Bismillahirrahmanirrahiim
Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad
Nita terbaring lemah di ruangan yang dulu menjadi kamarnya selama di panti. Usai diperiksa oleh dokter yang ditelepon oleh Renata, kini di kamar itu hanya ada Nita, Renata dan Bu Dina. Nita belum juga siuman. Dokter mengatakan bahwa Nita kelelahan dan banyak pikiran sehingga mempengaruhi kondisi fisiknya. Untung saja kandungannya dalam keadaan baik.
Renata duduk di kursi yang ada di samping tempat tidur Nita, sedangkan Bu Dina hanya berdiri di muka pintu melihat Nita dari jarak beberapa meter. Sejujurnya, Bu Dina merasakan kekhawatiran yang luar biasa saat Renata berteriak bahwa Nita pingsan. Namun, perempuan paruh baya itu masih diselimuti rasa marah dan kecewa meski hati dan nalurinya sebagai seorang ibu berkata untuk memaafkan dan menerima Nita.
Renata paham jika Bu Dina masih merasa gengsi untuk mendekat pada Nita. Renata mencoba untuk mencairkan suasana dan menghancurkan dinding ego yang dibangun ibunya.
“Bu,” panggil Renata pada Bu Dina.
Ekspresi wajah Bu Dina masih datar. Beliau hanya menggerakan bola matanya sebagai isyarat bahwa ia mendengar panggilan Renata.
“Ibu sini dong! Kenapa malah berdiri aja di situ?” tanya Renata.
Bu Dina menyedekapkan tangannya sambil menghela napas. “Nggak apa-apa, Ren.” Beliau masih setia berdiri sambil bersandar di pintu kamar yang terbuka.
Renata mendengus melihat sikap ibunya. Gadis berkacamata itu melangkah mendekati ibunya yang ada di dekat pintu. Renata menyentuh lengan ibunya. Renata ingin membujuk ibunya itu agar mau memaafkan Nita dan mencegahnya agar tidak pergi dari kota ini. Renata yakin, di dalam lubuk hati terdalam ibunya, beliau pasti masih menyayangi dan mengasihi Nita sebagai anaknya.
“Bu, ibu maafin Mbak Nita dong. Kasihan tuh Mbak Nita,” bujuk Renata.
Bu Dina menatap wajah anak gadisnya itu lalu berkata, “Ibu gak tahu, Ren. Ibu udah kecewa banget sama Nita.”
“Bu, setiap manusia kan pasti pernah punya salah dan dosa.”
Bu Dina membenarkan ucapan Renata dalam hati.
“Bu, Mbak Nita gak punya siapa-siapa selain kita. Apa ibu tega lihat Mbak Nita hidup sendirian, sebatang kara di luar kota? Nanti ibu gak bisa ketemu cucu ibu, lho.” Renata berusaha menyentuh sisi keibuan Bu Dina. Ia berharap perempuan paruh baya yang telah membesarkannya itu melunak hatinya dan membukakan pintu maaf untuk Nita.
Bu Dina masih membisu, mengunci rapat bibirnya.
“Bu, manusia itu pasti pernah berbuat salah dan dosa. Yang membedakan manusia baik atau tidak adalah usai ia melakukan dosa itu. Apakah setelah manusia itu berbuat dosa ia bertobat dan memohon ampun kepada Allah seperti Nabi Adam atau setelah manusia itu berbuat dosa ia tetap melakukan dosa yang lain dan semakin terjerumus dalam jalan yang sesat.”
Bu Dina mencerna setiap ucapan yang terlontar dari bibir anak gadisnya.
“Bu, Rena rasa Mbak Nita masih bisa diarahkan ke jalan yang benar kok. Asal dia mau tinggal di sini sama kita.”
Renata benar. Nita masih punya kesempatan untuk bertobat dan kembali ke jalan yang benar selama ia masih dikelilingi oleh orang-orang dan lingkungan yang baik. Bu Dina rasa, mungkin ini teguran dari Allah karena ia telah lalai mengawasi putrinya pun sekaligus ujian untuknya. Bu Dina rasa mungkin inilah saatnya bagi beliau untuk menuntun Nita kembali ke jalan yang benar di sisa usianya ini. Dunia ini adalah tempat ujian untuk hamba-hamba-Nya bukan?
Renata melihat ekspresi wajah Bu Dina yang sedang merenung. Rena tahu bahwa kata-kata yang ia ucapkan tadi telah tepat sasaran. Rena tak mungkin membiarkan perempuan yang telah ia anggap sebagai ibu dan kakaknya terpisah, berjauhan bahkan memutus tali silaturahmi. Tidak, Rena tidak ingin hal itu terjadi. Semua masalah masih bisa dibicarakan dengan baik dan diselesaikan dengan cara kekeluargaan.
“Bu? Ya, Bu? Ibu mau, kan?” tanya Rena lagi sambil menggoyang pelan lengan ibunya.
Renata yakin ibunya pasti sudah termakan bujukannya. Walaupun terlihat keras dan tegas. Hati Bu Dina sebenarnya lembut layaknya hati para ibu lainnya di dunia ini. Sesalah apa pun anaknya, bukankah ibu selalu mempunyai beribu pintu maaf untuk anaknya? Meski hanya berstatus ibu angkat, Renata yakin, ikatan batin antara ibunya, dirinya dan juga Nita begitu kuat layaknya hubungan ibu dan anak kandung.
“Ergh ...” erang Nita yang telah mulai tersadar dari pingsannya. Sontak Bu Dina dan Renata langsung menoleh ke arah tempat tidur.
Renata langsung mendekati Nita untuk memastikan kondisinya.
“Mbak! Mbak udah sadar? Gimana, apa yang dirasa, Mbak?”
Nita masih mengerjapkan matanya menyesuaikan dengan jumlah cahaya yang masuk ke dalam pupilnya. Tangannya otomatis terulur memijat pelipisnya yang masih terasa pusing. Nita menoleh ke samping tempat tidurnya melihat Renata yang sedang menatapnya dekat.
“Mbak, Mbak tadi pingsan ya, Ren?”
“Iya, Mbak Nita pingsan. Mbak masih pusing?”
Nita menganggukkan kepalanya. “Sedikit.”
“Mbak minum teh manis anget dulu yuk? Ini udah Rena buatin.” Renata dengan telaten membantu Nita bangun dan bersender pada kepala temppat tidur lalu mengangsurkan gelas berisi teh manis hangat agar Nita lebih bertenaga. Bu Dina hanya bisa terpaku di tempatnya melihat interaksi kedua putrinya.
“Kata dokter tadi, Mbak itu kelelahan dan banyak pikiran. Mbak kan lagi hamil, jadi gak booleh terlalu capek dan stress, nanti bisa pengaruh ke dedek bayi yang ada di perutnya mbak,” jelas Rena sambil menyimpan gelas di atas nakas.
“Bayi? Kandungan aku gimana kata dokter? Baik-baik aja kan, Ren?” tanya Nita dengan wajah cemas. Ia takut pingsannya tadi berpengaruh buruk pada kandungannya.
“Alhamdulillah baik-baik aja, Mbak. Mbak jangan khawatir,” ucap Renata menenangkan.
“Oh, syukur alhamdulillah,” ucap Nita dengan lega. Saat menghela napas lega karena kandungannya baik-baik saja, netra Nita menangkap sosok ibunya yang berdiri di dekat pintu. Tampang dingin sang ibu membuat nyali Nita ciut seketika.
“Ib ... ibu?” ucap Nita dengan gugup.
Nita merapikan helaian rambutnya yang sedikit berantakan. Kemudian ia bersiap untuk bangun dari tempat tidur dan akan meninggalkan panti seperti rencana awalnya tadi. Renata terkejut melihat gelagat Nita yang hendak pergi.
“Lho, Mbak mau ke mana? Mbak masih harus banyak istirahat lho,” tegur Renata.
Nita menggelengkan kepalanya. “Mbak harus ke apartemen, Ren. Rencananya besok ada yang mau lihat apartemennya Mbak. Mbak harus beberes di sana juga,” ucap Nita.
Renata berdecak kesal menghadapi sifat keras kepala kakaknya. “Mbak lupa? Tadi dokter bilang mbak gak boleh capek, lho. Mbak mau si adek bayi kenapa—napa?”
“Mbak Cuma ngawasin aja kok, selebihnya ada orang yang mbak suruh buat ngerjain. Kamu tenang aja.”
Nita menyibak selimutnya lalu bangun dari tempat tidur. Ia mengambil tasnya lalu berpamitan pada Renata. Saat mendekati pintu, ia mengambil tangan ibunya untuk ia cium dan untuk yang terakhir kalinya.
“Nita pamit ya, Bu. Assalamu’alaikum.”
Nita berjalan meninggalkan kamarnya tanpa menghiraukan Bu Dina yang masih membeku di tempatnya semula.
Saat baru berjalan beberapa langkah, Nita menangkap suara dari perempuan berhati malaikat yang ia rindukan.
“Berhenti, Nita!” ucap Bu Dina.
Langkah kaki Nita otomatis terhenti mendengar suara beliau. Kelenjar air matanya mulai bekerja untuk mensekresikan cairan bening yang akan berlomba ke ke luar dari pelupuk matanya.
Nita dengan kaku membalikkan badannya, menghadap kembali ke arah kamar yang tadi ia tinggalkan. Ia melihat sosok paruh baya itu tersenyum padanya sambil bersimbah air mata. Sosok itu merentangkan tangannya sambil berkata, “Sini, Nak. Jangan pergi, maafin ibu.”
Nita tak kuasa lagi menahan air matanya. Ia terisak sambil berjalan cepat menghampiri dan memeluk sosok yang sangat ia rindukan. Karena amarah dan kecewa, beberapa hari yang lalu sosok itu terasa jauh walau raganya ada di dekatnya.
Tapi, sekarang sepertinya selimut amarah dan kecewa itu perlahan mulai memudar berganti selimut rasa kasih dan sayang. Kabut amarah perlahan pudar berganti dengan sinar cahaya kasih sayang.
“Ibu!”
Dua perempuan berbeda generasi itu berpelukan melepas rindu diiringi linangan air mata.
“Maafin ibu, Nita. Ibu udah terlalu keras sama kamu. Maafin ibu,” ucap Bu Dina seraya membali surai hitam Nita. Bu Nita menyesali emosi dan sikapnya yang keras beberapa hari lalu pada Nita.
Nita menggeleng dalam pelukan ibunya. “Nggak, Bu. Ibu gak salah. Nita yang salah. Wajar kalau ibu marah dan kecewa sama Nita.”
“Jangan pergi, Nita. Jangan tinggalin ibu, Rena dan panti. Maafin ucapan ibu dulu yang terbawa emosi.”
Renata hanya bisa terharu melihat keduanya yang saling berpelukan dan menangis pilu. Harapannya terkabul. Ibunya mau memaafkan sang kakak dan mencegahnya pergi.
Setelah beberapa saat, Bu Dina melonggarkan pelukannya. Tangannya yang sudah mulai berkeriput merangkum wajah manis Nita dan menghapus lelehan air mata dengan kedua ibu jarinya.
“Kalau lelaki itu gak mau bertanggungjawab, kamu jangan pergi ya? Tinggallah di sini lagi sama ibu dan Rena, kamu mau kan?” tanya Bu Dina dengan harapan besar bahwa Nita mau menyanggupi permintaannya. Bu Dina tak mau kecolongan lagi jika Nita hidup berjauhan dengannya. Cukup sekali saja Nita lepas dari pengawasannya.
“Tapi, Bu ... “
“Ibu benar, Mbak,” sela Renata. Gadis berkacamata itu mendekat, menghampiri ibu dan kakaknya.
“Mbak gak boleh pergi ke mana pun. Mbak hanya boleh pindah dari apartemen ke sini, tinggal lagi sama kita. Iya, kan Bu?”
“Iya, benar apa kata Rena. Kamu jangan buat ibu tambah mengkhawatirkan kamu Nita.”
Nita bergantian menatap ibu dan adiknya, hingga akhirnya ia telah bulat mengambil keputusan. “Iya, Bu. Nita akan tinggal di sini lagi sama Rena dan ibu.”
“Alhamdulillah,” ucap Rena dan Bu Dina serempak. Mereka bertiga saling pandang dan melempar senyum lalu tak lama mereka berpelukan.
===
Nita sedang mengawasi beberapa orang pekerja yang sedang membereskan barang di apartemen Nita. Nita hanya mengawasi, sedangkan Rena ikut membantu membereskan barang-barang pribadi di kamar Nita. Ya, Renata diperintahkan oleh Bu Dina untuk menemani Nita di apartemennya.
Usai beberapa jam berkutat dengan barang dan kardus-kardus, mereka pun selesai. Nita mengamati kamar apartemennya yang sudah kosong. Apartemen yang ia beli dari hasil kerja kerasnya. Apartemen yang menjadi tempat tinggalnya selama beberapa tahun terakhir ini. Nita merekam setiap kenangan yang terukir di apartemennya ini.
“Mbak!”
Lamunan Nita buyar karena panggilan Rena.
“Kenapa, Ren?”
Gadis berkacamata yang mengunakan gamis hijau tosca itu mendekati Nita. “Itu, ada cowok yang nyariin Mbak Nita. Ganteng deh, Mbak,” ucapnya dengan wajah berbinar.
“Cowok? Siapa?”
Rena menggelengkan kepalanya. “Nggak tahu. Dia bilang Cuma temannya mbak. Dia gak mau sebutin namanya. Katanya suruh panggilin Mbak aja biar ketemu dia.”
Nita mengedikkan bahunya bingung. Ia dan Rena berjalan ke luar kamar. Betapa terkejutnya Nita mengetahui lelaki yang ingin bertemu dengannya adalah lelaki yang telah menolaknya. Menolak untuk bertanggungjawab padanya.
“Revan?”
Lelaki yang tadinya berdiri memunggungi Nita itu berbalik menghadap Nita.
“Hai, Nit. Kita perlu bicara empat mata.”
“Hmm, Rena kamu tunggu mbak di luar bisa?”
“Oke, Mbak. Tapi, pintu apartemennya jangan ditutup ya? Gak baik dua orang manusia beda jenis kelamin bukan mahram berduaan di tempat sepi dan tertutup.”
Nita menganggukkan kepala menyetujui usul Rena. Rena pergi meninggalkan kedua insan itu dengan pintu yang masih terbuka.
“Mau apa kamu ke sini?” tanya Nita datar.
“Menikahlah denganku, Nita.”