Melihat kedatangan abangnya, Jeo lantas bangun, "Bang..."
Jiyad yang belum paham, matanya melirik Mahes meminta penjelasan. Mahes pun membalas dengan anggukan kepalanya. Walaupun hanya dengan anggukan, Jiyad langsung paham.
"Mau ke taman?" ajaknya pada Jeo yang langsung diangguki tanpa menolak.
Keduanya berjalan menuju taman yang letaknya tidak jauh dari ruang inap Clara.
"Adek Abang kenapa?" tanya Jiyad dengan lembut.
Jeo menyandarkan punggungnya ke belakang, "Aku bermasalah sama polisi Bang."
Sontak kepala Jiyad menoleh cepat ke adiknya, "Kamu ditahan polisi? Coba, jelasinnya yang jelas biar Abang paham."
Mulailah mengalir cerita kejadian di mana polisi membawa motornya. Jiyad sendiri fokus mendengarkan cerita adiknya. Dia tidak menyela ataupun memberikan pendapat, karena dia tahu, yang adiknya butuhkan adalah kedua telinganya bukan mulutnya untuk memberikan komentar.
"Jadi ini salah kalian berdua kurang lebihnya?" tanya Jiyad.
Jeo menegakkan badannya, "Iya Bang."
Tangan Jiyad terangkat mengelus rambut hitam adiknya, "Responsible. Ingetkan yang bunda ajarin?"
Jeo mengangguk, "Apapun yang kita lakukan, pasti ada tanggung jawabnya."
"Nah, selesaiin. Kalau memang kamu butuh bantuan, baru kita turun tangan."
"Iya Bang, tadi juga kata mas Varo begitu. Besok aku sama bang Kevin ke kantor polisi. Tadinya mas Mahes mau nemenin, tapi ngga boleh sama mas Varo."
"Mas Varo bagus, dia ngarain kamu sama Kevin buat tanggung jawab. Coba kalo misal mas Mahes ikut, Abang yakin kamu sama Kevin cuman diem aja di belakang dia. Bener ngga?"
Jeo mengangguk lagi dengan kepalanya yang menunduk, "Iya Bang."
"Yaudah, selesaiin ya."
"Tapi Bang," Jeo sudah menatap balik Jiyad, "Kan pajak motor aku mati. Emang sih, mas Varo mau bantuin aku buat lunasinnya. Tapi ancamannya aku ngga ada uang bulanan. Bunda pasti ngasih, tapi kan pasti ngga banyak Bang."
"Memang kamu mau ngapain banyak-banyak?" tanya Jiyad balik, dia sebenarnya juga bingung dengan adiknya ini. Lebih tepatnya bingung dengan pengeluarannya.
"Hhm," Jeo bingung mau menjelaskannya, "Aku sebenernya lagi nabung Bang."
"Buat?"
"Bulan depan Clara ulang tahun. Aku mau beliin tiket pp ke Korea. Eh, bukan beliin sih tapi aku juga mau ikutan."
Kekehan keluar dari mulut Jiyad, dia speechless dengan apa yang adiknya katakan, "Serius kamu?"
Jeo mengangguk penuh keseriusan, "Serius Bang. Tabungan aku udah ada empat puluh."
"Ribu?"
"No, juta Bang," jawab Jeo enteng tanpa memperdulikan raut keterkejutan abangnya.
Jiyad merasa tersentuh, Jeo ini memang benar-benar adiknya, "Abang mau peluk boleh?" pinta Jiyad, padahal tanpa diminta Jeo langsung menubruk badan Jiyad.
"Ngga usah khawatir, nanti Abang ikut nyumbang deh," ucap Jiyad santai.
Jeo menguraikan pelukannya, "Jangan. Aku maunya uang yang di pake nanti, pake uang aku sendiri tanpa minta bantuan siapapun," Jeo teringat sesuatu, "Di kafe tempat abang part time, ada lowongan ngga?"
"Kamu mau kerja?"
Jeo mengangguk semangat, "Mau. Ada ngga?"
"Kenapa ngga di kafenya mas Mahes aja?"
"No, aku ngga mau kerja di tempat saudara. Nanti tuh jatuhnya mas Mahes malah kasian sama aku. Aku ngga mau itu Bang."
Jiyad menatap kedua bola mata adiknya, di sana terlihat ketulusan yang terpancar. Wajar saja, Jeo dan Clara sangat dekat. Walaupun umur mereka beda satu tahun, tapi itu semua bukanlah masalah.
Dua adik bontotnya itu saling menyayangi satu sama lain. Bahkan kedekatan mereka ada yang bilang sepasang kekasihlah, ada yang bilang anak kembar lah. Wajah mereka juga bisa dibilang sekilas mirip.
"Yuk ah balik Bang, nanti adek keburu pulang."
Jiyad ikut bangun dari duduknya, tangannya terangkat menepuk bahu Jeo, "Abang baru sadar. Kalo adek Abang sekarang udah dewasa. Udah bisa ngasih yang terbaik buat si bungsu."
Dengan bangganya, Jeo membusungkan dadanya, "Aku sekarang Abang ya. Ya walaupun Clara jarang panggil aku Abang. Dia panggil aku Abang kalo lagi ada maunya doang," dumelnya dengan bibir yang sedikit dimajukan
Jiyad terkekeh melihat ekspresi terakhir adiknya, "Yaudah, nanti Abang bilangin deh sama Claranya."
"Ih jangan. Agak geli aku kalo dipanggil abang sama dia," Jeo bergidik geli membayangkan Clara setiap hari memanggilnya dengan sebutan abang. Dia sudah terbiasa dengan panggilan ini.
"Yaudah ngga," Jiyad merangkul adiknya dan berjalan beriringan kembali ke kamar inap Clara.
****
Melihat Kevin yang masuk, Clara langsung menyodorkan tangannya. Plastik yang Kevin bawa, diserahkan ke tuan putri.
Yoovan yang duduk disebelah brankar hanya bisa geleng-geleng kepala. Padahal baru beberapa menit yang lalu, dimsum yang dia beli dihabiskan Clara.
"Stok dimsum di kulkas masih ada atau udah habis Yo?" tanya Varo mengingat bagaimana sukanya Clara dengan dimsum.
"Kulkas mana nih? Rumah papi atau markas?"
"Ya atuh markas dong."
"Terakhir sebelum aku di sini, aku liat masih ada. Tapi ngga tau berapa bijinya," ucap Clara mencoba mengingat berapa dimsum yang dia lihat, "Bentar aku inget dulu, kalo ngga salah ya masih ada satu mika."
"Udah abis," jawab seseorang yang tengah asik dengan layar ponselnya tanpa memikirkan efek dari apa yang dia katakan.
"BANG KEVIN IH, KOK DIABISIN?!"
Yoovan langsung mengelus tangan adiknya dengan lembut, "Adek ngga boleh marah-marah. Gapapa dimsumnya diabisin. Nanti Abang beliin lagi. Abang ngga suka ya kalo kamu pelit sama saudara."
Sontak kedua bibir Clara tertekuk ke depan. Padahal Yoovan bukan mengomeli dirinya, tapi Clara merasa di omeli.
Varo mau mendekati brankar Clara, "Cantiknya Mas ngga boleh nangis. Nanti Mas yang beliin dimsumnya lagi, kalau perlu segerobak-gerobaknya Mas beli ya," ucap Varo dengan tangannya yang mengelus pipi Clara.
Clara mengangguk. Tunggu, dia tidak menemukan seseorang yang menemaninya dari pagi, "Jeo ke mana?"
Tak lama setelah Clara bertanya, pintu kamar inapnya terbuka dari luar dan muncullah sosok Jiyad yang Clara rindukan.
"Bang Jiiiyyy," tangan Clara membentang lebar. Jiyad yang merasa disambut langsung masuk ke dalam pelukannya Clara, dia juga membalas pelukan si bungsu.
Jiyad mengelus punggung Clara dengan lembut, "Kangen banget tau Abang sama kamu," Jiyad merenggangkan pelukannya, matanya menatap wajah Clara, "Udah mendingan?"
Clara mengangguk, "Udah kok, tuh udah beberes mau pulang," Clara menunjukkan ke Jiyad melalui tatapan matanya ke ransel besar yang sudah disiapkan Mahes.
Jiyad terkekeh, "Oke deh," dia beralih menatap Mahes, "Jam berapa keluar?"
"Nunggu dokter dateng aja."
"Tapi pasti kan Mas aku pulang?" tanya Clara dengan suara sendunya, dia sudah bosan berada di rumah sakit beberapa hari belakangan.
"Kamu ngga suka di sini, iya?" tanya Jiyad lembut, tangannya mengesampingkan poni Clara yang menghalangi tatapannya.
Clara mengangguk dengan bibirnya yang dia majukan sedikit, "Bosen tau Bang di sini."
"Kenapa bosen Dek?" tanya Rafa yang berdiri di sisi kirinya, sedangkan Jiyad di sisi kanannya.
"Ya bosen aja Mas."
"VVIP masa bosen sih cil? Coba, kurang enak apa di sini. TV netflix, brankar enak. Kalo gue jadi lo sih, mending di sini aja dulu."
Sontak botol aqua melayang kearahnya, "Somplak banget anaknya," protes Mahes, pelaku yang melempar botol kosong tadi.
"Jangan di dengerin anak kurang imunisasi ya begitu," ejek Varo seraya menyunggingkan senyumnya.
"Dih dih dih, gue bilangin ibun lu."
Saudaranya yang lain hanya bisa geleng-geleng kepala saja. Sudah biasa melihat adegan adik kakak kandung bertengkar.
Pintu ruangan Clara terbuka, munculah sosok yang mereka tunggu bersama dengan seorang perawat.
"Wah, ramai sekali ya di sini," ucap dokter Indra, dokter keluarga Wiratama tepatnya.
Jiyad dan yang berdiri di sisi brankar Clara memundurkan badannya, mempersilahkan dokter Indra memeriksa keadaan Clara.
"Apa yang kamu rasa sekarang Ra?" tanya dokter Indra yang tengab memeriksa d**a Clara menggunakan stetoskopnya.
Clara diam, merasakan badannya, "Kalau untuk saat ini, cuman mual aja Dok."
"Pusing?"
Clara menggeleng, "Ngga terlalu."
"Oke," dokter Indra memasukkan kembali stetoskopnya ke saku sneli yang dia gunakan.
"Yoovan, Varo," merasa namanya terpanggil, Varo dan Yoovan mendekati dokter Indra.
"Keadaan Clara sudah membaik, tapi harus pengecekan rutin ya. Dua minggu sekali, jadwal Clara kontrol. Di minggu kedua nanti, kalau memang sudah tidak ada keluhan apapun, tidak harus kontrol lagi," jelas dokter Indra membuat Varo dan Yoovan mengangguk paham.
"Tapi Clara,"
"Iya Dok?"
"Jangan makan pedas dulu ya? Bisakan puasa pedas dulu?"
Yang ditanya menganggukkan kepalanya pelan. Apakah dia bisa puasa cabai? Ketika makan tidak ada berbau pedas, yang Clara cari pasti cabai di kulkas.
"Tuh dengerin apa kata dokter," sambar Jeo dengan tangan yang dia lipat di dadanya. Matanya menatap fokus Clara.
Clara mencebikkan bibirnya. Ketika tidak di larang dokter saja, para sepupunya sangat memperhatikan apa yang dia makan. Apalagi ini, anjuran dokter. Yang ada Clara selalu dibuatkan bekal ketika ke kampus nanti.
Yoovan mengelus dengan lembut puncak kepala adiknya, "Patuh ya Dek?"
Clara mengangguk lemah. Memang apa yang bisa dia lakukan selain menganggukkan kepalanya?
Setelah dokter Indra pergi, Varo dan Yoovan langsung bergegas ke bagian administrasi guna mengurus kepulangan Clara.
Clara mengelus tangannya yang sudah terlepas dari infusan. Masih terasa perihnya setelah dilepas.
Kasihan melihat adiknya, Jiyad mendekat ke brankar. Tangannya meraih punggung tangan Clara yang tadinya tertempel infusan, "Sakit ya?" tanyanya penuh kelembutan.
Clara mengangguk pelan, "Nyeri Bang."
Jiyad membawa tangan Clara tadi mendekati mulutnya. Tanpa Clara duga, Jiyad meniup-niup punggung tangannya dengan hembusan nafasnya.
Senyum Clara terbit. Abangnya yang satu ini memang penuh kelembutan. Beruntungnya yang nanti menjadi pasangan Jiyad. Benar-benar dimanjakan.
"Masih sakit ngga Dek?"
Clara memilih menunjukkan senyuman manisnya, "Better Bang."
"Syukurlah, kalo masih sakit bilang ya."
"Emang mau mau diapain kalo masih sakit?" tanya Jeo yang sudah berdiri disamping Jiyad.
"Ya dielus-elus lagi lah," ucap Clara tak terima dengan perkataan Jeo.
Jeo memutar bola matanya dengan malas. Abangnya memang sangat memanjakan Clara.
"Yuk kita pulang."