Setelah mendapatkan balasan dari Jeo, barulah Yoovan merasa tenang. Ponselnya dia letakkan kembali ke meja. Dia memilih untuk bangkit dan berjalan ke balkon.
Malam yang dingin dam sunyi, sama seperti apa yang Yoovan rasakan saat ini. Untungnya dia bukanlah sebatang kara, ada Mahes dan Clara dihidupnya sebagai penguat. Jangan tanyakan peran orangtua di hidup Yoovan.
Sejak beberapa tahun yang lalu, tepatnya ketika dirinya masih duduk dibangku kuliah semester pertama, peran orangtua dihidupnya sudahlah mati.
Bahkan ketika ada peran orangtua yang dibutuhkan untuk datang ke kampus, Yoovan tidak segan-segan membayar orang lain untuk datang ke acara yang bisa dibilang tidaklah penting.
Dan selama itu, dia menyimpan luka ini seorang diri. Baginya Mahes dan Clara tidak perlu tahu. Dirinya harus melindungi dua adiknya. Tapi ternyata Yoovan salah, dia hanyalah manusia biasa yang bisa lelah kapan saja. Mungkin bisa dibilang sekarang titik di mana Yoovan merasa tidak mampu menahan beban yang dia rasakan.
Tidak ada salahnya luka ini dia bagi dengan Mahes. Adik laki-lakinya itu sudah bisa diajak diskusi.
Mendengar pintu pembatas antara balkon dan ruang kerjanya terbuka, Yoovan sontak menolehkan kepalanya. Matanya menatap pergerakan Mahes.
"Mau yang hot atau dingin?" Mahes menunjukkan dua cup coffe yang dia bawa. Walaupun abangnya itu tidak mau menitipkan apapun, tidak ada salahnya dia membelikan kopi seduh.
"Hot aja," satu cup coffe hangat Mahes berikam untuk abangnya itu.
"Udah tau Hes?"
Mahes menyeruput kopinya lebih dulu, "Kenapa disembunyiin masalah gede kayak gini sih Bang?"
Kini gantian, Yoovan yang menyesap kopinya baru menjawab pertanyaan adiknya itu, "Bukannya gue mau nyembunyiin masalah ini Hes. Gue tau, akhir-akhir ini coffe shop lagi ada problemkan? Mangkannya gue ngga berani nambahin beban lo lagi."
"Itu udah kewajiban gue Bang. Tapi bukan berarti lo bisa nyembunyiin masalah besar ini. Gue bukan adek yang bisa lo kibulin."
"Langsung ke intinya aja. Dari kapan mimi sama pipi berantem?"
"Dari gue masuk kuliah."
Sontak kedua bola mata Mahes membola, "Kuliah?" beonya tak percaya, tangannya langsung menghitung ulang, "Sembilan tahun?" matanya langsung membulat sempurna mematap abangnya.
Yoovan mengangguk lemah, "Selama itu anjir lo nyembunyiin ini dari gue?" ingin rasanya Mahes mengeluarkan emosinya, tapi dia menahan diri untuk itu.
Tanpa mendapat jawaban dari abangnya, Mahes sudah paham, "Boleh gue peluk lo gak Bang? Laki-laki boleh nangis kok Bang," Mahes membuka tangannya dengan lebar.
Jujur saja, dari tadi Yoovan sudah berusaha semaximal mungkin untuk tidak menangis dihadapan adiknya. Dia lelah, sungguh. Tapi ketika mendapat tanggapan hangat dari Mahes, Yoovan langsung memeluk adiknya itu.
Mahes menepuk-nepuk bahu Yoovan selagi abangnya itu menumpahkan air matanya, "Luapin semua emosi yang selama ini lo pendam Bang. Bagi ke gue, biar gue ngerasain juga. Cukup sepuluh tahun lo simpen sendiri, sekarang udah saatnya gue ikut berperan di sini ya Bang."
****
"Adek mana Je?"
Jeo menoleh ketika ada seseorang yang menghampiri dirinya, "Di belakang. Mas belum tidur?"
"Gak bisa tidur. Kamu sendiri sama adek kenapa ngga tidur?"
"Adek katanya ngga bisa tidur. Yaudah aku temenin."
Varo berdiri tepat disamping Jeo, "Besok ada jadwal kuliah?"
"Hm, aku ada jam sembilan. Kalo adek aku ngga tau. Nanti coba aku tanyain deh ya," Jeo menatap tepat di manik mata Varo, tatapannya seperti susah dijelaskan. Antara sedih dan hampa sepertinya? Entah Jeo takut salah menebak.
"Besok kalian Mas anter ya ke kampusnya."
"Mas ngga ngantor?"
"Ngga, dah sana temenin adeknya. Jangan biarin Ara sendiri ya Je. Kalau kamu butuh bantuan, panggil Mas di kamar ya."
Walaupun tidak paham maksud dari perkataan Varo, Jeo hanya mengangguk saja. Kakinya melangkah kembali ke halaman belakang dengan membawa dua gelas di masing-masing tangannya.
Aneh, sungguh aneh. Tidak biasanya Jeo melihat tatapan Varo seperti itu. Selesai membuatkan milo pesanan Clara dan secangkir coklat untuknya, Jeo kembali ke halaman belakang.
"Ini untuk Tuan Putri," Jeo menyerahkan segelas milo dingin seperti pelayan memberikan hidangan ke majikannya dengan badan setengah menunduk.
"Terima kasih pembokat."
Jeo lantas memanyunkan bibirnya, "Pembokat gak tuh," gerutunya tak terima dibilang pembokat.
"Hahaha," Clara menjawil dagu Jeo, "Canda sayang."
"Besok kamu ada jam Ra?"
Clara menyeruput milonya lebih dulu, "Hm," dirinya langsung mengingiat jadwalnya, "Ada, jam sepuluh kayaknya," kepalanya menoleh ke Jeo, "Kamu sendiri?"
"Jam sembilan. Besok kita dianter mas Varo," ucap Jeo santai.
Sontak kedua bola mata Clara membulat sempurna, "Serius kamu? Mas kita yang paling sibuk itu?"
Jeo menganggukan kepalanya, "Iya. Aku juga kaget tadi pas dia ngomong mau anterin kita."
"Motor kamu ke mana?"
"Kan di bengkel."
"Mobil?"
Mendengar pertanyaan yang satu itu, Jeo langsung mendengus, "Jangan pura-pura lupa. Kan ditahan sama papah."
"Lah iya ya, aku lupa beneran Je. Baliknya gimana?"
"Gampang, kita punya enam kakak yang bisa dimanfaatkan."
****
"Terus sekarang kita harus apa Bang?" tanya Rafa yang sudah ikut bergabung dengan dua bersaudara di studio Yoovan.
Tadinya Rafa tidak mau ikut masuk, tapi dirinya dipanggil Yoovan. Toh, Rafa sudah tahu bukan? Jadi tak apa jika Yoovan menceritakan keseluruhan. Dia percaya dengan para sepupunya.
"Untuk saat ini, biar kita aja yang tau," Yoovan kembali menatap adiknya, "Lo tau dari kapan Hes?"
"Gue ngga tau cerita spesifiknya gimana. Gue cuman tau, kalau mimi sama pipi lagi renggang. Mangkannya gue juga sempet was-was ke adek Bang."
"Sorry ya, gue ngga ngasih tau lo dari awal," ucap Yoovan penuh penyesalan.
Mahes menepuk bahu Yoovan, "Gak papa. Yang penting, untuk kedepannya lo harus bilang apapun ke gue ya Bang."
"Pasti. Berarti yang dari di rumah, lo udah tau dong?"
"Udah. Malemnya yang lo ngga balik ke rumah, mimi berantem hebat sama pipi. Untungnya adek udah pules. Gue tadinya mau ke kamar mandi, tapi pintu kamar mereka ke buka sedikit."
"Lo denger semua perdebatan mereka Hes?" kini giliran Rafa yang angkat bicara.
Mahes terdiam sejenak, menginta memorinya di saat itu, "Ngga banyak sih. Intinya secara garis besar, mereka mau pisah."
Helaan nafas berat terdengat di telinga Mahes. Siapa lagi jika bukan Yoovan pelakunya.
"Lo kenal sama cewek itu Bang?"
"Ngga, tapi gue lagi nyari tau latar belakang cewek itu."
Baik Rafa maupun Mahes menganggukan kepalanya. Mereka tidak meragukan abangnya yang satu ini.
"Ada backingan Bang?" Rafa menatap Mahes yang juga menatap balik kearahhya.
"Ada, gue ngga sendiri mas Varo ikut bantu. Ada beberapa orang dia yang juga ikut turun tangan."
"Butuh gue call backingan keluarga ngga?"
Yoovan langsung menggeleng keras, "Jangan. Bukannya gue ngga bolehin lo ikut campur ini Hes, baiknya lo awasin adek aja. Gue ngga bisa ngawasin dia sepenuhnya. Jadi, gue minta tolong kerja samanya ya sama kalian."
Rafa mengangguk paham, "Pasti Bang. Adek pasti kita awasin."
Sepertinya hanya Rafa yang mengangguk, Mahes masih sibuk dengan isi kepalanya sendiri.
"Hes, you okey?" tanya Rafa karena tidak mendengar pendapat Mahes dari tadi. Sepupunya yang satu ini hanya diam, tanpa memberikan tanggapan.
Yoovan yang paham sifat adik tengahnya itu, dia diam saja. Dirinya memilih beranjak menuju dapur yang letaknya tidak jauh dari ruangannya.
"Crofle Raf?"
"Boleh Mas."
"Okey."
"Hes?"
Mahes yang ditanya hanya menggeleng, "Mas..."
"Entar aja pertanyaannya. Gue laper," Yoovan meninggalkan adik tengahnya itu dengan segudang pemikirannya sendiri.