EIGHT

1898 Kata
BismillahirrahmanirrahiimAllahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad === Revan memasuki halaman rumahnya yang berada di Jakarta. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya dan juga adik perempuan satu-satunya. Semenjak memutuskan untuk mengejar Lisa, ia memang sering bolak-balik Jakarta-Bandung. Mama dan papanya memang berbisnis supermarket di Jakarta dan Bandung. Sejak Revan lulus kuliah, ia sebenarnya sudah diminta untuk mengelola beberapa supermarket milik orang tuanya tapi ia menolak. Ia beralasan ingin membangun karirnya sendiri dan juga ingin satu kantor dengan Lisa karena mereka diterima di perusahaan yang sama. Hanya adik perempuannya yang membantu pekerjaan mama papanya mengurus usahanya. Setelah Lisa memutuskan hubungan dengannya, barulah Revan terpikir untuk mengelola usaha supermarket kedua orang tuanya yang ada di Bandung. Utamanya tentu agar memudahkan ia bertemu Lisa kembali. Namun, harapannya pupus sudah. Lisa sudah mencintai Faraz, suaminya. Lelaki yang Revan akui jauh lebih baik darinya dan ia diminta Lisa untuk bertanggung jawab dengan menikahi Nita. Revan tak pernah membayangkan sedikit pun akan menikah dengan Nita karena sedari awal ia hanya menjadikan Nita sebagai tempat pelariannya dari Lisa. Revan menyesal karena sudah terlalu jauh berhubungan dengan Nita sehingga ia harus bertanggungjawab dengan janin yang ada di kandungannya. Revan berjalan memasuki rumahnya usai pembantu di rumahnya membukakan pintu. Setelah menyalami mama papanya yang sedang menonton TV, ia langsung menuju kulkas yang ada di dapur untuk mengambil air dingin. Ia butuh itu untuk menyegarkan pikiran, hati dan kepalanya yang dirasa cukup panas. Ia mengabaikan sang adik yang bernama Shofi yang tengah makan di meja makan. Revan menghabiskan botol yang berisi air dingin dalam beberapa tegukan. “Woi, Bang!” panggil Shofi sambil membawa piring kotor ke bak cuci piring. “Apaan?” “Dari mana?” tanya Shofi sambil duduk di kursi pantry. “Ya dari Bandung lah, pake nanya lagi.” “Dih, sewot! Orang Cuma nanya juga!” Revan meletakkan botol air minum yang sudah kosong ke atas meja dapur lalu kembali meneliti isi kulkas. Ia mencari hidangan dingin yang bisa ia santap karena air dingin saja tak cukup mengademkan dirinya. Mata Revan berbinar melihat ada puding stroberi di kulkas. Rasanya air liur Revan akan menetes melihat puding berwarna merah muda itu. Tak menunggu lagi, ia segera mengambilnya lalu mengambil sendok dan duduk di sebelah Shofi. Gadis yang berselisih usia empat tahun dengan Revan itu menatap sang kakak dengan heran. Apalagi ketika Revan begitu menikmati puding stroberi yang dilahapnya. Shofi dengan spontan mengulurkan tangannya ke kening Revan. “Bang, sehat?” “Apaan sih lo, Dek?” ucap Revan sambil menepis tangan Shofi yang bertengger di keningnya. Revan dan Shofi memang biasa menggunakan sapaan ‘lo-gue’ ketika hanya ada mereka berdua. “Lo gak sadar apa yang lo makan?” “Puding. Emang kenapa? Ada yang aneh?” “Iya puding. Tapi itu puding apa, Bang?” “Warnanya pink, ya puding stroberi lah. Lo pake nanya lagi,” ucap Revan kesal. Ia kembali menyuapkan puding stroberi yang teksturnya sangat lembut itu ke dalam mulutnya. Rasa manis dan asam yang pas, serta tekturnya yang lembut dan mudah lumer di mulut menjadi sensasi nikmat tersendiri di lidah Revan. “Nah, iya. Yang jadi pertanyaan gue sekarang, sejak kapan lo suka sama makanan yang mengandung stroberi? Bukannya lo paling benci sama stroberi?” Kakak lelaki Shofi itu paling anti dengan makanan yang mengandung stroberi. Bukan karena alergi. Menurut Revan makanan yang mengandung stroberi terlalu girly bagi lelaki yang manly seperti dirinya dan rasanya kurang cocok di lidah Revan. Kunyahan Revan langsung terhenti. Ia menelan puding yang berada di mulutnya dengan susah payah. Tersadar akan kebenaran ucapan adik semata wayangnya. Ia bergantian menatap puding dan Shofi. “Makanya gue tanya, lo sehat kan? Kenapa gak ada angin gak ada hujan lo tiba-tiba makan puding stroberi?” Revan berdeham untuk menghilangkan gugupnya. “Ya gak apa-apa kali. Selera orang kan bisa aja berubah.” Shofi memicingkan matanya, menatap Revan dengan penuh curiga. “Tapi, gue gak kenal lo sehari dua hari, Bang! Gue hafal semua gelagat lo!” “Hmm, lo kayak suami yang lagi ngidam tahu!” ucap Shofi tiba-tiba. Ucapan Shofi sontak membuat Revan tersedak dan batuk-batuk. Shofi segera mengambilkan air minum untuk Revan. “Kenapa pakai keselek segala? Emang benar ya ucapan gue? Lo lagi ngidam?” tanya Shofi sambil menepuk-nepuk punggung kakaknya. “Apaan sih lo! Ngarang deh! Sembarangan aja kalo ngomong!” “Tebakan gue biasanya tepat dan gak salah, Bang! Bilang siapa yang lo hamilin? Bukan Mbak Lisa, kan?” Revan mulai mengeluarkan keringat dingin. Ia belum siap jika harus membuka rahasia hubungannya dengan Nita sekarang. Shofi yang melihat gelagat Revan semakin yakin dengan asumsinya bahwa kakak lelakinya itu tengah ngidam. “Ma, Pa! Bang Revan hamilin anak orang!” teriak Shofi dengan santainya dari arah dapur pada kedua orang tuanya yang sedang berada di ruang keluarga. === Revan disidang oleh kedua orang tuanya akibat aduan Shofi tadi. “Siapa yang kamu hamilin, Revan?” tanya Pak Nugraha, papa Revan. “Lisa? Apa benar kamu hamilin Lisa biar dia mau balikan lagi sama kamu?” tanya Bu Wina, mama Revan. Revan masih terdiam membisu sedangkan Shofi hanya menonton abangnya yang tengah disidang dengan santai sambil bersedekap. “Jawab, Revan!” ucap Pak Nugraha dengan nada tinggi. Lelaki paruh baya itu mulai habis kesabaran menunggu jawaban Revan. “Nit ... Nita.” Mama dan papa Revan saling bertatapan bingung. Pasalnya mereka hanya mengetahui Revan dekat dengan Lisa bukan Nita atau perempuan lainnya. “Siapa itu Nita?” tanya Bu Wina penasaran. Revan menghela napas panjang sebelum membuka mulutnya untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya pada mama dan papanya. Senakal-nakalnya Revan, jika sudah tersudut oleh kedua orang tuanya, ia tak akan bisa mengelak atau pun berbohong. Jadi, ia putuskan menceritakan semuanya. Sudah terlanjur basah, jadi sekalian saja ia menyelam, pikirnya. Plak! Pak Nugraha menghadiahkan satu tamparan di pipi anak lelakinya itu. “Papa gak pernah ngedidik kamu jadi b******k dan pengecut kayak gini, Van!” bentak Pak Nugraha sedangkan Bu Wina hanya memijit keningnya yang pusing karena tingkah laku Revan. “Revan mau nikahin Nita, Ma, Pa. Tapi, Revan masih gak yakin kalau itu anak Revan, Pa!” ucap Revan membela diri. Plak! Pak Nugraha kembali melayangkan tamparan di pipi Revan. Sungguh, ia tak habis pikir. Seingatnya, ia sudah mendidik Revan dengan baik. Tapi, kenapa begini jadinya? Kenapa putranya bisa menghamili anak gadis orang di luar ikatan pernikahan? “Papa gak mau tahu. Pokoknya nikahi gadis yang bernama Nita itu, suka tidak suka, kalau kamu masih mau jadi anak mama dan papa!” ancam Pak Nugraha. Beliau kemudian meninggalkan anak dan istrinya menuju kamar. Darah tingginya bisa kambuh jika berlama-lama dekat Revan. “Jadi itu yang bikin Lisa mutusin kamu, ya?” tanya Bu Wina. Keluarga Revan memang sudah mengetahui jika Revan berpacaran dengan Lisa sejak SMA. Mereka sudah saling mengenal baik. Tapi, saat putus, Revan tak pernah membeberkan alasan pada keluarganya. Kini, semuanya terkuak sudah. “Mama gak habis pikir sama kamu, Van. Bisa ya kamu ngaku cinta sama Lisa tapi main serong di belakangnya? Otak kamu di mana?” “Di s**********n, Ma,” celetuk Shofi. Refleks Shofi langsung menutupp mulutnya dengan kedua telapak tangannya karena keceplosan di tengah suasana yang mencekam ini. “Padahal mama berharap banget kamu bisa balikan dan nikah sama Lisa. Ck, tapi kamu malah kayak begini! Kamu kenapa sih? Kok begini kayak bukan anak mama, Van?” Revan hanya diam tak menjawab pertanyaan mamanya. Ia akui jika dirinya memang salah telah dibutakan oleh hawa nafsu. “Benar apa kata papa kamu, Van. Kamu mau gak mau, harus tanggung jawab sama Nita. Apa dulu pas berbuat kamu gak inget kalo mama kamu ini perempuan? Adik kamu juga perempuan? Apa kamu rela kami sebagai perempuan diperlakukan seperti itu oleh lelaki?” sindir Bu Wina. Revan masih setia menundukkan kepalanya. “Maaf, Revan salah, Ma.” “Ck!” Usai berdecak kesal, Bu Wina menyusul suaminya ke kamar meninggalkan kedua anaknya di sofa. === Revan mengemudikan mobilnya dengan tenang. Ia sedang dalam perjalanan menuju apartemen Nita. Revan akan memenuhi permintaan Lisa dan kedua orang tuanya untuk menikahi Nita. Sekali lagi, Revan melakukan semuanya semata-mata hanya demi mereka. Mobil yang dikemudikan Revan sudah memasuki wilayah apartemen Nita. Ia memang sengaja tak memberitahu perihal kedatangannya pada Nita. Revan memarkirkan mobilnya di basement lalu segera menuju unit apartement Nita dengan lift yang terletak di lantai lima. Revan dengan tenangnya melangkah menuju apartemen Nita. Saat sudah dekat, ia melihat beberapa orang ke lura dari unit Nita sambil membawa kardus-kardus besar. Dahi Revan mengernyit heran. Mereka ngapain bawa kardus besar-besar? Jangan-jangan, Nita mau pindah lagi dari apartemen ini? Ada sedikit perasaan takut menyeruak di hati Revan jika Nita benar akan meninggalkan apartemennya. Revan sudah berdiri di depan pintu apartemen yang terbuka. Ia melihat seorang gadis berkacamata memakai gamis hijau tosca yang sedang mengawasi beberapa pekerja mengangkut barang dan itu sekaligus menjawab dugaan Revan tentang kepindahan Nita. Ternyata benar, dia mau pindah dari apartemen ini. Suasana di apartemen Nita memang terasa suasana pindahan. Saat sedang asyik mengamati para pekerja, Revan dikejutkan dengan suara gadis berkacamata tadi. “Maaf, Mas siapa ya?” “Oh, ehmm, saya temannya Nita. Nita ada?” “Mbak Nita? Ada kok di kamar. Mas siapa, ya?” “Bisa tolong panggilkan? Bilang aja saya temannya dan ingin bicara,” ucap Revan datar. Renata merasa sedikit aneh dengan tingkah lalu Revan di depannya. Meski begitu, ia tetap memanggilkan Nita untuk bertemu dengan Revan. “Oke, tunggu sebentar ya, Mas. Saya panggilin Mbak Nita dulu.” “Oke, makasih. Saya tunggu di sini.” “Pak, ini dus-dus terakhir ya. Semuanya langsung angkut ke mobil aja, langsung bawa ke panti. Nanti saya dan Mbak Nita nyusul,” ucap Renata dengan sopan pada dua orang bapak pekerja. “Iya, siap, Mbak.” Revan mengamati ruangan apartemen Nita yang sudah kosong. Kakinya berjalan mendekati jendela balkon yang menyuguhkan pemandangan Kota Jakarta. Ia ingat dulu ia juga sering bermalam di apartemen Nita ini. Tak bisa dipungkiri jika apartemen ini juga mengukir banyak kenangan baginya dan Nita. Sayangnya, kenangan manis itu berselimut dosa. “Revan?” Revan langsung menoleh ke arah suara. Ia berbalik menatap Nita yang sudah berdiri di dekat ruang tengah. “Hai, Nit. Kita perlu bicara empat mata.” Nita terlihat diam berpikir sejenak. “Hmm, Rena kamu tunggu mbak di luar bisa?” ucap Nita pada Rena. Renata mencium gelagat yang aneh pada kakak dan lelaki yang bernama Revan itu. “Oke, Mbak. Tapi, pintu apartemennya jangan ditutup ya? Gak baik dua orang manusia beda jenis kelamin bukan mahram berduaan di tempat sepi dan tertutup.” Nita menganggukkan kepala menyetujui usul Rena. Rena pergi meninggalkan kedua insan itu dengan pintu yang masih terbuka. Namun, Rena tidak benar-benar pergi. Ia menguping pembicaraan Nita dan Revan karena penasaran hubungan keduanya. “Mau apa Anda ke sini?” tanya Nita datar. Ia tak mau lagi terlihat rendah dan lemah di hadapan Revan, lelaki yang telah menolaknya. “Kamu mau pindah, Nita?” tanya Revan serius. Nita tertawa samar. “Itu bukan urusan Anda. Cepat katakan ada apa? Saya gak punya banyak waktu!” ucap Nita ketus. Berbagai ujian kesedihan yang menimpa dirinya, telah membuat Nita menjadi sosok yang tangguh, kuat dan keras karena ia harus bisa melindungi dirinya sendiri dan calon anaknya nanti. “Menikahlah denganku, Nita.” Ucapan Revan membuat sekujur tubuh Nita membeku. Otaknya sempat kosong karena mendengar ucapan Revan yang terasa bak angin surga di rungunya. Tapi, untungnya akal sehat Nita cepat mengambil alih. Nita tak percaya begitu saja setelah penolakan yang ia alami. Nita menertawakan ajakan Revan. “Apa? Nikah? Kita nikah? Anda masih waras?” tanya Nita mencemooh. “Kenapa? Ada yang lucu? Bukannya kemarin kamu yang merengek minta aku nikahi dan bertanggungjawab atas anak yang kamu kandung? Hah?!” Ego dan harga diri Revan sedikit terluka ketika niat baiknya diremehkan oleh Nita. Hei, itu tak sebanding dengan apa yang kamu lakukan pada Nita dulu, Bung! “Apa yang buat Anda berubah pikiran? Saya yakin ada alasan kuat dibalik ini semua. Gak mungkin Anda tiba-tiba berubah pikiran kayak gini.” “Wajarlah, namanya juga manusia biasa. Bisa aja berubah pikiran, kan?” ucap Revan membela diri. “Iya, tapi saya yakin Anda bukan salah satu dari golongan manusia biasa itu, Tuan Revan!” “Ck, sebenarnya mau kamu apa sih, Nita?! Aku udah mau nurutin permintaan kamu  buat bertanggungjawab dan nikahin kamu. Kenapa jadi bertele-tele begini, sih?” “Iya, memang saya mau Anda bertanggungjawab dan menikahi saya ... “ Nita berjalan mendekati Revan dan menatap tepat di kedua bola matanya. “ ... tapi, itu dulu! Sekarang saya gak butuh pertanggungjawaban dari Anda, Tuan Revan!” “Maksudnya?” “Saya tidak akan pernah mau menikah dengan Anda!”      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN