Akhirnya mobil yang dikemudikan Jiyad sampai juga di kediaman Abraham. Sebelum membuka seat beltnya, Jiyad menoleh kesamping. Dari semenjak menelfon Yoovan tadi, Clara tidak banyak bicara. Bahkan belum ada lima menit, panggilannya langsung dimatikan bukan menit, bahkan masih hitungan detik.
Ketika Jiyad menawarkan lagi untuk menelfon, Clara langsung menggeleng tegas dan mengatakan tidak dengan nada datar, jangan lupakan pandangannya yang ikut kosong.
"Ra? Udah sampe kita, yuk turun," Jiyad menyentuh tangan Clara yang bertengger di pangkuannya.
Sang empu sontak menoleh ke Jiyad, "Bang, need hug," tanpa meminta penjelasan, Jiyad langsung memeluk adik sepupunya itu. Dia sangat yakin, jika Clara seperti ini pasti ada sesuatu. Jiyad bukanlah Jeo yang langsung memaksa adiknya ini untuk bercerita.
Merasa nafas Clara sudah membaik, barulah Jiyad mengendurkan pelukannya, "Better?"
Clara mengangguk, "Di dalem kayaknya ada Jeo. Abang jangan bilang apa-apa ya?"
Jiyad terkekeh, tangannya terulur mengelus kepala Clara, "Siapp."
Keduanya turun dari pintu mobil sisi masing-masing. Jiyad membiarkan Clara lebih dulu masuk ke dalam rumahnya. Melihat perubahan mood anak itu, Jiyad hanya bisa geleng-geleng. Definisi menutupi luka yang sebenarnya. Salah satu sifat yang terkadang Jiyad tidak suka dari adiknya itu. Sangat pintar menutupi jika ada masalah.
"Assalamu'alaikum," salam Clara seraya membuka pintu utama.
"Wa'alaikumsalam," sahutan terdengar dari depan televisi dan Clara langsung mengetahui suara siapa itu.
"Bundaaa," tanpa tahu malu, Clara langsung mencari keberadaan sang tuan rumah. Orang yang tadi menjawab salamnya, tidak dia hiraukan keberadaannya.
Clara yakin, bundanya pasti ada di dapur. Tapi ketika kakinya menginjaki dapur, tidak ada siapapun.
"Jee, Bunda manaaa?"
Jeo yang tadinya memegang konsol game, sontak menutup salah satu telinganya, "Bisa ngga, kalo bertamu itu yang sopan? Berasa di hutan tau kamu teriak-teriak," dumel Jeo yang sama sekali tidak ditanggapi Clara, dia malah asik mengambil toples keripik yang mana keripik itu merupakan makanan kesukaan Jeo dan juga Clara.
Jeo langsung melempar konsol gamenya dan merebut toples dari Clara, "Siniin ih Ra."
"Bagi si Je, pelit banget jadi orang."
"Ya bukannya aku pelit, kamu aja nyerakahin toplesnya kayak gitu," sungut Jeo tak terima dibilang pelit.
"Ya bagi mangkannya."
Dan terjadilah adegan tarik menarik toples yang berisikan keripik ubi. Padahal di dapur, masih banyak stoknya. Bukan Jeo dan Clara jika tidak memperebutkan hal kecil.
"Astaghfirullah, kenapa ini di rumah Bunda ribut-ribut?"
"Buat kamu aja."
"Kamu aja."
Baik Jeo maupun Clara saling memberikan toples. Jiyad? Jangan ditanya, dia hanya geleng-geleng kepala melihat adegan tom and jerry yang langsung berhenti ketika pawangnya datang.
"Bang, ambilin lagi di rak dapur," ucap Farah menyuruh putra sulungnya. Jiyad langsung mengangguk dan melangkah ke dapur.
Seperti tidak ada kejadian apapun, Clara beranjak mendekati Farah. Dan langsung memeluk tubuh Farah dengan hangat dari samping.
"Bundaaa," panggil Clara dengan manja.
"Anak perempuan Bunda," Farah juga menyambut dengan hangat pelukan Clara.
Jeo sama sekali tidak iri dengan pandangan di sampingnya, dia malah mencibir melihat kelakuan manja Clara.
"Kemarin Adek habis sakit ya?" tanya Farah yang langsung diangguki Clara.
"Maaf ya kemarim Bunda ngga jenguk. Wong abang-abangmu baru ngasih tau Bunda pagi ini," tangan Farah tak henti mengusap kepala Clara. Bak anak kecil yang tengah manja kepala ibunya.
"Gimana ngampusnya Dek? Ada masalah?"
Clara mengendurkan pelukannya, kepalanya dia gelengkan sebagai jawaban, "Ya baru maba Bun, belum ada keluhan sih sejauh ini."
Lagi, tangan Farah menyingkirkan anak poni di dahi Clara ke telinganya, "Ndak mau pindah ke FK aja Dek?"
Entah sudah berapa kali bunda Farah bertanya seperti ini. Tapi Clara tidak lelah dengan pertanyaan bundanya ini, walaupun hanya sebatas tante dan keponakan, tapi Clara sudah menganggap Farah bak ibu kandungnya.
"Nih," Jiyad datang membawa kaleng keripik dari dapur, "Biar ngga berebutan lagi. Bun, Abang ke kamar dulu ya," sebelum pergi Jiyad menyempatkan mengecup puncak kepala bundanya, sudah menjadi kebiasaan bagi Jiyad melakukan hal seperti itu.
"Yassss," konsol game dibanti Jeo begitu saja ketika layar televisi menampilkan di mana mobil sudah berada di garis finis, yang mana, Jeo ditakdirkan sebagai pemenang di dalam game.
"Bang, udah dong gamenya. Mandi gih, habis itu kita makan."
Bukannya beranjak, Jeo malah mendekati kaki bundanya dan memeluk kaki sang bunda, dengan kepala yang dia letakkan di pangkuan bundanya.
"Manja," cibir Clara balik, tapi sama sekali tidak diperdulikan Jeo. Dia tetaplah bungsu di keluarganya, berbeda jika di keluarga besar.
"Ini pada kenapa sih? Kok manja gini?"
"Capek kuliah Bun," cicit Jeo masih dengan kepala dipangkuan sang bunda.
Tangan Fara berganti mengelus rambut putranya, "Capek wajar Bang. Tapi, bukan berarti dengan dalih kamu capek, kamu jadi males-malesan ya. Kapan libur semesteran?" tanya Farah bergantian menatap keduanya.
"Aku sih masih bulan depan Bun," jawab Clara.
Jeo menegakkan kepalanya, "Walaupun beda jurusan ya Ra, jadwal UAS atau UTS ya masih sama lah."
"Ya aku kan ngga tau Je."
"Udah dong jangan berantem. Mending, kalian agendakan mau ke mana."
"Bunda mau ajak kita liburan?"
"Iya, bukan cuman kalian, ajak juga mas-masmu yang lain. Mereka juga butuh healing sepertinya ya."
Kompak Jeo dan Clara menggumamkan kesenangannya dengan tangan yang melayang ke udara dan di tarik ke dalam, seperti pemain bola yang berteriak 'YES'.
Clara langsung mengecup pipi Farah, "Makasihh Bun."
Tangan Farah terangkat mengusap puncak kepala Clara, "Sama-sama sayang. Bang, kamu mandi gih. Habis itu kita dinner bareng-bareng yaa. Adek bantuin Bunda prepare, mau?"
Tidak mungkin Clara menolak ajakan ini, dia langsung mengangguk senang dan mengikuti langkah Farah ke dapur. Sedangkan Jeo langsung ke kamarnya untuk mandi.
Setibanya di dapur, Farah langsung memberikan tugas ke Clara. Dan tentunya langsung dikerjakan Clara tanpa ada kata mengeluh.
Ditengah kegiatannya, Farah menoleh. Matanya diam-diam menelisik wajah keponakannya itu. Masih terlihat jelas, ada sisa tangis di wajahnya. Rasanya Farah ingin memborbardir Clara dengan sejuta pertanyaan di otaknya, tapi langsung dia urungkan niatnya. Farah tidak mau membuat Clara merasa tidak nyaman di sisinya. Farah mau, Clara menjadikannya rumah untuk berpulang.
"Bun, ini taruh di mana?"
Lamunan Farah terhenti ketika mendengar Clara mengajukan pertanyaan. Dia buru-buru menormalkan pandangannya.
"Sini sayang," Farah menerima talenan yang baru saja diberikan Clara dan memasukkan beberapa potongan bahan masakan ke dalam panci yang berisikan rebusan air.
Tidak terasa waktu sudah menunjukkan waktu makan malam. Clara dan Farah sudah merampungkan kegiatan masak memasaknya.
"Papah belum balik Bun?" tanya Jeo yang baru menuruni tangga.
"Tadi papah Dika telfon, katanya pulang telat," bukan Farah yang menjawab, melainkan Clara.
Jeo mengangguk dan langsung duduk di salah satu kursi meja makan, "Panggil bang Jiyad gih Je," suruh Clara.
Jeo menoleh, catat hanya menoleh ke Clara tanpa mengatakan apapun. Dan setelahnya tatapannya kembali ke layar ponsel di tangannya.
"Panggil sendiri gih, lagi mager akunya Ra."
Clara berdecak. Tangannya mengudara mau memukul kepala Jeo tapi dia urungkan kembali. Dia lebih memilih melangkahkan kakinya ke kamar Jiyad. Tidak seperti kamar Jeo yang di lantas atas, kamar Jiyad berada di bawah tepatnya disamping tangga.
Tangan Clara mengudara guna mengetuk pintu kamar Jiyad, "Bang, makan yuk. Udah siap semuanya."
"Bentar Dek," sahut Jiad dari dalam kamar.
"Ara izin masuk ya Bang?"
"Iya masuk aja," mendapat persetujuan dari sang empu kamar, barulah Clara berani membuka knop pintu dan melangkah masuk ke dalam kamar Jiyad yang bernuansakan anime.
"Ayo makan Bang."
"Bentar, nanggung. Abang lagi buat proposal."
Clara berjalan mendekati meja belajar, penasaran dengan apa yang dikerjakan abangnya.
"Proposal buat apa?"
"Buat magang."
"Abang mau magang di mana memangnya?"
"Hm," Jiyad menoleh menatap Clara sepenuhnya, "Menurut kamu, kalo Abang magang di kantornya mas Varo gimana?"
"Ya ngga gimana-gimana, maksud aku ya yaudah gitu. Bukannya mas Varo juga sempet nawarin ya ke Abang sama bang Kevin?"
Memang benar, baru beberapa minggu yang lalu, Varo sempat menawarkan perihal tempat magang di kantornya kepada dirinya dan juga Kevin. Tapi kemarin dia sempat berfikir keras, terima tawaran ini atau tidak.
"Emang Abang sempet mau nolak?"
Jiyad mengangguk sebagai tanggapannya, "Kenapa ditolak?"
"Ya bukan apa-apa Dek, Abang cuman ngga mau di cap orang dalem. Apa kata orang kalo Abang magang di perusahaan keluarga sendiri coba?"
Clara menghela nafasnya, abangnya yang satu ini selalu perduli dengan omongan sekitar. Berbeda dengan abang-abang dan mas-masnya yang lain.
"Bang Jiiy, listen to me. Kita ngga bisa ngebuat semua orang suka sama kita," Clara mengangkat kedua tangannya, seraya memperagakan apa yang dia katakan, "Kita cuman punya dua tangan. Gunanya tangan ini, buat nutupin telinga kita Bang. Kita ngga bisa bungkam mulut orang-orang yang ngga berpendapat dengan kita. Just keep your ear with your hand," ucap Clara panjang lebar diakhiri dengan senyuman lebarnya.
Jiyad sendiri terenyuh dengan apa yang adiknya katakan. Dia langsung membuka lebar tangannya, "Adek Abang udah dewasa ya. Hug boleh?"
Clara langsung menyambut dengan hangat pelukan Jiyad. Diantara para sepupunya yang lain, Jiyad memang paling dekat dengan Clara. Bukan bermaksud pilih-pilih, Clara dekat dengan semuanya. Tapi masing-masing sepupunya sudah mendapatkan porsi masing-masing di hati Clara. Dia tahu jika kondisinya seperti apa dan apa yang dia butuhkan, maka Clara tidak segan-segan mendatangi sepupunya yang mungkin bisa menenangkannya.
"Hadeh hadeh hadeh, malah peluk-pelukan. Ayo ih makan, aku udah laper," sungi Jeo yang tengah bersedekap di depan pintu kamar.
Clara terkekeh lalu melepaskan pelukannya, "Kamu mau aku peluk? Sini-sini," Clara yang tahu kelemahan Jeo langsung membuka lebar tangannya dan menghampiri sepupunya yang satu itu.
Jeo tipikal orang yang anti pelukan, dia mau berpelukan di saat tertentu saja. Melihat Clara yang mau menghampiri dirinya, Jeo buru-buru pergi dari sana.
Jiyad melihat interaksi kedua adiknya hanya bisa tertawa saja. Setelah menutup laptopnya, Jiyad lantas bangkit dan berjalan keluar kamar mengikuti langkah adiknya.
"Yuk, makan. Papah pulang telat, kita disuruh makan duluan," ucap Farah seraya menuangkan nasi ke dalam piring.
"Clara nginep?" tanya Farah.
Bukannya langsung menjawab, Clara malah menoleh ke Jiyad.
"Kok liat Abang?"
"Tadi jawaban bang Yo iyakan Bang?"
Jiyas menghela nafasnya sejenak, "Iya. Tapi tadi katanya dia mau mampir ke sini."
Gini giliran Clara yang menghela nafasnya. Farah yang mengerti keponakannya, tangannya terulur mengelus punggung tangan Clara yang ada di meja makan.
"Yoovan mau ngecek kamu aja sayang, masa nginep di rumah Bunda ngga boleh? Nanti biar Bunda yang ngomong ya?"
Senyumpun terbit di wajah Clara, "Makasih Bunda."
Makan malampun berlangsung tenang, tidak ada keresahan lagi.
Selesai makan malam, semuanya berkumpul di ruang tengah. Kecuali Jiyyas yang kembali masuk kamar guna mengerjakan tugasnya kembali.
"Assalamu'alaikum."
Sontak semua mata menoleh ke pintu masuk, menatap siapa yang baru saja masuk dan mengucapkan salam.