Bab 13 - Ta'aruf di Terima

1831 Kata
Bab 13 - Ta'aruf di Terima Menunggu adalah hal yang paling membosankan. Apalagi menunggu kabar dari seseorang yang sangat di nanti. Ternyata proses ta'aruf seperti ini rasanya. Tanpa mengenal yang namanya pacaran. Enggak boleh sering ketemu, enggak boleh saling menatap, enggak boleh saling bersentuhan, hanya boleh berkomunikasi melalui bertukar pesan. Itupun Habibah hanya menjawab seperlunya. Bagus memang ia bersikap seperti itu, karena Habibah sangat menjaga dirinya. Rasanya sudah tidak sabar ingin mendapatkan kabar gembira dari Habibah. Hari ini adalah hari ke empat, Hafidz menjalankan proses ta'aruf bersama Habibah. Inginnya Hafidz terus berkomunikasi dengan Habibah. Ingin telepon dan mendengarkan suara Habibah, tapi itu tidak boleh. Katanya takut mengundang syahwat. Hmm.. Harus benar-benar sabar. Habibah pasti juga tidak mau kalau Hafidz mengajaknya teleponan. Dia bukan tipe perempuan yang mau di ajak ngobrol panjang lebar via telepon. Hafidz kembali fokus pada pekerjaannya. Ia terus bertahan dengan perusahaan yang ia jalani sekarang. Hafidz yakin Allah akan menolongnya, jika ia terus bersungguh-sungguh dan terus berdo'a. Berharap perusahaannya bisa berjaya kembali. Setidaknya ada satu investor yang mau menanamkan modal di perusahaan, tempat dimana Hafidz mulai mengadu nasib di Jakarta. ************ Ayo!" Ajak Hafidz. Habibah sempat diam sejenak. Nampaknya ia sedang berpikir keras, antara ikut apa tidak. Namun, Habibah masuk ke dalam mobil. Ternyata ia mau juga di antar oleh Hafidz. Hafidz langsung mengemudikan mobilnya menuju rumah Habibah. "Kok kamu naik bus? Kenapa enggak naik mobil?" Tanya Hafidz memulai percakapannya di dalam mobil. "Aku enggak begitu suka menyetir sendiri. Lagian naik bus juga hanya tiga puluh menit sampai rumah," sahut Habibah. Hafidz manggut-manggut mengerti. "Lalu kenapa kamu nunggu di halte bus. Kalau kamu naik mobil?" Nah loh, Hafidz bingung mau jawab apa. Masa iya, Hafidz harus mengaku kalau ia menunggu Habibah di depan kantornya? "Aku kebetulan lewat, pas aku lihat ada kamu di halte bus sendirian. Untungnya aku turun, kalau tidak mungkin kamu akan terjebak hujan." "Terimakasih ya," ucap Habibah tulus. "Sama-sama." Setelah itu mereka saling terdiam. Hafidz bingung harus memulai topik pembicaraan apa. Karena memang Habibah sepetinya tipe yang menjawab pertanyaan seseorang hanya seperlunya saja. Tidak suka bercanda dan bicara ngalor ngidul. Tidak lama Hafidz berhenti di depan rumah Habibah. "Kamu tahu rumah aku?" Tanya Habibah. "Iya, hehehe dulu kan aku pernah antar kamu pakai payung. Aku sempat tanya tentangga. Jadi aku tahu rumah kamu," jawab Hafidz jujur. Semoga saja Habibah tidak risih dengan tindakan yang ia lakukan. "Oh, ya sudah. Terimakasih, aku masuk dulu ya," pamit Habibah. "Habibah ajak teman kamu masuk dulu ini hujan loh!" Ucap umi Abidah. Ternyata ia sedang ada di depan rumah. Sepertinya ia baru saja dari luar rumah, soalnya memakai payung. Akhirnya dengan bujukan umi Abidah, Hafidz turun dan masuk ke dalam rumah Habibah. Umi Abidah memberikan handuk kecil pada Hafidz. Karena tadi ia sempat menerobos hujan. Bajunya jadi sedikit basah. "Kamu temanya Habibah?" Tanya umi Abidah tanpa basa basi. "Betul umi, maaf saya antarkan Habibah. Karena di luar sedang hujan. Kasihan kalau Habibah harus nunggu bus di halte. Jadi saya antarkan," jelas Hafidz. "Tidak apa-apa. Terimakasih ya, nak. Nama kamu siapa?" Tanya umi Abidah lagi. Saking groginya di introgasi oleh ibunya Habibah. Sampai lupa memperkenalkan diri. "Nama saya Muhammad Hafidz, umi. Bisa di panggil Hafidz." Ia memperkenalkan diri. "Kalau kamu suka pada Habibah. Sebaiknya langsung melakukan Ta'aruf. Tidak baik mendekati anak gadis terlalu lama. Untuk menghindari fitnah juga bukan," pinta umi Abidah. Ternyata umi Abidah ini sangat tegas. Ia sangat menjaga anaknya sekali. Bukan masalah tegasnya, tapi karena dulu Habibah pernah keceplosan menyebut nama Hafidz jadi umi Abidah langsung meminta Hafidz untuk segera melakukan ta'aruf. Karena itu yang di benarkam oleh agamanya. Umi Abidah juga tidak setuju dengan yang namanya pacaran. Kalau memang dengan sesi ta'aruf mereka saling cocok. Umi Abidah akan meminta Hafidz untuk mengkhitbah Habibah, saat Abi Arifin nanti pulang dari luar kota. "Baiklah umi, saya akan melakukan ta'aruf seperti yang umi minta," ucap Hafidz lantang. Tidak ada yang perlu di ragukan lagi. Karena memang Hafidz ingin memiliki Habibah. Hafidz masih ingat betul percakapannya dengan umi Abdiah. Tanpa basa basi Hafidz di suruh langsung ta'aruf dengan Habibah. Rasanya senang bercampur terharu. Karena Hafidz pertama kalinya bertemu dengan umi Abidah hari itu. Ponsel Hafidz bergetar. Tanda pesan masuk. Nama Habibah muncul di ponselnya. Tumben Habibah mengirimkan pesan terlebih dahulu. Biasanya Hafidz duluan yang kirim pesan. Isi pesan dari Habibah : Assalamualaikum, Sabtu ini kamu bisa ke rumah aku? Anggap saja saya menerima ta'aruf kamu. Pada hari Sabtu nanti, coba kamu khutbah aku di depan Abi. Aku tunggu kedatangan kamu. "Menerima ta'aruf kamu?" Ulang Hafidz membaca pesan yang di kirimkan oleh Habibah. Hafidz sangat senang, ingin sekali ia berteriak bahwa ia bahagia. Namun, tidak mungkin ia lakukan. Meskipun Hafidz adalah pemilik perusahaan. Teriak di kantor bukan tempat yang pas. Kalau ada bahasa menerima itu berarti, Hafidz akan melalui proses berikutnya. Yaitu mengkhitbah Habibah. Kali ini akan datang sendirian dulu. Kalau memang proses mengkhitbah ini berhasil. Hafidz baru akan mempertemukan orang tuanya dengan keluarga Habibah. Semoga saja semuanya di lancarkan. Hafidz tidak sabar menunggu hari Sabtu, tapi Hafidz juga deg degan, kira-kira Abi Arifin itu seperti apa? Lalu apakah ia akan merima khitbah Hafidz untuk anaknya? Pertanyaan itu terus berputar di otak Hafidz. ************* Habibah tersenyum usai mengirimkan pesan pada Hafidz. Lega rasanya setelah menerima ta'aruf dari Hafidz sepertinya lelaki itu lelaki baik-baik. Habibah tidak mengharapkan calon suaminya seorang ustadz atau seorang yang ahli dalam agama. Setidaknya cukup hanya mencintai Allah. Seperti dirinya yang sedang mencintai Allah. Habibah juga sebetulnya belum pantas di panggil ustadzah karena ilmunya dalam agama juga belum sehebat ustadzah sesungguhnya. Habibah masih belajar, ia hanya menyampaikan ilmu yang sudah di dapat meskipun hanya sedikit. Ia ingin seperti matahari, tidak mau seperti bintang. Karena bintang memiliki cahayanya untuk sendiri. Dan matahari memberikan cahaya ada seluruh dunia. Jadi Habibah tidak mau ilmunyang ia dapat hanya untuk dirinya sendiri. Ia harus membaginya, agar sama-sama belajar untuk memantaskan diri di hadapan Allah. Ibu-ibu di masjid Jami Al-Falah selalu menyebutnya Ustadzah muda. Padahal sudah berapa kali, Habibah bilang panggil saja dengan sebutan namanya. Tetap saja ibu-ibu memanggilnya ustadzah muda. Ya sudah, itu maunya mereka, Habibah tidak bisa melarangnya lagi. Yang peting bukan Habibah sendiri yang meminta karena Habibah tidak haus akan popularitas. Karena hidup dalam kepopuleran juga akan di pertanggung jawabkan. Lusa Abi Arifin akan pulang, karena hari ini hari Kamis. Umi Abidah sudah bilang ada Abi Arifin tentang ta'aruf Habibah dengan Hafidz. Umi Abidah sepertinya mengharapkan sekali, Abi Arifin menyetujui Hafidz sebagai calon suaminya Habibah. Saat pertemuan hari itu dengan Hafidz umi Abdiah sangat bersemangat menyambut kedatangan Hafidz. Berhubung dulu Habibah pernah keceplosan meyebut nama Hafidz jadi umi Abidah terus mengorek informasi tentang Hafidz. Mungkin Hafidz adalah jawaban di setiap do'a umi Abidah. Agar Habibah segera mendapatkan calon suaminya. Umi Abidah malah sudh bilang ia setuju kalau Hafidz jadi calon suaminya Habibah. "Umi tahu, Hafidz itu bukan ahli agama atau ustadz. Namun, umi yakin dia bisa mengayomi kamu, membimbing kamu. Kalau Abi ngasih syarat seperti dia kasih syarat ke Yusuf. Umi yakin dia bisa memenuhinya. Inssya Allah pilihan umi sudah mantap pada Hafidz. Kalau sampai Abi tidak setuju, umi yang akan bujuk Abi. Kamu juga suka kan sama Hafidz?" Oceh umi Abidah waktu itu, saat Hafidz pulang meninggalkan rumahnya. "Belum bisa di bilang suka umi, Habibah saja baru bertemu dua kali dengan Hafidz jadi belum tahu betul tentang Hafidz, tapi yang jelas dia itu lelaki baik-baik. Inssya Allah." Entah ada angin apa Habibah berbicara seperti itu. Padahal awal mula pertemuannya dengan Hafidz ia sebal dan hampir marah karena di goda Hafidz. Hafidz kelepasan menayakan Habibah sudah nikah apa belum. Sebetulnya pertanyaan itu wajar. Itu menandakan Hafidz ingin tahu, apakah Habibah ini istri orang apa bukan. Kalau sudah jadi istri orang lain. Tentunya Hafidz akan mundur teratur. Kalau belum ia akan mencoba memantaskan diri untuk jadi pendamping hidup Habibah. "Ya sudah selama satu Minggu ini kamu jalankan saja proses ta'aruf nya. Kalian harus saling mengenal satu sama lain. Jangan ada yang di tutup-tutupi. Saling terbuka, agar tidak ada yang disesali di kemudian hari. Hafidz orangnya sangat sopan, katanya dia asli dari Yogyakarta. Hafidz merantau ke Jakarta. Untuk mengadu nasib di Jakarta. Ayah ibunya ada di Yogyakarta," cerita umi Abidah sangat bersemangat. Loh ini yang lebih tahunya malah umi Abidah bukan Habibah. Yang mau ta'arufannya itu kan Habibah. Hehehe. Tidak apa-apa, calon mertua juga perlu tahu calon menantunya seperti apa. Hafidz menurut umi Abidah sudah cukup mampan. Bukan soal materi saja. Ia juga sudah pas untuk menikah di usianya. Terlihat dari tutur bicaranya, Hafidz anak yang sabar. Semoga saja pilihan umi Abidah tepat. Karena ia mau Habibah bahagia bersama suaminya nanti. "Iya, umi," sahut Habibah singkat. "Jadi itu yang namanya Hafidz. Kamu pernah keceplosan loh bilang nama Hafidz," goda umi Abdiah lagi. "Ummmiiiiii," rengek Habibah. Waktu itu kan Habibah benar-benar keceplosan. Gara-gara sedang memikirkan Hafidz, tapi memang baru Hafidz ini dengan sabar menantikan Habibah. Biasnya lelaki lain langsung datang ke rumah. Mengkhitbah Habibah di hadapan Abi Arifin. Kalau Hafidz perlahan ia mendekati Habibah secara halus. Ya, memang benar kata umi Abidah. Hafidz sanga sopan. Ketika ia satu payung dengan Habibah, Hafidz rela pundaknya sedikit kebasahan demi menjaga jarak dengan Habibah. Karena Hafidz tahu, Habibah sedikit risih kalau harus sangat berdekatan. Apalagi mereka berdua bukan muhrimnya. Habibah tahu dari Afifah, kalau Hafidz sering datang ke masjid untuk bertemu dengan Habibah. Namun, Afifah selalu menyangkal dan menghindar kalau di tanya soal Habibah. Tadinya Afifah takut Hafidz ini orang jahat. Afifah takut kalau sampai Hafidz melakukan hal yang tidak-tidak pada Habibah. Selama Habibah sakit, sebetulnya bukan tiap Minggu saja. Hampir tiap hari sholat Dzuhur di mesjid Jami Al-Falah. Setelah sholat, Hafidz duduk di depan masjid seakan menunggu seseorang yang datang. Hafidz hanya sejam di sana jika hari-hari bisa. Ia pergi lagi setelah menunggu satu jam. Mungkin untuk berangakat kerja. Kalau hari Sabtu atau Minggu Hafidz bisa seharian. Bahkan pernah sampai Maghrib dia berada di masjid. Afifah tahu hal itu dari marbot masjid yang selalu ada di masjid. Hafidz sangat bersungguh-sungguh ingin bertemu lagi dengan Habibah. Makanya ketika umi Abidah menyuruh Hafidz ta'aruf. Ada perasaan senang yang tidak bisa Habibah artikan. Bahkan aneh, saat ia mengirimkan pesan untuk Hafidz. Agar ia datang untuk bertemu dengan Abi Arifin lusa nanti. Hatinya sangat berdebar, ini sudah tidak benar. Hafidz harus segera mengkhitbah Habibah. Agar tidak menjadi zinah yang tidak di sengaja. Semoga saja Hafidz bisa memenuhi syarat dari Abi Arifin. Seperti Yusuf yang sungguh pada Hanifah. Kaka iparnya satu ini bukan ustadz, bukan juga ulama. Namun, Yusuf berhasil memenuhi syarat yang di minta Abi Arifin. Sebetulnya syarat yang di berikan abi Arifin ini hanya hafalan. Ia hanya ingin menguji kesabaran sang menantu. Kalau bisa melalui semua itu dengan sabar. Abi Arifin yakin, menantunya akan dengan sabar hidup bersama anak perempuannya. Selain latar belakang dan pekerjaannya. Abi Arifin juga ingin setidaknya menantunya bisa mengaji dan menghafal beberapa surah di Al-Qur'an. Karena agama itu harus menjadi pondasi yang sangat kokoh. Agar bisa menyelamatkan diri dari kerasnya kehidupan dunia. Dan bisa selamat juga di akhirat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN