentar terbangun. Pikirannya kacau karena dia mengira pekerjaannya hanya mengajar dan menemani Sabine bermain. Tapi ternyata dia ditugaskan untuk benar-benar mengurus Sabine. Ini sama sekali bukan yang dia maui.
“Shouldn’t tell Evi,” gumamnya di tengah gundahnya.
***
“Kalo kamu keberatan dengan deskripsi pekerjaan yang saya tawarkan untuk mengurus Sabine, kamu boleh mundur hari ini juga. Saya bisa cari pengganti kamu,” ujar Bu Carmen lugas.
Pagi itu, setelah mengantar Sabine ke sekolah, Niko menemui Bu Carmen. Dia mempertanyakan perihal deskripsi pekerjaan yang menurutnya sedikit berlebihan. Tapi jawaban Bu Carmen di luar dugaannya.
Niko terdiam. Dia sudah terlanjur ‘sayang’ ke diri Sabine. Apalagi sejak mendengar kisah hidup Sabine yang sebenarnya dari Erni. Terbayang lelaki asing lain yang akan mengambil alih kerjanya, mengurus Sabine, ‘menyentuh’ Sabine. Apa mungkin lelaki lain itu akan lebih baik dari dia, akan lebih siap dari dirinya. Atau mungkin malah lebih parah dan Sabine akan mengalami nasib bur….
“Ok. Saya terima pekerjaaan ini, Bu. Saya jaga Sabine,” ujar Niko akhirnya. Dia juga tidak ingin kehilangan pekerjaan yang baru saja dia jalani beberapa hari ini. Lagipula gajinya sangat besar baginya.
Bersambung