Perkumpulan Para Pria

1201 Kata
Tepat hari ini, hari ketujuh Clara menginap di rumaj sakit. Dan hari ini juga, Clara akan keluar dari sana. Tentunya harus dengan seizin dokter yang menanganinya. "Jam berapa dokter visit Hes?" tanya Varo yang tengah menunggu Clara di depan kamar mandi, sedangkan Mahes sedang membereskan pakaian adiknya. "Jam sepuluh kayaknya," Mahes mendongak menatap jam dinding, masih dua jam lagi fikirnya. "Mas," mendengar suara teriakan Clara, Varo sigap membuka pintu kamar mandi, "Kuat jalan?" tanyanya. "Kuat," sejujurnya Varo sebenarnya tidak memperbolehkan Clara pulang hari ini. Wajah Clara bisa dibilang masih lemas, bahkan tubuhnya saja tidak bisa berdiri lama. Dengan terpaksa, Varo menggendong tubuh Clara menuju brankar, "Kamu lanjut opname aja ya?" pinta Varo dengan lembut. Permintaan Varo langsung dijawab gelengan kepala oleh Clara, "Rawat jalan aja, please?" pintanya dengan memasang wajah melasnya. Varo lemah jika sudah seperti ini, "Si Yoovan udah di mana Hes?" "Udah di parkiran katanya Mas," jawab Mahes setelah sebelumnya melihat pesan balasan dari abangnya. "Bang Kevin sama Jeo lama banget beli dimsumnya," gerutu Clara. Tangannya terangkat mengelus puncak kepala sang adik, "Sabar ya cantik. Dikit lagi kayaknya, naik motornya Jeo kok bukan naik mobil." Clara mengangguk saja. Mulutnya sudah tidak tahan mau memakan makanan kesukaannya. "Assalamu'alaikum," mendengar suara salam yang dia rindukan, Clara langsung berteriak sekaligus merentangkan tangannya. Dengan senang hati, orang yang memberi salam tadi menghampiri Clara dan menyambut pelukan adiknya. "Masih lemes?" tanya Yoovan setelah pelukannya terurai. Clara menggeleng, "Alhamdulillah udah mendingan Mas." Yoovan memperlihatkan plastik yang dia bawa, bukan mau memperlihatkan plastiknya tapi memperlihatkan isinya yang dia beli. "Dimsum?" tanya Clara dengan senyum yang pastinya merekah. Yoovan mengangguk, tangannya membukakan bungkusan yang dia beli. Dengan manjanya, Clara meminta disuapkan abangnya itu. Tentunya Yoovan akan melakukan apa yang adiknya pinta. "Atuh Bang si Jeo sama Kevin lagi beli dimsum juga atas permintaan tuan putri." "Loh, iya kah?" Clara mengangguk, "Iya. Tadinya aku mau pesen via online, eh Mas Varo malah nyuruh mereka berdua." "Tapi Bang," Clara meminta satu dimsum lagi ke dalam mulutnya, "Ab-ang ta-khu dar-i—" belum juga dia selesai berbicara, tangan Yoovan sudah lebih dulu menghentikan perkataannya. Yoovan mengelap sisa makanan yang keluar dari mulutnya, "Dikunyah dulu pelan-pelan baru ngomong Dek," yang ditegur hanya membalas dengan cengirannya. Setelah menelan dimsum yang tadi dia kunyah, barulah Clara kembali berbicara, "Abang tau dari mana kalo aku lagi mau dimsum?" "Ngga ada, mungkin ikatan batin aja," jawab Yoovan asal. Memang benar, tidak ada yang memberi tahunya mengenai dimsum. Hanya saja, tadi ketika melewati penjual dimsum, yang teringat adalah wajah adiknya. Yoovan yang memang tipikal pria sayang adik, langsung membelikan dimsumnya. "Ck, Abang sih yang rese! Udah tahu ngga boleh parkir di situ, kan jadinya motor aku yang disita ish!" Suara yang sangat mereka kenali, padahal orang yang memiliki suara belum terlihat batang hidungnya. "Ya lo yang salah, kenapa jadi nyalahin gue? Kan udah gue bilang, Je motor lo gede jangan di situ." "Tapi jelas-jelas Abang maksa!" "Mau lu yang maju atau gue Yo?" tanya Varo seraya menatap Yoovan, dia paling malas jika mendengar perdebatan dua anak curut itu. Telinganya terasa panas. Mahes yang paham situasi, langsung melangkah maju, "Biar gue aja Bang Mas," ucap Mahes seraya melangkah keluar ruangan. Seperti mereka berdua tidak sadar kalau pintu ruang rawat inap Clara terbuka, jadi bisa mendengar suara debatan keduanya. Masalahnya kalau Yoovan atau Varo yang maju, malah mereka berdua tidak bisa mengungkapkan masalah yang terjadi. Dan malah terdiam seribu bahasa. **** "Hei hei hei, kenapa ini pada berantem sih?" Mahes berjalan ke arah mereka, untungnya lorong rumah sakit tempat di mana ruangan Clara berada sepi pengunjung, ya wajar saja ruangan Clara VVIP. Jeo menunjuk Kevin yang diam diseberangnya, "Gara-gara dia Mas. Motor aku disita polisi, mana pajaknya mati lagi," kesal Jeo yang hampir saja menangis. Kevin yang tadinya kesal disudutkan, tapi begitu melihat tampang adiknya yang mau menangis sontak terkekeh, "Lu nangis Yo? Astaga, inget umur anjir. Udah dua puluh umur lu, masa gini aja nangis?" Jeo tetaplah Jeo yang memiliki hati lembut. Orang-orang di luar memang tahunya Jeo yang kuat, Jeo yang tahan banting. Tapi dibalik itu semua, Jeo hanya pria lemah yang akan menunjukkan sisi lemahnya hanya kepada para sepupunya. "Sini lu berdua," Mahes menepuk sisi kanan dan kirinya. Keduanya yang paham langsung duduk. "Liat ke arah kamar si Adek," sontak mereka bertiga menoleh kearah kamar Clara. Dan betapa kagetnya mereka ketika baru sadar kalau pintu kamar Clara tidak tertutup rapat. Yang mana pastinya akan mendengar pertengkaran mereka. "Yaudah sih, kan ada lo doang Mas sama mas Varo," ucap Kevin santai, seakan tidak ada beban. "Mangkannya masuk ruangan dulu, baru tau siapa yang ada di dalemnya." "Emang ada siapa Mas?" "Bang Yo udah dateng." Mahes bisa merasakan kalau tubuh mereka berdua menegang di tempat, "Tadinya mau salah satu dari mereka yang nyamperin kalian. Tapi gue langsung maju," Mahes memilih menyadarkan badannya ke belakang, tepatnya ke tembok. "Sok, masalah apa yang buat lu berdua berantem. Gue mau minta versi Kevin dulu, jelasin Vin." Kevin mengangguk, "Tadi gue sama Jeo kan muter-muter nyari dimsum buat si adek. Ya lo bayangin aja Mas, jam seginikan jarang yang jual dimsum. Nah, pas banget ada. Gue parkirlah tuh motor di pinggir jalan—" "Abang langsung tinggalin aja motornya, kan ada polisi!" Mahes memijat pelipisnya yang mendadak pusing, "Jeo, kamu belum Mas suruh angkat bicara loh." "Iya maaf." "Lanjut Vin." Kevin melanjutkan penjelasannya, "Gue emang ngga tau kalo di daerah situ emang ada razia masal Mas. Dengan santainya gue sama Jeo ngga pake helm. Nah pas si Jeo markirin itu motor, ternyata dari jauh udah ada polisi yang merhatiin kita. Dan pas lah, waktunya. Pas gue balik sama Jeo, motornya udah ditungguin sama dua polisi. Terus dapet ini," Kevin sedikit mengangkat bokongnya untuk mengambil sesuatu di saku celananya dan dia berikan ke Mahes. "Surat tilang?" Baik Jeo ataupun Kevin mengangguk, "Terus kalo dari sisi kamu Je?" "Kurang lebih sama kayak Bang Kevin Mas." "Ya terus kalo sama, kenapa kalian debat?" Jeo sama sekali tidak berani mendongakan kepalanya. Walaupun disampingnya hanya Mahes, bukan Yoovan ataupun Varo. "Motor aku pajaknya mati Mas." "Ya kenapa ngga dibayarin? Kan dapet uang bulanan dari mas-mas sama abang?" Jeo diam, dia tidak bisa menjawab. Memang benar, baik Jeo ataupun Clara mendapatkan uang bulanan dari masing-masing sepupunya. Tapi sudah dijatah, perorang berapa. Tidak boleh lebih, takut mereka boros dan tidak bisa me-manage uang. Kalau Kevin, dia sudah punya penghasilan sendiri walaupun tak tentu, tapi kalau ada pekerjaan uangnya tidak main-main. "Yaudah, Jeo besok ke kantor polisi sama gue. Kita urus motor lu ya." "Jangan," sontak tiga kepala itu mendongakkan, mencari sumber suara. "Jangan ditemenin Hes." "Mas tapi kan—" "Kamu harus dewasa Jeo. Jangan sedikit-sedikit Mas atau abang kamu yang lain. Mas denger semuanya, ini salah kalian berduakan?" Baik Kevin dan Jeo mengangguk, "Yaudah besok urus berdua. Jangan bawa-bawa orang lain. Kevin, besok temenin adeknya ke kantor polisi. Besok kalau butuh biaya lebih buat memperpanjang pajaknya, telfon Mas aja. Mas transfer uangnya, tapi dengan syarat." Kepala Jeo langsung terangkat ketika mendengar kata 'SYARAT'. "Apa Mas?" "Uang bulanan kamu yang dari Mas ngga ada," tegas Varo tidak mau menerima bantahan. Kedua bahu Jeo lunglai, padahal uang bulanan dari Varo bisa dikatakan lebih besar dari mas-mas dan abang-abangnya yang lain. "Ini pada kenapa kok di luar kamar?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN