Seperti ritual biasanya di pagi hari, keluarga Abraham pasti sarapan pagi bersama. Hal yang tidak akan mereka lewati.
"Adek kok belum hadir?" tanya Farah menatap keponakannya satu persatu.
Jiyad yang tengah menyendok nasi menoleh ke bundanya, "Tadi aku denger masih beres-beres kayaknya di kamar Bun."
"Kamu semalam jadi ambilin perlengkapannya adek Bang?" tanya Dika menatap putra sulungnya.
Jiyad mengangguk, "Jadi Pah. Ditemein Kevin semalem."
"Lah, bang Kevinnya mana?" Jeo ikut membuka mulutnya dengan pertanyaan.
"Semalem dia milih tidur di markas aja. Udah capek banget katanya."
"Cih, pengangguran aja sok capek," cicit Jeo yang nyatanya masih bisa didengar bundanya.
"Adek, kok ngomongnya gitu?" jangan salah, Jeo jika di keluarganya memang kerap dipanggil dengan sebutan adek. Farahlah yang biasanya memanggil.
Yang ditegur menyengir dengan deretan giginya, "Hehe maaf Bunda."
"Panggil adeknya gih Je," suruh Adit yang langsung dituruti Jeo.
Baru saja kaki Jeo mau melangkah menaiki tangga, pintu kamar atas sudah terdengar terbuka. Yang mana bersumber dari kamar si bungsi Wiratama.
"Baru aku mau samper kamu Ra," ucap Jeo yang kembali lagi ke meja makan.
"Aku nyari kaus kaki. Semalem tuh bang Kevin aku pesenin suruh ambil kaus kaki di lemari."
Jeo menatap penampilan adiknya pagi ini, "Tumben banget pake kaos kaki?"
"Ya aku kan pakai sneaker? Wajar dong aku pakai kaus kaki," Clara sedikit menaikan intonasinya. Dia sudah lelah mencari kaus kakinya, lalu ditanggapi dengan pertanyaan yang membuatnya jengkel.
Melihat anak-anak bertengkar ringan di pagi hari, yang Farah lakukan hanya geleng-geleng saja. Lelah dia menegur keduanya.
"Udah berantemnya?" tanya Farah menatap kedua anaknya bergantian.
"Jeo Bun ngeselin pagi-pagi."
"Adek hup, sarapan dulu ya? Nanti di lanjut lagi marahnya, oke?" sebagai kepala keluarga, memang sudah menjadi tugas Dika menengahkan. Dia paham istrinya sudah angkat tangan menghadapi dua bungsu itu.
Clara menuruti perkataan pamannya dan langsung mengambil nasi beserta lauknya. Menyadari ada yang tidak ada, sontak Clara menatap bundanya, "Mas Varo ke mana Bun?"
"Pulang semalem."
Bukan hanya Clara yang kaget, Jeo juga ikut mendongakan kepalanya, "Katanya mau anterin kita ke kampus?" tanya Jeo bingung.
"Iya, tadi habis subuh mas Varo udah pesan ke Bunda. Kalian disuruh nunggu sebentar. Dia juga udah jalan dari habis subuh."
"Udah kamu pisahin sarapan buat Varo Bun?" tanya Dika tanpa membedakan keponakannya.
Farah mengangguk setelah mengunyah barulah dia menatap suaminya, "Sudah Mas."
Dika mengangguk dan kembali melanjutkan sarapannya.
Selesai sarapan, Clara tidak langsung beranjak. Dia menatap bundanya yang tengah membereskan piring sehabis makan, "Bun," panggilnya yang langsung ditanggapi dehaman oleh Farah.
Ketika mulutnya mau menyampaikan sesuatu, tiba-tiba saja dia urungkan kembali, "Eh ngga jadi deh Bun."
"Adek nih ya, kebiasa deh. Tuh liat, Bunda udah penasaran sama apa yang mau kamu sampein," sebenarnya Jiyad juga penasaran debgan apa yang mau adiknya katakan.
"Tau nih," ujar Jeo yang ikut memojokkan Clara.
"Ih, kamu tuh ngga diajak. Jadi jangan ikutan, okeii?"
Jeo jangan ditanya bagaimana reaksinya ketika ketusan itu bersumber dari Clara.
"Kenapa sayang? Mau ngomong apa, hm?" tanya Farah penuh kelembutan.
"Nanti malem, Ara boleh nginep di sini lagi ngga?"
Sepertinya di saat seperti ini, peran Dika sebagai kepala keluarga di rumah ini dibutuhkan. Maka dari itu, dia berdeham sejenak sebagai responnya.
"Dek Ara," panggil Dika lembut.
"Iya Pah?"
"Sudah berapa kali Papah bilang, anggap ini rumah kamu juga ya. Jangan pernah sungkan, kamu mau tidur di sini selamanya juga Papah ngga keberatan sama sekali. Jadi, jangan pernah nanya kayak gitu lagi ya sayang?"
Sebenarnya Clara sangat malas jika harus mengeluarkan air mata pagi-pagi. Tapi mendengar apa yang pamannya katakan, membuat hati Clara tersentuh. Dia merasa peran pipinya kembali. Peran yang sudah lama hilang dihidup Clara. Tapi tidak mau dikatai cengeng oleh Jeo, dia buru-buru menghapus buliran air mata yang baru saja mau turun dari pelupuk matanya.
Ya betul hilang peram pipinya. Clara sudah tidak perduli dengan kedua orangtuanya. Katakanlah dirinya egois, tapi yang lebih egois ya orangtuanya. Dikira Clara tidak tahu menahu tentang mimi dan pipinya? Clara tahu, bahkan tanpa diberi tahukan oleh abang dan masnya.
Clara hanya menantikan kapan waktunya mas dan abangnya mau membicarakan masalah yang amat sensitif ini.
Ketika terdengar suara mobil yang tidak asing masuk ke pelataran rumah, lamunan Clara buyar.
"Bentar, Bunda ambilin bekal mas Varo dulu ya," Farah segera bangkit menuju dapur. Dia tahu, keponakannya itu tidak mau sarapan jika waktunya sudah mepet. Apalagi harus mengantar Jeo dan Clara.
"Assalamu'alaikum," salam Varo lalu menghampiri pamannya dan menyaliminya.
Lalu matanya menatap dua adiknya yang tengah menunggu dirinya, "Udah pada siap?"
"Udah Mas," jawab Clara, dia berpamitan kembali ke kamarnya dulu untuk mengambil laptop dan perlengkapannya yang lain.
"Mas, nih Bunda buatkan sarapan," Farah menyerahkan kotak bekal yang sudah dia siapkan.
"Ah Bunda nih, repot-repot segala. Padahal Mas mau minta langsung kalau belum dibuatkan," gurau Varo yang sudah tahu kebiasan pagi di rumah ini.
"Alah kamu Mas, basa-basi yang basi."
Jangan heran, jokes antara Dika dan Varo memang sebelas dua belas. Apalagi jika keduanya sudah mengobrol serius mengenai pasar saham. Tidak ada yang akan paham selain mereka berdua. Istilah yang lagi trend se-frekuensi.
"Kamu ngga ambil tas Je?" tanya Varo menatap Jeo yang masih asik dengan ponselnya.
"Tas aku udah di ruang tamu."
Varo mengangguk, "Mau ikut bareng Jiy?" tanyanya lagi yang kini berganti menatap sepupunya yang satu.
Jiyad menghaniskan susunya dulu, baru merespon pertanyaan Varo, "Makasih Mas. Tapi gue dijemput orang."
"Oh oke."
"Ayoooo..." teriak Clara dengan peralatan yang sudah dia bawa ditangannya.
Jeo yang posisinya sudah bangun dari duduknya, begitu melihat Clara yang kesusahan membawa tas laptop, dengan sigap dia membantu mengambil alih laptop yang Clara pegang.
Begitu siap, mereka bertiga langsung berpamitan.
"Bun," panggil Jiyad yang masih setia duduk di meja makan, belum ada niatan untuk beranjak lebih tepatnya.
"Apa Bang?"
"Bunda ngerasa ada something ngga sih?"
"Something apa? Ngga ah," elah Farah tidak mau menunjukkan raut terkejutnya. Sepertinya anak sulungnya ini belum tahu apa yang terjadi.
"Dari awal adek duduk di meja makan, aku tuh merhatiin tau Bun," dengan gigih Jiyad terus menyampaikan apa yang dia lihat.
"Perasaan kamu aja kali Bang," kini giliran Dika yang angkat bicara. Sedangkan Farah di saja, bingung harus bagaimana. Pasalnya dia tidak bisa berbohong dengan anak-anaknya.
"Bun, anterin Papah yuk ke depan?" pinta Dika sengaja mengalihkan perhatian sang istri.
"E-eh yuk Pah," Farah lantas bangkit dari duduknya membiarkan Jiyad yang masih diam ditempat dengan kepalanya yang penuh pertanyaan.
"Aneh, adek kayak aneh menurut gue," gumamnya entah pada siapa.
Jiyad merasa feeling-nya tidak akan pernah salah. Sepertinya dia memang harus mencari tahu sendiri. Tidak sendiri sebenarnya, ada partnernya dalam memecahkan misi ini. Ponselnya langsung dia aktifkan untuk menghubungi seseorang yang dia tunggu.
"Halo, udah berangkat Vin? Gece ah, lama banget lo."