Kecewa

1077 Kata
Selesai kegiatan barbeque malam ini, mereka saling membantu membereskan semuanya. Setelah selesai, satu persatu masuk ke dalam rumah. Halaman belakang rumah sudah rapih seperti semula. "Kamu masih mau di sini Ra?" tanya Mahes sebelum melangkah masuk ke dalam, matanya masih menatap Clara. Clara menoleh sejenak menatap masnya, "Iya, aku mau di sini dulu Mas." Berhubung dirinya tidak tahan mau membuang hajat, tega tak tega Mahes meninggalkan adiknya di halaman belakang. Semua sepupunya sudah masuk lebih dulu. Abangnya Yoovan sudah kembali ke studio untuk melanjutkan pekerjaannya. Clara menatap langit yang tengah bersinar terang malam ini. Rasanya sejuk sekali memandangi langit, hati Clara menjadi ikut tenang dan damai. Dirinya tengah duduk telanjang di atas rumput tanpa beralaskan apapun. Dengan kaki yang dia tekuk dan pandangannya yang menuju ke langit. Tanpa sadar, seseorang tengah memperhatikannya di pintu pembatas antara dapur dan halaman belakang rumah yang menjadi penghalangnya adalah kaca yang mana bisa menatap ke arah halaman belakang. "Kenapa ngga samperin Vin?" tanya Jiyad yang entah sejak kapan sudah berdiri disampingnya. Kevin berjengit sesaat, "Bikin kaget aja lo Jiy." Jiyad terkekeh, "Kenapa adeknya ngga disamperin? Nanti kesambet aja." "Lah, lo sendiri kenapa ngga nyamperin dia? Kan dia adek lo juga." Kevin tetaplah Kevin yang tidak mau kalah berargumen, "Gue sama kayak lo Vin. Adek kayaknya lagi butuh waktu sendiri, biarin dia nenangin diri." Kevin yang tadinya fokus menatap ke tempat di mana Clara berada, sontak menatap Rafa penuh, "Lo tau sesuatu ya Jiy?" tanyanya penuh selidik. Rafa ikut menatap Kevin balik, "Tau apaan?" "Firasat gue kayaknya ada sesuatu yang terjadi." Jiyad berdecak sesaat, "Firasat lo aja kali ah. Adek emang lagi mau sendiri Vin, sedeket apapun kita sama dia, pastinya ada waktu di mana dia mau menyendiri." "Menyendiri menyendiri tai kucing. Di luar dingin, adek ngga pake jaket atau selimut." Mereka berdua melongo ditempat masing-masing. Jeo datang-datang langsung mengomel dan berjalan keluar melewati keduanya ke halamam belakang, lebih tepatnya berjalan menghampiri Clara dengan selimut atau bisa dikatakan bantal selimut yang sangat tebal. Clara yang memang tidak menyadari sekitarnya, terperanjat kaget begitu merasakan ada yang menyelimutinya dari belakang. "Kalo mau galau, jangan sendirian. Ajak-ajak aku," Jeo ikut bergabung duduk disebelah Clara. Clara diam-diam mengulum senyumnya. Jeo memang sangat manis, perempuan manapun akan terpincut dengan kemanisannya. Tapi tidak dengan Clara, karena banyaknya kejahilan yang Jeo berikan dari pada kelembutan seperti sekarang ini. Dua orang yang tadi berdiri di balik pintu seakan tersadar dari rasa takjubnya, "Ara udah amankan? Cabutlah, udah ada Jeo ini," Kevin berlalu lebih dulu meninggalkan dapur menuju kamar tamu yang biasa dia gunakan dan disusul oleh Jiyad ke kamarnya sendiri. Jika tidak ada Jeo tadi, Kevin akan terus berdiri di tempatnya. Menunggu Clara dari jarak jauh. Balik lagi ke Clara. Anak itu masih menatap langit, bedanya tangannya kini merengkuh selimut yang menyelimuti dirinya. "Ada yang kamu fikirin Ra?" tanya Jeo penuh kelembutan. Clara menoleh sejenak kesebelahnya, lalu kembali menatap langit, "Je, boleh ngga sih ngeluh kalo Allah itu ngga adil?" Masih dengan menatap adiknya dari samping, tangannya terangkat mengelus puncak kepala Clara, "Kalo aku boleh tau, kenapa kamu ngomomg gitu? Kenapa kamu bisa menyimpulkan kalau Allah ngga adil?" Sebelum memulai mengucapkan sesuatu, Clara menarik nafasnya dalam lalu menghembuskannya perlahan. Mata Clara kini tidak lagi menatap langit malam, kepalanya sudah menunduk. Air matanya yang tadi dia bendung tidak tahan untuk tidak keluar. Dan dia tidak mau Jeo tahu kalau dirinya tengah menahan air mata sejak tadi. "A-aku ca-pek Je," jatuh sudah air mata Clara. Rasanya sesak menahan apa yang seharusnya dia luapkan. Tanpa meminta penjelasan lebih dalam, Jeo langsung menarik Clara ke dalam pelukannya. Dia tahu, yang adiknya ini butuhkan adalah pelukan bukan menuntut penjelasan. "Adek aku kuat, Adek aku ngga lemah," beberapa kali Jeo mengeluarkan kata-kata penyemangat untuk adiknya seraya tangannya tak lepas mengelus punggung Clara. "Hiks... A-aku ca-capek Je." Jeo ikut menahan air matanya, dia tidak boleh menangis. Untuk saat ini, dirinya dibutuhkan sebagai abang. Tapi namanya juga Jeo, tidak akan tahan jika mendengar Clara menangis, dirinya pasti ikut menangis. Bedanya Jeo hanya mengeluarkan air mata tanpa bersuara. Dengan cepat tangannya menyeka air matanya yang jatuh tanpa dia minta. Jeo menghembuskan nafasnya sejenak, "Udah tenang?" tanyanya dengan suara yang juga sudah tenang. Clara mengangguk, badannya dia mundurkan dari pelukan Jeo, "Mau cerita?" tanya Jeo tanpa ada nada tuntutan. Clara menggeleng, "Nanti aja ya." Jeo menunjukkan senyumannya lagi yang menenangkan, "Kapanpun kamu butuh temen cerita, aku selalu siap Dek." Clara memang dekat dengan para sepupunya yang lain. Mereka sudah mempunyai tempat masing-masing di hati Clara. Jika dirinya tengah rapuh seperti ini, Jeo memang yang dia butuhkan. Jeo dan dirinya memang sangat dekat. Ya mungkin karena umur mereka yang hanya berjarak satu tahun, jadi jalan fikiran mereka tidak jauh berbeda. "Makasih ya Je," ketika tangannya mau menghapus air matanya, Jeo lebih dulu mengambil alih. Kedua jempol Jeo mengelap sisa air mata di pelupuk mata Clara. "Mau s**u hangat ngga?" tawar Jeo, biasanya jika mereka habis menggalau, Jeo akan menawarkan sesuatu. Clara mengangguk, "Ada milo ngga?" "Ada dong. Kamu tunggu sini ya, aku bikinin dulu." "Dingin jangan anget ya Je punya aku," pesan Clara sebelum Jeo menghilang. Jeo mengangguk dan memberikan acungan ibu jarinya yang dia angkat. **** Sesampainya di studio, Yoovan tidaklah kembali menggarap projeknya melainkan dia mau menenangkan dirinya dan dirinya juga tengah memikirkan jalan keluar. Ditengah fikiran kalutnya, ponselnya bergetar tanda panggilan masuk. Ternyata adik keduanya yang menelfon. "Halo, kenapa Hes?" "Di studio Bang?" "Iya." "Gue ke sana ya sama Rafa." "Ngapain? Tidur gih mending, gue masih banyak kerjaan di sini." "Yakin ngga ada yang mau lo omongin?" Helaan nafas berat keluar dari mulut Yoovan, "Yaudah ke sini aja." "Oke, udah deket sama studio lo ini." "Udah jalan dari tadi ternyata?" "Udah." "Terus kenapa minta izin lagi?" "Bukan izin sih, ngecek aja lo masih idup atau udah nyilet. Lagian masalah bukannya dibicarain malah disembunyiin. Lo fikir gue banci? Bagi lah masalah yang ada ke gue bang jangan disimpen sendiri." Yoovan yakin, Mahes pasti sudah tahu tentang ini. Tandanya Yoovan harus segera memikirkan bagaimana caranya dia memberi tahu ini ke Clara. "Titip sesuatu gak?" "Gak usah, gue masih kenyang." "Oke." Panggilan terputus begitu saja. Yoovan kembali meletakkan ponselnya diatas meja. Setelahnya dia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi kerjanya, matanya menerawang ke langit-langit. Fikirannya benar-benar kalut, hal-hal yang belum pasti terjadi sudah banyak melintas dibenaknya. Kemungkinan jelek ketika Clara mengetahui perihal keluarganya. Mengingat adik bungsunya, Yoovan langsung mengambil ponselnya kembali dan mengirim pesan ke seseorang yang dia yakin saat ini tengah bersama dengan adiknya. Me Adek sama kamu Je? Amankan adek?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN