Biasanya ketika pulang dari rumah sakit, ada orangtua yang setia menemani. Tapi tidak dengan Clara. Nasibnya tidak sebaik perempuan di luar sana.
"Hey, kok bengong sih?"
Clara sontak menoleh, dahinya mengernyit bingung, "Kok aku ngga denger Abang masuk?" tanyanya heran.
Tangan Jiyad terangkat mengelus puncak kepala Clara, "Kamu bengong mangkannya ngga sadar kalo Abang masuk."
"Bang," panggil Clara, tatapannya sudah kembali menatap ke luar jendela. Dirinya memang tengah duduk menghadap balkon kamar.
"Apa Dek?"
"Kalo orang habis keluar rumah sakit, biasanya diurus sama orangtuanya kan ya?"
Jiyad diam, dia takut salah menjawab pertanyaan Clara.
"Iyakan Bang? Ngenes banget ya jadi aku. Padahal mas Mahes katanya semalem udah ngasih tau mimi sama pipi kalo aku habis di opname. Tapi mana? Mereka ngga nampakin diri di sini."
"Dek, mungkin pipi sama mimi lagi ada kerjaan yang ngga bisa ditinggalin."
Clara terkekeh, bukan kekehan lucu tapi kekehan miris. Dia miris dengan kisah hidupnya sendiri.
"Aku kangen mimi sama pipi yang kemarin-kemarin, bukan yang sekarang," ucap Clara lirih dengan kepalanya yang tertunduk.
Jiyad yang memang anaknya tidak tegaan, langsung menarik Clara ke dalam pelukannya. Tangannya juga tak henti mengelus punggung Clara, memberikan ketenangan adiknya.
"Semalem Bang Ji habis pulang ke rumah. Bunda bilang, dia kangen sama kamu. Gimana kalo kita ke rumah Bunda aja?"
Clara langsung melepaskan pelukannya, "Gapapa Bang?"
Dahi Jiyad berkerut, "Kok gitu ngomongnya? Kan orangtua Abang, orangtua Adek juga," Jiyad bangun lebih dulu, tangannya terulur ke hadapan Clara, "Yuk."
Dia merindukan miminya, mungkin bunda bisa sedikit mengurangi rasa rindunya. Dia menerima uluran tangan Jiyad.
"Aku ganti baju dulu ya," ucap Clara dengan suaranya yang sudah berubah riang. Sangat gampang membalikkan mood si bontot Wiratama.
Di markas memang hanya ada Jiyad dan juga Clara. Semuanya sibuk dengan urusan masing-masing. Tadinya Jiyad juga mau ada sesuatu yang dia urus, tapi teringat Clara di markas sendiri, Jiyad langsung memutar arah kembali ke markas untuk menemani adiknya.
"Yuk Bang," Jiyad sontak mendongakkan kepalanya, menatap Clara dengan senyum yang terpatri di wajahnya.
"Yuk, Bunda katanya bikin es kul-kul loh. Niatnya nanti mau dititip Jeo buat kamu. Eh pas tau kamu mau ke rumah, Bunda seneng banget."
Jiyad membukakan pintu penumpang dulu untuk Clara, "Iyakah Bang?" tanpa ragu Jiyad menganggukkan kepalanya, "Iya dong," baru setelah memastikan Clara masuk mobil, Jiyad memutar untuk masuk ke balik kemudi.
"Abang tadi udah ngabarin bang Yoo, katanya yaudah gapapa kalo kamu mau ke sana," ucapnya seraya menganakan sabuk pengaman. Matanya kembali menatap Clara sebelum menjalankan mobilnya.
Clara memiringkan kepalanya, menatap Jiyad yang juga tengah menatap kearahnya, "Nginep boleh?"
"Oh, kalo urusan itu, Abang ngga berani izinin. Mending kamu izin sendiri aja telfon."
Clara langsung menggelengkan kepalanya, "No, Abangkan tau gimana bang Yoo. Pasti aku disuruh pulang."
"Kan belum dicoba Dek, coba aja dulu," bujuk Jiyad, walaupun dia tahu ujungnya, tapi tetap memberi semangat Clara.
Yoovan tidak akan mengizinkan Clara menginap di saat adiknya pasca sakit, bukan apa-apa, dia hanya tidak mau merepotkan banyak orang. Biarlah Clara dan Mahes menjadi tanggung jawabnya saat ini. Menggantikan posisi orangtua yang sebenarnya masih ada, tapi tanggung jawab keduanya yang sudah menghilang entah ke mana perginya.
"Yaudah, Ara coba izin ya," Clara mengeluarkan ponselnya, sebelum menelfon yang paling tua, Clara memilih telfon mas keduanya dulu.
"Halo, assalamu'alaikum Mas."
"Wa'alaikumsalam geulis, kenapa sayang telfon Mas? Kamu butuh sesuatu?"
Clara menggeleng, "Ngga, Mas Mahes lagi di mana?"
"Masih di kantor, kenapa? You need something? Mas ke markas ya?"
"Eehh, jangan jangan. Aku mau telfon aja."
"Oke, kenapa sayang?"
"Hm," Clara menoleh dulu kesampingnya yang kebetulan tatapannya bertemu dengan tatapan Jiyad. Sebagai pendukung, Jiyad menganggukkan lalu tersenyum seakan memberi semangat.
"Aku kan sama bang Ji mau ke rumah Bunda ya ini."
"Heeh, terus?"
"Hm, bolehkan Ara nginep di rumah bunda Mas malam ini?"
"Aduh aduh, sulit banget ini."
Mimik wajah Clara langsung berubah sedih. Jiyad yang menyadari perubahan raut wajab adiknya, sontak tangan kirinya mengelus punggung tangan kanan Clara.
"Mas, gimana?"
"Bang Yoo gimana?"
"Ya justru itu. Tau kan jawabannya bang Yoo?"
"Ya kamu kalau udah tau, kenapa telfon Mas?"
"Ya barang kali, aku dapet dukungan suara dari Mas. Lagian akukan nginepnya di rumah bunda bukan orang lain."
"Ya justru itu cantik, Mas sama bang Yoo takut ngerepotin bunda Farah sayang."
"Huft, yaudah. Aku langsung telfon bang Yoo aja," tanpa menunggu jawaban ataupun respon Mahes, Clara mematikan sambungan secara sepihak.
"Kok langsung dimatiin?" mobil yang dikemudikan Jiyad berhenti tepat di lampu merah, dia jadi bisa memfokuskan tatapannya ke Clara.
"Boleh pinjem hp bang Ji?"
"Mau telfon bang Yoo?" tanya Jiyad tepat sasaran, "Gini aja, Abang dulu yang ngomong baru habis itu kamu, gimana?" tawar Jiyad.
"Oke."
Tepat setelahnya lampu merah berubah warna menjadi hijau, dengan terpaksa Jiyad kembali menjalankan mobilnya, "Kita berhenti di depan aja ya," ucap Jiyad bermaksud memberi pengertian Clara. Sang empu yang diberi pengertian hanya menjawab dengan anggukan.
Mobil Jiyad berhenti tepat di sebuah taman. Clara yang merasa terpancing, matanya mulai mengitari sekitat. Begitu menemukan sesuatu, dia langsung menatap abangnya, "Abang?" panggilnya membuat Jiyad membalas tatapannya.
"Apa sayang?"
"Aku mau jajan dulu ya, Abang tunggu di mobil aja," Clara menunjuk sebuah gerobak yang menjual makanan kesukaan, cilok.
"Bawa uang ngga?" Clara mengangguk sebagai jawabannya.
"Yaudah gih sana, mau ditemenin ngga?"
"Ngga usah, aku udah gede tau," Clara langsung membuka pintu disampingnya.
Jiyad terkekeh mendengar jawaban Clara. Walaupun umur Clara sudah mau menginjak kepala dua, tapi di mata Jiyad dan para abang-abangnya Clara tetaplah si bungsu yang harus mereka perhatikan.
"Halo, assalamu'alaikum Bang," sambungan telfon Jiyad sudah terangkat oleh orang diseberang sana.
"Wa'alaikumsalam, kenapa Ji?"
"Masih di studio?"
"Gue lagi di rumah."
"Rumah pipi Bang?"
"Mau bilang bukan, tapi nyatanya gue lagi di neraka dunia."
Jahat sekali rasanya kalau Jiyad mentertawakan gurauan abang sepupunya itu, "Hush, ngga boleh gitu Bang."
"Clara sama lu Ji?"
"Iya, Bang gue mau minta izin nih."
"Kenapa?"
"Hari ini gue mau bawa adek ke rumah bunda, gapapakan?"
"Gak papa, yang penting awasin dia suruh jaga makannya ya. Tapi gue percaya sih, bunda mah ngga akan ngebiarin kita kelaperan."
Jiyad tertawa sejenak, memang benar apa yang abangnya katakan. Jika ada sepupu-sepupunya yang bertandang ke rumah, bundanya tidak akan segan-segan untuk membuatkan banyak makanan. Bahkan makanan kesukaan masing-masing, bundanya sudah sangat hafal.
"Tapi ini ada izin tambahan Bang."
"Apa?"
"Adek boleh nginep di rumah ngga?"
"Ji, lu kan tau alesan—"
"Tau Bang, tau banget malah. Tapi posisinya kan Clara habis opname, dia butuh temen buat cerita. Mungkin dengan dia sama bunda, Clara jadi ada temen cerita sesama cewek Bang. Lu tau lah maksud gue tanpa harus gue jabarain."
Tidak ada balasan apapun dari seberang sana. Jiyad paham, abangnya yang satu itu memang memiliki sifat keras kepala. Jadi wajar saja, hanya seperti ini membutuhkan waktu mendapatkan izin.
"Bang, gimana? Clara udah mau balik ke arah mobil?"
Terdengar helaan nafas kasar dari ujung sana, "Yaudah, lu matiin dulu telfonnya. Nanti biar Clara yang telfon gue langsung ya."
Senyum Jiyad mengembang. Ini artinya dia sudah mendapatkan lampu hijau, tinggal yang bersangkutan yang meneflon secara langsung.
"Oke, nanti gue bilangin. Thanks ya Bang, gue izin tutup telfonnya. Wassalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Tepat ketika Jiyad mematikan sambungan, Clara membuka pintu mobil dengan kedua tangannya yang sibuk dengan jajanan yang dia beli.
"Banyak banget belinya?" tanya Jiyad seraya membantu Clara mengambil alih jajanan yang dia beli.
"Udah lama banget aku ngga jajan ginian Bang."
"Ini kalo bang Yoo tau kamu jajan ginian, pasti langsung ngomel deh."
Sontak kedua mulut Clara menekuk ke depan, "Ya Abang jangan ember. Kan yang tau aku jajan cuman Bang Ji."
"Kalo tadi tau kamu bakalan jajan ginian, Abang juga ngga ngebolehin," ucap Jiyad tanpa ada selipan nada bercandanya, terdengar serius menurut Clara.
Makanan yang dia pegang langsung dia masukkan ke dalam plastik, "Dah aku stop," tangannya langsung meraih kedua tangan Jiyad, "Abang jangan marah ya? Akutuh ngga bisa kalo Abang marah?" pinta Clara yang sudah memasang wajah melasnya.
Jiyad yang tak tega sontak mengelus kepala Clara, "Jangan di ulangin. Abang cuman ngga mau kamu sakit lagi kayak kemarin."
"Iya Abang."
Teringat pesan Yoovan, Jiyad langsung menyampaikan ke Clara, "Telfon bang Yoo gih."
"Abang udah telfon?"
Jiyad mengangguk, "Udah. Giliran izin dari kamu langsung ya."
Clara langsung mengeluarkan ponselnya dan menghubungi abang pertamanya.
"Halo, assalamu'alaikum Bang."
"Yoovan ngga akan ngasih Mahes atau Clara sama kalian. Tanpa kalian, Yoovan bisa ngurusin mereka berdua!"