Melihat siapa yang datang, Clara langsung membuka lebar tangannya. Untungnya Yoovan peka dengan apa yang adiknya lakukan.
"Abang udah makan?" tanya Clara yang masih berada di pelukan abangnya. Yovan masih diam memeluk adiknya, hanya anggukan kepala yang dia berikan.
"Van, makan dulu sana sama Papah," suruh Farah yang langsung dijawab gelengan kepala oleh Yoovan.
"Makasih Bun, tadi sebelum ke sini Yoovan udah makan," pelukan keduanya sudah terlepas, tatapan Yoovan mengarah ke Clara, "Kamu mau nginep Dek beneran?"
Dengan semangat Clara menganggukan kepalanya, "Iya, bolehkan Bang?" Clara sudah memasang wajahnya semelas mungkin dan berharap abangnya mau menuruti apa yang dia katakan.
"Tapi nanti ngerepotin Bunda ngga?"
"Kalo ngerepotin mah udah pasti Bang," jika kalian mengira Farah yang menjawab, kalian salah. Jeo lah yang menyerukan jawaban pedas tersebut.
Bantalan sofa yang tengah dipangkunya, Clara layangakn ke arah Jeo dan tepat sekali mengenai wajah pria itu, "Kamu mah ngga pernah ada di kubu aku Je," sungut Clara kesal dengan sepupunya yang selalu menjadi teman bertengkarnya. Tapi walaupun saling mengejek satu sma lain, keduanya saling menyayangi dengan caranya masing-masing.
Farah datang dari arah dapur dengan membawa sepiring cookies yang baru dia keluarkan dari oven, "Je, coba jangan buat adeknya kesel mulu atuh."
"Tau tuh Bun," merasa dibela Farah, Clara menujulurkan lidahnya ke arah Jeo dan dibalas dengusan oleh sang empu.
"Oh iya Je."
Mendengar namanya dipanggil, Jeo sontak menoleh ke Yoovan, "Apa Bang?"
Yoovan mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sesuatu ke Jeo, "Kamu kemarin katanya lagi nyari ini ini ya?"
Jeo lantas bangkit dan mendekati Yoovan. Matanya terbelalak lebar begitu Abang sepupunya itu menunjukkan sesuatu yang tengah dia cari, "Abang tau dari mana?"
"Dari Kevin."
"Cih, anaknya emberan," dumel Jeo kesal dengan sepupunya yang satu itu.
"Mau ngga?"
Bukannya langsung menjawab iya, Jeo malah menatap Yoovan balik. Dia merasa aneh, pasalnya abangnya yang satu ini tidak pernah mengizinkan Jeo untuk membeli barang semacam rokok elektrik atau biasa disebut dengan POD.
Penasaran dengan perbincangan dua abangnya, Clara lantas mendekat, "Ih ih ih, mau beli pod yaa? Ara ju—"
"Gak ada!" tolak Yoovan dan Jeo berbarengan yang langsung membuat si bungsu memundurkan badannya dengan tangan yang dilipat di d**a, jangan lupakan mulutnya yang langsung merengut kesal.
"Berapaan Bang?" tanya Jeo mulai tertarik. Untungnya bundanya di ruang makan yang tengah menemani papahnya.
"Mau ngga? Pertanyaan Abang cuman itu."
"Ya siapa sih yang ngga mau?"
"Tapi dengan syarat."
Belum juga syaratnya terucap, terdengar salam dari pintu masuk. Tapi terdengar bukan hanya satu orang yang salam, ada beberapa.
"Assalamu'alaikum."
Sontak semua yang ada di ruang keluarga menoleh ke arah pintu masuk.
"Loh, ada Bang Yoo di sini?" suara yang menyapa Yoovan barusan tak lain dan tak bukan adalah Rafa. Dia langsung menghampiri Yoovan dan menyalami abangnya tersebut.
Dan tak lama setelahnya munculah sosok yang selalu membuat Jeo kesal.
"Lah lah lah, lagi pada kumpul ini? Kok gue ngga di ajak?"
Jeo memutar bola matanya jengah dengan penuturan orang itu, siapa lagi jika bukan Kevin.
"Mas Rafa dari mana?" tanya Clara setelah Rafa mendudukan dirinya tepat disamping Clara.
"Dari markas. Sepi, terus kata bunda di sini rame yaudah Mas langsung ke sini sama Kevin."
"Bang Kev juga lagi di markas tadi?" pertanyaan Clara langsung dijawab dengan yang punya nama.
"Gue baru aja mau markirin mobil. Eh Mas Rafa langsung minta anter ke sini."
Clara mengangguk saja, dirinya tengah menikmati makanan yang baru saja Jiyad berikan. Jiyad sendiri begitu mendengar suara yang ramai di ruang keluarga, langsung keluar kamar dengan tangan yang membawa cemilan.
"Loh, sudah pada dateng ini?" tanya Farah yang baru keluar dari ruang makan.
Kevin sontak bangun dan menyalami Farah, "Baru banget duduk Bun."
"Jadi pada mau barbeque-an di sini?"
"Barbeque-an?" beo Jeo dan Clara berbarengan.
"Iya, kamu belum bilang Bang?" tanya Farah seraya menatap anak sulungnya.
Jiyad menunjukkan cengirannya, "Hehe belum Bun."
Clara sontak menegakkan badannya, "Jadi pada mau ke sini?" sangat kentara sekali jika Clara sangat senang mendengar kalau para sepupunya yang lain mau barbeque-an di sini.
"Iya Dek."
"Udah pada beli bahannya?" tanya Yoovan selaku sepupu yang paling tua di sini, sebelum datangnya Varo. Alias bank berjalannya mereka.
Dengan terang-terangan, Kevin langsung mendekati Yoovan, lebih tepatnya melalukan aksi malak.
"Belum Bang. Yuk bisa yuk Bang, jadi donatur," rayu Kevin gemulai.
"Nih Vin, pake kartu Papah aja gih belanja keperluannya."
Dika datang-datang langsung mengulurkan kartu kreditnya. Semua mata yang ada di ruang keluarga membola takjub, "Beneran Pah?" tanya Kevin tak percaya.
"Iya beneran. Nih, sebelum Papah berubah fikiran loh."
Dengan cepat Kevin mengambil kartu yang diberikan Dika. Mereka memang jarang barbeque-an di kediaman papah Dika. Lebih seringnya di markas tentu saja dengan di danai oleh Yoovan dan juga Varo.
"Abanggg, ikutttt..." teriak Clara yang sudah bangun dari duduknya dan langsung mengikuti langkah Kevin.
Yoovan berdecak kesal ketika tahu Clara tidak memakai jaket, padahal udara di luar cukup dingin. Melihat Jeo yang mau ikut pergi, tentunya langsung ditugaskan Yoovan lebih dulu.
"Kamu mau ikut? Ambilin jaket adeknya gih," suruh Yoovan sebelum Jeo pergi.
"Di mana?"
"Di lemari kamar tamu kayaknya ada deh Je," ucap Jiyad. Tapi bukan hanya berucap semata, Jiyad lantas bangun menuju kamar tamu. Dia tahu, jika hanya mengatakan saja pasti Jeo ujung-ujungnya tidak bisa menemukan apa yang di cari.
Begitu dapat jaketnya, Jeo langsung berlari keluar rumah yang sebelumnya sudah berteriak pamitan kepada orang rumah.
"Jiy, lu mendingan ikut deh."
"Iya Bang, kamu ikut aja gih," imbuh Farah menyuruh anak sulungnya untuk ikut serta. Jiyad mengangguk dan bergegas lari keluar rumah.
Jadilah di kediaman Abraham hanya tersisa tiga orang saja.
"Yoo, gimana mimi pipi kabarnya?" tanya Farah membuka pembicaraan.
Sebelum memulai percakapan, Yoovan memilih membuanh nafasnya secara kasar, "Tadi Yoovan sempet balik ke rumah Bun. Yoovan kaget, mereka lagi bicarin tentang perceraian."
Bak dihantam palu yang besar, Farah membelalakkan matanya tak percaya. Pernikahan masnya yang dia lihat adem ayem tanpa ada gangguan, tahu-tahu dikejutkan dengan berita yang seperti ini.
Dika yang paham situasi, langsung merengkuh bahu sang istri, "Lalu bagaimana selanjutnya Yoo?"
"Ya gitu Pah," Yoovan menatap om dan tantenya bergantian, "Udah ngga ada yang bisa dipertahanin. Sekarang tugas Yoovan, bicarain ini baik-baik sama Mahes dan Clara. Kalau Mahes, Yoovan masih bisa atasin Pah Bun. Tapi untuk Clara, Yoovan bingung gimana buat ngasih tahunya."
Yoovan kembali menundukkan kepalanya. Jujur saja, hatinya pilu ketika tahu ini akan terjadi di kehidupannya. Awalnya Yoovan kira, pernikahan kedua orangtuanya masih bisa dibicarakan baik-baik, ternyata tidak.
"Boleh Bunda ikut bantu Yoo buat ngomong ke Claranya?"
Yoovan kembali menatap tantenya yang sudah dia anggap ibu sendiri itu, "Ngga usah Bun. In syaaAllah Yoovan sama Mahes bisa hadepin Clara. Nanti kalo Yoovan butuh bantuan, baru Yoovan bilang."
Merasa keponakannya sedang tidak baik-baik saja, Farah bangun dan duduk disamping Yoovan. Dia menarik bahu Yoovan untuk dibawa ke dalam pelukannya.
"Sebelum adik-adik kamu yang lain datang, kamu luapin aja emosi kamu Yoo. Bunda siap jadi sandaran kamu."
Laki-laki juga bisa menangis, menahan beban keluarga semacam ini bukanlah hal yang mudah. Air mata yang dari tadi ditahan, luntur juga begitu mendapat sandaran. Yoovan hanya manusia biasa, dia juga bisa menangis. Tapi tangisannya tidak pernah dia tunjukkan di hadapan para sepupunya yang lain. Pernah sekali Yoovan menangis dihadapan Mahes yang notabenenya adik kandungnya. Itupun karena masalah pekerjaan yang membuatnya lelah.
Tanpa mengatakan apapun, Farah membiarkan Yoovan meluapkan emosinya. Tangannya ikut memberikan ketenangan dengan mengusap punggung Yoovan.
Farah memang bisa dibilang sangat dekat dengan keponakan-keponakannya. Maka dari itu, Yoovan tidak sungkan sama sekali untuk meluapkan emosinya.
"Bunda tau kamu anak pertama yang orang-orang bilang anak pertama bahunya harus sekuat baja. No Bang, anak pertama juga manusia biasa yang butuh meluapkan emosinya. Jadi jangan merasa kamu gagal jadi anak pertama hanya karena kamu berkeluh kesah ya Bang," ucap Farah sedikit memberikan motivasi.
Yoovan mengangguk. Merasa tenang, dia merenggangkan pelukannya, "Makasih Bun."
Dika datang dari arah dapur dengan membawa segelas air, "Minum dulu Bang."
"Makasih Pah."
Segelas air yang Dika berikan kandas setengahnya. Yoovan merasa lega setelah meluapkan emosinya melalui tangisan.
"Mereka tidur di rumah?" tanya Dika.
Yoovan menggeleng, "Setelah debat sama Yoovan, mereka langsung pergi ngga tau ke mana Pah."
Dika menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa, "Boleh Bunda obrolin sama yang lain Yoo?" tanya Clara meminta izin Yoovan lebih dulu.
"Baiknya jangan dulu ya Pah Bun, Yoovan mau Clara sama Mahes yang tau dulu. Takutnya, pas Yoovan belum obrolin sama mereka, ada yang tiba-tiba nanya ke Mahes atau Clara. Yoovan takut adek-adek Yoovan kecewa sama Yoovan Bun."
"Ya sudah kalau kata kamu seperti itu, Bunda ikuti. Yang penting, kalau kamu sama adek-adek butuh bantuan, jangan sungkan buat hubungin Bunda atau Papah ya?"
Yoovan dengan senang hati menganggukan kepalanya, "Makasih Pah Bun," ucapnya seraya menatap om dan tantenya bergantian.
Yoovan yakin, kedepannya tidak akan mudah. Apalagi ketika nanti dirinya mau membicarakan ini dengan Clara. Adik bungsunya itu sangat sensitif. Tapi mau bagaimana lagi, cepat atau lambat Clara pasti akan tahu. Dan Yoovan tidak mau sampai adiknya mendengar tentang ini dari orang lain.